JAKARTA, KOMPAS — Industri pengolahan dan pemurnian logam menghadapi masalah yang berakar pada perizinan. Untuk menyelesaikannya, Kementerian Perindustrian meminta pertemuan rutin setiap tiga bulan sekali bersama dengan para pelaku.
Perizinan yang harus dimiliki oleh industri pengolahan dan pemurnian ada dua, izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian dan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dualisme ini juga berdampak pada pembayaran pajak oleh pelaku industri.
”Demi eksistensi industri, kami hendak mengikuti peraturan yang ada, tetapi dualisme izin ini menjadi kendala bagi kami,” ujar Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso dalam pertemuan dengan Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika di gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (30/1).
Implikasinya, ada perlakuan pajak yang berbeda antara pertambangan yang terintegrasi dan yang terpisah.
Implikasinya, ada perlakuan pajak yang berbeda antara pertambangan yang terintegrasi dan yang terpisah.
Salah satu anggota AP3I, pemimpin PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara Maria Chandra Pical mengatakan, perusahaannya memegang IUP khusus operasi produksi karena mengelola smelter yang terintegrasi dengan pertambangannya.
Maria menyatakan keberatannya pada perusahaan-perusahaan pertambangan yang smelternya terpisah.
”Sejak ada perubahan pelarangan ekspor menjadi relaksasi ekspor, sejumlah pertambangan mengajukan izin IUI,” ujarnya.
Relaksasi ekspor diberikan bagi pertambangan yang tengah membangun smelter. Menurut Maria, pertambangan-pertambangan itu mengajukan IUI dan membuka smelter untuk mendapatkan kemudahan ekspor.
Ilustrasinya, ada 100.000 ton ore yang diolah di pertambangan dan smelter milik Maria menjadi 10.000 ton feronikel. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dikenakan pada produk itu 4 persen per ton dari harga jual.
Jika dia menjual feronikel itu dengan harga 1.000 dollar AS, dia harus membayar sekitar 40 dollar AS per ton sehingga total PNBP-nya sebesar 400.000 dollar AS.
Sementara jika 100.000 ore dari pertambangan yang terpisah dari smelternya itu langsung dijual, PNBP yang dikenakan sebesar 5 persen per ton dari harga jual.
Apabila dijual dengan harga 20 dollar AS per ton, PNBP yang dikenakan sebesar 1 dollar AS per ton sehingga total menjadi 100.000 dollar AS.
Perbedaan implementasi izin antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah kerap terjadi.
Selisih ini dinilai Maria cukup besar sehingga banyak yang memilih relaksasi ekspor. Padahal, pertambangan dan smelter miliknya mendukung program hilirisasi pemerintah.
Selain itu, perbedaan implementasi izin antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah kerap terjadi.
Maria menyebutkan, pihaknya menemukan ada perusahaan yang hendak menambang di tanahnya dengan izin dari pemerintah daerah, padahal dia sudah memiliki izin yang sama terlebih dahulu.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, kendala tersebut akan disampaikan pada pembahasan tingkat kementerian dan kementerian koordinator.
”Saya harap, masalah-masalah yang rinci seperti ini dibuat basis datanya agar kementerian koordinator paham masalahnya. Kita bertemu setiap tiga bulan sekali untuk membahas perkembangannya,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Harjanto juga mengatakan, Kementerian Perindustrian akan mendorong penggunaan bahan baku lokal sesuai peta jalan yang telah disusun.
”Ada material-material sampingan yang dapat menjadi bahan baku produk lainnya. Ini akan didorong terus-menerus,” lanjutnya. (DD09)