Teknologi Agrobisnis Berbasis Aplikasi Putuskan Jeratan Tengkulak
Rantai distribusi yang panjang menyulitkan petani memperoleh keuntungan pada hasil panennya. Petani kerap tercengkram permainan harga tengkulak. Untuk itu, start-up atau usaha rintisan pertanian hadir untuk memutus rantai panjang itu, dengan menyambungkan konsumen dan petani lewat teknologi digital.
Dalam praktiknya, produksi pertanian melewati jalan panjang untuk sampai ke konsumen. Produk panen itu melewati tengkulak, pengepul, pasar induk, dan pasar tradisional. Baru setelah proses panjang itu, produk petani sampai ke rumah.
Usaha rintisan berbasis teknologi, Kecipir.com, mencoba memutus rantai itu. Lewat aplikasi dan situs, pembeli bisa membeli langsung produk panen seperti sayur, buah, hingga beras. Produk itu dikirimkan melalui 300 agen yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
“Misalnya beras, penggilingan juga dilakukan petani. Kami hanya menerima produk dan memastikan kualitasnya saja,” ucap Tantyo Bangun, pendiri Kecipir.com, Minggu (28/1), saat ditemui di kediamannya, di Pamulang, Tangerang Selatan.
Usaha rintisan berbasis teknologi, Kecipir.com, mencoba memutus rantai distribusi beras yang sangat panjang. Lewat aplikasi dan situs, pembeli bisa membeli langsung produk panen seperti sayur, buah, hingga beras dari petani.
Bisnis yang dimulai sejak 2015 ini sudah memiliki sekitar 12.000-15.000 pelanggan. Sejumlah 229 petani juga sudah merasakan kemudahan rantai distribusi itu. Sampai saat ini Kecipir.com baru memanfaatkan petani di Jawa Barat, seperti Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
Awal mula
Awal mula usaha rintisan ini berasal dari kegelisahan Tantyo. Dia bersimpati pada penurunan petani Indonesia dari tahun ke tahun. Penurunan jumlah itu juga seiring dengan berkurangnya minat anak muda menjadi petani.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah petani di Indonesia menurun sebanyak 5,1 juta orang dalam kurun waktu 2003-2013 dari 31,2 juta menjadi 26,1 juta.
Menurut Tantyo, penurunan jumlah petani diakibatkan oleh prospek pendapatan yang kecil. “Mereka tidak tercukupi secara ekonomi. Sulit untuk memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang minim,” katanya.
Pendapatan minim itu terjadi karena rantai distribusi panjang. Salah satu penyebab kecilnya keuntungan petani adalah peran tengkulak, yang kerap menekan harga produk panen. Misalnya saja petani padi, ketika gabah berkualitas di bawah standar karena cuaca buruk, mereka harus menjual ke tengkulak dengan harga yang sangat timpang. Petani hanya memiliki dua pilihan, menjual atau tidak mendapatkan uang sama sekali.
Contohnya, pada berita di harian Kompas (25/2), hasil panen basah karena cuaca buruk membuat tengkulak menekan harga. Di Demak, Pati, dan Kudus, Jawa Tengah, gabah kering panen (GKP) dihargai Rp 2.100 per kg dari standar harga pembelian pemerintah Rp 3.700 per kg.
Sebelumnya, saat berkunjung ke Palembang, Kepala Satuan Tugas Pangan Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, rata-rata pendapatan setiap panen petani hanya Rp 1,16 juta. Sedangkan, pihak perantara dari petani ke konsumen bisa mendapatkan Rp 450 juta. (Kompas, 28/7)
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Hizkia Respatiadi, mengatakan, rantai distribusi panjang mengakibatkan harga yang tidak kompetitif untuk petani. Tengkulak dan pemilik penggilingan dinilai Hizkia sebgai pengambil keuntungan terbesar. “Sekali pun beras harganya tinggi, petani tidak akan merasakan manfaatnya,” tuturnya.
Regenerasi petani
Hizkia pun tidak heran kalau regenerasi petani tidak optimal. Tahun 2013, petani berusia 45 tahun ke atas masih mendominasi sebesar 60,6 persen. Jumlah itu diikuti, umur 35-44 tahun sebesar 26 persen, umur 25-35 tahun sebesar 11,9 persen, dan 15-24 tahun hanya 0,87 persen.
