SEMARANG, KOMPAS — Masih bertahannya harga gabah pada saat berlangsungnya panen raya padi dinilai merupakan distorsi tata niaga gabah yang selama ini belum pernah terjadi.
Harga gabah kering panen treser kini masih bertahan Rp 5.300 per kilogram (kg), sedangkan gabah kering panen mesin pemanen sekitar Rp 5.600 per kg.
Belum turunnya harga gabah ini menjadi pemicu harga beras medium bertahan di kisaran Rp 11.300 per kg. Padahal, sejumlah sentra padi, mulai dari Demak, Kudus, Pati, Grobogan, Sragen, Sukoharjo, Pekalongan, Kendal, hingga Banyumas, mulai panen raya.
Anggota Dewan Pakar Perkumpulan Pengusaha Penggilingan Padi dan Pedagang Beras (Perpadi) Provinsi Jawa Tengah, Damin Hartono, Selasa (30/1), menyatakan, panen raya padi memang telah memengaruhi harga gabah dan beras di pasaran.
Namun, pengaruh penurunan harga itu masih relatif kecil, antara Rp 100 dan Rp 500 per kg. Ini sangat berbeda dibandingkan panen raya tahun sebelumnya, di mana harga langsung turun sampai Rp 1.000 per kg.
Seharusnya, ketika panen raya padi berlangsung, harga gabah bertahan turun, ini memang harga tidak lagi naik, tetapi juga enggan turun.
”Saya kira hal ini telah terjadi distorsi tata niaga gabah. Seharusnya, ketika panen raya padi berlangsung, harga gabah bertahan turun, ini memang harga tidak lagi naik, tetapi juga enggan turun. Distorsi tata niaga bisa banyak penyebabnya,” ujar Damin Hartono, mantan Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jawa Tengah periode 2015.
Distorsi tata niaga gabah itu disinyalir terjadi ada kaitan dengan rencana pemerintah mendatangkan beras impor asal Vietnam, Thailand, Pakistan, dan India. Distorsi bisa terjadi akibat ada praktik penimbunan atau akibat aksi main borong gabah di lapangan.
Aksi main borong gabah leluasa terjadi akibat petani terdesak kebutuhan uang tunai untuk modal menanam lagi ataupun memenuhi kebutuhan lain.
Aksi main borong banyak dilakukan tengkulak dan pedagang skala menengah besar. Mereka banyak melakukan pembelian gabah di lahan sawah, yakni main tebas dengan harga transaksi yang sulit diukur dengan indikator harga pasar.
Aksi main borong ini makin tidak terkendali, juga akibat lambatnya pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) baru.
Sawah per bahu atau sekitar 7.000 meter persegi, dengan umur tanaman lebih dari 90 hari, diperkirakan bisa panen 6-7 ton dan bisa laku tebasannya hingga Rp 35 juta sampai Rp 50 juta.
Aksi main borong ini makin tidak terkendali, juga akibat lambatnya pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) baru yang mestinya keluar pada akhir Januari atau awal Februari sebelum berlangsung panen raya padi.
Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jawa Tengah Joni Nur Ashari mengatakan, pihaknya memang tidak seagresif tahun lalu menghadapi panen raya padi musim tanam 2018 ini.
Menyusul akan dihentikan program beras sejahtera (rastra), Perum Bulog tidak terlalu banyak melakukan pembelian gabah dari petani.
Kalau selama ini Perum Bulog punya kewajiban menyalurkan sekitar 26.000 ton rastra per bulan untuk 2,4 juta rumah tangga miskin, maka penyediaan stok beras untuk rastra tidak lagi prioritas.
Perum Bulog akan lebih fokus pengadaan beras komersial dengan harga kompetitif Rp 9.450 per kg, dengan target pengadaan beras pada 2018 tidak lebih hanya sekitar 460.000 ton. Jumlah ini jauh dibandingkan prognosa pengadaan beras pada 2017 yang masih di atas 750.000 ton.
”Apakah perubahan pola pengadaan terkait dengan berubahnya kebijakan keluarga miskin dapat bantuan tunai langsung, memengaruhi distribusi tata niaga gabah di lapangan, memang perlu kajian mendalam,” ujar Joni Nur Ashari.