Bulan Super Darah Biru Indikasikan Atmosfer Bumi Baik
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena bulan super darah biru dapat menandakan kondisi lapisan udara atau atmosfer Bumi. Dari pengamatan yang dilakukan, atmosfer Bumi diindikasikan baik.
Di sebagian besar lokasi pengamatan di Indonesia, Bulan tampak berwarna merah cerah saat fenomena bulan super darah biru terjadi pada puncaknya.
”Ini menandakan kondisi atmosfer kita baik,” kata Peneliti Muda Astronomi dan Astrofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Rukman Nugraha, saat dihubungi, Kamis (1/2).
Tingkat kecerahan warna yang tampak dari bulan super darah biru atau gerhana bulan total perigee ini menggunakan skala danjon. Ada lima tingkat kecerahan. Jika warna merah pada Bulan semakin cerah, kondisi atmosfer semakin baik.
Warna merah yang dipantulkan Bulan berasal dari pancaran cahaya Matahari. Pada fenomena ini, Matahari, Bumi, dan Bulan seolah terletak pada satu garis lurus.
Rukman menuturkan, cahaya Matahari yang terdiri dari spektrum warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu dibelokkan atau dibiaskan ketika mengenai atmosfer Bumi. Akibat pembiasan ini, spektrum warna itu terurai dan terhambur.
Karena warna merah memiliki gelombang yang paling panjang, cahaya ini sampai pada Bulan. ”Itulah sebabnya, kita melihat warna Bulan merah pada saat fenomena bulan super darah biru,” kata Rukman.
Jika atmosfer memiliki banyak partikel polutan atau pencemar, warna merah yang ditangkap Bulan lebih gelap. Rukman mengatakan, ini pernah terjadi saat gerhana bulan total setelah letusan Gunung Krakatau dan Gunung Pinatubo.
Faktor yang paling memengaruhi jumlah partikel polutan pada atmosfer ialah adanya letusan gunung berapi yang mencapai stratosfer. Stratosfer merupakan lapisan udara yang memiliki ozon dan berada sekitar 20 kilometer dari permukaan laut.
Selain dapat mengetahui kondisi atmosfer Bumi, fenomena bulan super darah biru juga dimanfaatkan untuk pengambilan data gaya berat Bumi. Rukman mengatakan, penelitian ini bertujuan mempermudah eksplorasi bawah tanah. Salah satu contohnya keberadaan minyak dan gas.
Bulan super darah biru juga membuka keingintahuan masyarakat terkait teleskop yang digunakan untuk mengamati.
”Pada saat fenomena ini terjadi, di Bandung tidak dapat mengamati karena mendung sehingga langit tertutup awan. Namun, pengunjung tetap menanyakan perihal teleskop, bahkan ada yang berminat membelinya,” kata Ketua Himpunan Mahasiswa Astronomi Institut Teknologi Bandung Muhammad Rezky saat dihubungi, Kamis (1/2).
Rezky menceritakan, pengunjung juga menanyakan pengalaman pengamatan mahasiswa astronomi jika cuaca tidak mendukung. Ini memicu pertanyaan pengunjung tentang fenomena-fenomena astronomi lainnya.
Fenomena bulan super darah biru adalah peristiwa gerhana bulan total dan Bulan berada pada jarak terdekat dengan Bumi atau disebut dengan perigee.
Ini mengakibatkan Bulan tampak seolah lebih besar atau super dan berwarna merah seperti darah. Pada Januari 2018, purnama terjadi dua kali sehingga disebut bulan biru.
Tidak sekadar pengamatan
Fenomena astronomi seperti bulan super darah biru tidak hanya perihal pengamatan dan penelitian, tetapi juga membuka cakrawala masyarakat. ”Ini membangkitkan kesadaran dalam diri kita terkait posisi kita terhadap alam semesta,” kata Rukman.
Bulan super darah biru merupakan salah satu pemicu keingintahuan masyarakat pada alam semesta. Menurut Rukman, keingintahuan ini dapat menjadi modal dasar titik kemajuan dalam ilmu pengetahuan.
Momen ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa astronomi untuk mengenalkan ilmunya. ”Kami dapat berdiskusi langsung dengan masyarakat tentang apa pun yang berhubungan dengan astronomi. Ini menyenangkan buat saya pribadi. Saya harap masyarakat tetap antusias dengan peristiwa-peristiwa astronomi lainnya,” tutur Rezky. (DD09)