Pemuda asal Banjirmanis, Lampung, Ade Apriyanto (19) mengatakan, pekerjaan petani tidak menjanjikan karena hasil yang tidak menentu. Harga bisa anjlok kapan saja. Sedangkan, petani Desa Tanjang, Pati, Jawa Tengah, Sarjo (70), menyarankan anaknya bekerja di luar sektor pertanian. Sarjo mengatakan petani tidak sejahtera dalam 20 tahun terakhir. Upah buruh Rp 1 juta- 2 juta per bulan bahkan dinilai lebih baik dari penghasilan petani (Kompas, 5/9).
Ucapan Ade dan Sarjo mungkin bisa mewakilkan nasib petani di daerah. Hal itu menjadi penyebab lambatnya regenerasi petani.
Padahal, kata Hizkia, regenerasi petani dibutuhkan. Tahun 2035, penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 305 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk itu seiring dengan pertumbuhan masyarakat kelas menengah yang mencapai 10 persen per tahun. “Karena itu, pasokan bahan pangan harusnya semakin banyak,” ucapnya.
Untuk itu, Kecipir.com, dinilai Tantyo mampu menjadi solusi minimnya pendapatan petani. Bila petani biasanya mendapatkan 15 persen dari keseluruhan keuntungan produk, kini mereka bisa memperoleh sekitar 30-40 persen. Pemotongan rantai panjang itu diklaim bisa meningkatkan penghasilan sampai dua kali lipat.
Produk panen petani dihargai sesuai standar di Kecipir.com. Produk itu diklasifikasikan menjadi kelas A, B, dan C. Kelas A adalah kualitas produk organik yang sudah bersertifikat, kelas B adalah produk organik yang belum bersertifikat, sedangkat kelas C adalah produk yang tidak memakai bahan pestisida.
“Standar itu sudah ada. Jadi petani bisa menentukan harga mereka. Semakin bagus produknya, bayarannya semakin tinggi. Harga itu adil dan tidak ada penekanan harga,” kata Tantyo.
Apalagi, ucap Tantyo, akan diluncurkan aplikasi untuk petani pada Februari nanti. Hal itu membuat petani dapat memasukan data produk yang ingin dijual. Petani pun bisa memantau harga produk secara langsung. Tidak seperti petani konvensional yang hanya bekerja dan memberikan hasilnya pada tengkulak.
“Dengan aplikasi petani itu. Konsumen langsung beli ke petani. Kami hanya sebagai pemeriksa kualitas saja nanti,” ucap Tantyo.
Proyeksi petani
Tantyo mengatakan, akan bekerja sama dengan usaha rintisan pinjaman uang atau peer to peer lending. Hal itu mungkin diwujudkan setelah peluncuran aplikasi. Tujuannya untuk memberi peluang petani untuk memperluas usaha.
“Sudah banyak usaha rintisan pinjaman uang yang menawarkan kolaborasi. Tetapi nanti sejalan dengan peluncuran aplikasi mungkin,” katanya.
Hingga kini, Kecipir.com baru memanfaatkan petani di Jawa Barat. Pada tahun ini, targetnya petani Surabaya dan Bandung akan dijadikan mitra.
Usaha rintisan sejenis Kecipir.com sedang menjadi tren. Pemanfaatan teknologi untuk memudahkan pemasaran produk petani juga sudah dilakukan Sayurbox, Limakilo.id, dan Eragano.
Banyaknya usaha sejenis menunjukkan tren positif untuk petani. Hal itu disampaikan oleh pendiri Sayurbox, Amanda Susanti.
“Semakin banyak kompetitor sejenis, maka rantai konsumsi yang panjang akan berkurang. Senang banyak saingan, karena misi untuk bantu pemasaran produk petani bisa tewujud,” kata Amanda.
Malah, Amanda tidak menutup kemungkinan adanya kolaborasi antara sesama pelaku usaha rintisan agrobisnis. “Kalau bisa kolaborasi ramai-ramai, biar tidak langsung persaingan langsung. Jadinya bersama-sama bersaing dengan ketahanan pangan negara lain,” ucapnya.
Pada 2016, Indeks Ketahanan Pangan Global yang dirilis The Economist Intelligence Unit, menyebutkan Indonesia berada di peringkat 71 dari 113 negara. Peringkat Indonesia berada di bawah negara tetangga, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. (DD06)