Bertani Sayur di Tengah Kota, Menghijaukan dan Mengingat Masa Lalu
Sabtu (27/1) pagi, Agus Dian (57) bersantai di kebun sayur yang berada tepat di seberang rumahnya, di bantaran Sungai Ciliwung, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Berbagai sayuran, mulai dari sawi, seledri, hingga cabai, ia tanam di kebunnya itu. Sesekali ia tersenyum saat memandangi berbagai sayuran yang telah ia tanam.
Agus sudah tidak bekerja. Kesibukannya sehari-hari adalah mengurus tanaman di kebunnya itu, mulai dari menyiram, memupuk, hingga memanen.
Hasil panen tidak ia jual, tetapi dibagi-bagikan kepada para tetangga. Ia menyatakan, bercocok tanam dilakukannya untuk memuaskan diri karena kesenangannya melihat tumbuhan berwarna hijau.
”Saya memang suka melihat yang hijau-hijau. Maka saya iseng mencoba bertani, kebetulan panen terus sampai sekarang,” kata Agus, yang juga Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sehati. Gapoktan itu ia kelola berdua bersama istrinya, Yani (58).
Agus bisa memanen sayurannya setiap bulan. Sekali panen, ia bisa mendapat 13-15 kilogram. Dua hari sebelumnya, ia baru saja memanen sawi.
Keberadaan gapoktan di tengah kota Jakarta menjadi cukup menarik. Jakarta identik dengan gedung-gedung tinggi disertai pekerjaan-pekerjaan berdasi.
Pada 2014, Agus mulai bercocok tanam menggunakan media tanah dengan kantong plastik di bantaran sungai itu.
Namun, masih ada orang yang berjuang untuk bertani dengan cara mengada-adakan lahan, termasuk Agus.
Bantaran sungai itu, tempat kebun Agus, berlebar 5 meter dan beralaskan beton. Pada 2014, ia mulai bercocok tanam menggunakan media tanah dengan kantong plastik (polybag) di bantaran sungai itu.
”Tanah sudah tidak mungkin ada, maka saya pakai polybag. Tanahnya diplastik toh masih bisa tumbuh ternyata,” ujar Agus.
Semula, ia hanya bercocok tanam di sepanjang 5 meter bantaran sungai. Kini, tanaman Agus telah memenuhi sepanjang 50 meter bantaran sungai.
Medianya pun tak lagi hanya dengan kantong plastik, ia bahkan membuat semacam bak setinggi 20 sentimeter untuk diberi tanah dan ditanami bibit-bibit sayuran.
Agus menyatakan keinginannya untuk membuat Jakarta lebih hijau. Keinginan itu didasari oleh rasa sumpek terhadap kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi dan kemacetan setiap hari.
Saya ingin membuat Jakarta sedikit hijau. Setidaknya, dimulai dari depan rumah saya. Ada kedamaian ketika melihat tumbuhan-tumbuhan itu.
”Saya ingin membuat Jakarta sedikit hijau. Setidaknya, dimulai dari depan rumah saya. Ada kedamaian ketika melihat tumbuhan-tumbuhan itu” ucap Agus.
Ada keuntungan lain dengan dijadikannya bantaran sungai sebagai tempat berkebun, yaitu mengurangi kebiasaan warga untuk membuang sampah ke sungai.
Agus menyebutkan, sebelum bantaran sungai itu dijadikan tempat untuk berkebun, warga sekitar sering menjadikannya tempat untuk membuang sampah rumah tangga.
”Saat ini, warga sungkan untuk membuang sampah di sungai. Mereka harus lewat kebun ini sebelum membuang sampahnya di sungai. Dulu, sebelum dijadikan kebun, sampah berserakan sudah biasa di tempat ini,” tutur Agus.
Sosiolog perkotaan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menjelaskan, keinginan untuk bertani itu didasari oleh hobi. Aktivitas bertani itu sekaligus menjadi bentuk sikap warga kota yang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan.
”Bertani itu berdasarkan hobi sesuai minat dan kesukaannya sehingga tetap disalurkan. Selanjutnya, dengan bertani, itu adalah ruang bagi warga kota untuk menjaga kepedulian terhadap lingkungan dan alam,” kata Rakhmat.
Bertani itu adalah ruang bagi warga kota untuk menjaga kepedulian terhadap lingkungan dan alam.
Ia menambahkan, akhirnya, media alternatif terus dicari dengan adanya keterbatasan ruang di kota.
Bercocok tanam dengan media semacam pot dan kantong plastik menjadi pilihan selain hidroponik yang juga merupakan cara bertani di perkotaan.
Mengingat masa lalu
Petani sayur lainnya adalah Cindy (48). Ia adalah warga Menteng, RT 002 RW 003, yang berasal dari Pati, Jawa Tengah. Bertani bagi Cindy menjadi cara untuk mengingat kampung halamannya.
”Orangtua saya dulu petani. Sebagian besar tetangga saya dulu juga bekerja seperti petani. Saya, ketika memanen di sini, rasanya ingat sewaktu masa kecil dulu diajak panenan sama orangtua,” cerita Cindy.
Kebun Cindy dibuat di atas selokan selebar 3 meter. Kebun itu beralaskan bambu-bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga bisa menjadi lantai untuk meletakkan tanaman-tanamannya yang terdiri dari sawi, kacang panjang, cabai, kangkung, dan lain-lain.
Ia bisa memanen hasil kebunnya setiap tiga bulan sekali.
Sama seperti Agus, Cindy juga tidak menjual hasil kebunnya. Ia bercocok tanam secara sukarela. Hasil kebun itu pun dimasak untuk dimakan bersama-sama dengan warga kampungnya.
Saat ini, Cindy tinggal di perkampungan sempit. Rumah di kampung itu berderet-deret dan tak berjarak. Sebagian rumah terbuat dari tripleks, sementara yang lain terbuat dari bata.
Untuk menuju rumahnya, jalan yang bisa dilalui lebarnya kurang dari 2 meter. Jalan itu menyempit hingga sekitar 1 meter ketika sudah semakin dekat ke rumahnya.
Meskipun seperti itu, Cindy tetap bersikukuh untuk bercocok tanam di daerahnya yang sempit. Ia menginginkan agar pemandangan di kampungnya itu tidak hanya warna keruh air selokan ataupun tembok-tembok rumah yang berderet-deret.
Alhasil, yang dia lakukan adalah meletakkan pot-pot tanamannya di sisi kiri jalan. Pandangan orang yang melintas pun terhalang oleh hijau daun kangkung yang ditata rapi menutupi selokan.
Saya juga ingin buat kesan bahwa kampung ini tidak kumuh. Ada tumbuh-tumbuhan di sini yang bikin mata kita segar.
”Saya juga ingin buat kesan bahwa kampung ini tidak kumuh. Ada tumbuh-tumbuhan di sini yang bikin mata kita segar,” kata Cindy.
Masih ada petani di tengah kota Jakarta. Mereka bertani di gang-gang sempit hingga bantaran kali. Hasil tani tidak digunakan untuk meraup keuntungan. Mereka hanya ingin memuaskan mata dengan memandang hijaunya tumbuh-tumbuhan. (DD16)