Cahaya matahari di Singapura pagi itu sedikit malu-malu. Langit mendung sehingga siang itu terasa masih pagi meskipun udara yang gerah tak bisa membohongi bahwa tak lagi pagi. Rombongan Singapore Tourism Bord dari sejumlah negara seperti Rusia dan Filipina berkesempatan mengunjungi rumah kolektor seni Teng Jee Hum, Kamis (25/1).
Teng merupakan salah satu kolektor seni terkemuka di Singapura. Dalam rangkaian acara Singapore Art Week (SAW), koleksi Teng menjadi bagian dari program Signature Collectors’ Visit, yang diresmikan di Art Stage Jakarta. Program ini menjadi semacam penghubung antara warga, pengunjung, dan seniman lain dengan kolektor. Mereka dapat bertukar wawasan ataupun jejaring untuk memperkuat perkembangan seni, terutama yang berbasis lokalitas.
Singapore Art Week (SAW) sendiri tahun ini memasuki edisi keenam, yang berlangsung sejak 17-28 Januari 2018. National Arts Council (NAC), Singapore Tourism Board (STB), dan Singapore Economic Development Board (EDB) bekerja sama secara kolektif dalam acara multievent ini. Salah satunya berkunjung ke rumah Teng.
Teng merupakan salah satu kolektor seni terkemuka di Singapura. Dalam rangkaian acara Singapore Art Week (SAW), koleksi Teng menjadi bagian dari program Signature Collectors’ Visit, yang diresmikan di Art Stage Jakarta.
Teng menyambut kami dengan antusias sekaligus santai. Bicaranya menggebu-gebu, tetapi penampilannya sederhana. Dia mengenakan kaus polo yang dimasukkan rapi ke dalam celana. Pria berkacamata ini lalu menjelaskan secara detail tiap karya seni yang dia koleksi. Dari penjelasannya itu, tampak sekali Teng mempunyai ketertarikan khusus pada kelestarian alam, spiritualisme, dan humanisme.
Dia memulai menjelaskan lewat karya Indieguerillas dari Indonesia berjudul ”Robot Consciousness” (2014). Karya berbahan kayu, tembaga, resin, LED, lampu, pengeras suara, dan keramik ini menggambarkan betapa konsumtivisme menjadi tabiat dan kebutuhan dasar manusia.
Karya ini berupa rumah-rumah mini, seperti bekupon atau rumah burung yang disusun sedemikian rupa sehingga tampak seperti hunian padat penduduk. Di setiap rumah tertulis antara lain live, forgive, dan profit.
Ketika dinyalakan, keluar suara, ”Let me buy, let me buy, let me buy….” Suara itu diulang-ulang. ”Ini seperti mantra, seperti doa,” kata Teng.
Dia ingin menjelaskan bahwa masyarakat sekarang sangat konsumtif sehingga kebiasaan belanja sedemikian sakral seperti beribadah. Ada yang hilang dalam diri banyak orang ketika mereka tidak belanja.
Padahal, belanja yang tidak terkontrol itu sangat merusak. Sama merusaknya dengan penebangan atau pembakaran hutan. Pesan ini dengan gamblang disampaikan lewat ”Balck Forest” karya Han Sai Por, seorang pematung terkemuka di asia. Karya itu berupa tegakan arang kayu yang tingginya mencapai 2 meter.
Dimensi awalnya 19 meter dengan lebar 9 meter. Lalu diboyong ke rumah Teng dan ditempatkan di dalam ruangan dengan dimensi 4 meter x 5 meter. ”Karya ini memang suit untuk bisa ditampilkan di mana pun karena dimensinya, ukuranya. Tetapi saya merasa berkewajiban menampilkan ini. Maka, saya minta senimannya menata ulang di rumah saya.”
Arang-arang tadi jelas menyimbolkan betapa serakahnya manusia hingga harus membakar hutan. Lebih dari itu, Teng melihat ada hubungan kuat antara arang dan pohon. Dalam tradisi China, mereka menulis menggunakan arang sebagai tinta. Kertas sebagai media tulis juga berasal dari pohon.
Dengan kata lain, arang pohon itu satu kesatuan yang ketika bertemu dengan cara yang berbeda menghasilkan peradaban agung, ilmu pengetahuan dan filsafat timur. Tentu saja seni termasuk di dalamnya.
Teng masih terus menjelaskan detail setiap benda seni yang jumlahnya puluhan itu di rumahnya. Namun, kami harus bergeser ke tempat lain karena waktu yang relatif mepet. Meskipun demikian, kunjungan singkat tadi cukup menyadarkan kami tentang penggalian makna hidup di rumah Teng.