Sutiyoso: Jika Becak Dilegalkan, Jakarta Bakal Tambah Semrawut
JAKARTA, KOMPAS — Wacana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melegalkan becak menuai pertentangan di kalangan masyarakat dan pengamat. Sebagian besar tidak menyetujuinya dengan alasan hal itu menambah kesemrawutan Ibu Kota. Selain itu, becak juga dianggap tidak manusiawi karena masih menggunakan tenaga manusia untuk angkutan umum.
Selain itu, wacana pelegalan becak itu juga dinilai menentang peraturan-peraturan yang ada. Setidaknya ada tiga peraturan daerah yang dilanggar, yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1972, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007. Becak dinyatakan tak layak sebagai angkutan umum dan mengganggu ketertiban umum dalam tiga peraturan itu.
Salah satu tokoh yang berperan aktif menertibkan becak adalah Sutiyoso. Ia pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta selama 10 tahun (1997-2007). Pada masa kepemimpinannya, ia sempat menertibkan becak dengan cara merumponkannya ke laut.
Kompas berkesempatan untuk mewawancarai Sutiyoso terkait ceritanya menertibkan becak dan wacana pelegalan becak oleh Pemprov DKI di kediamannya, Jalan Raya Kalimanggis, Jati Sampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (24/1).
Berikut wawancara dengan Sutiyoso.
Saya melihat Bang Yos tegas dalam menertibkan becak. Waktu itu, apa yang ada dalam benak Anda saat menertibkan becak?
Larangan becak itu landasan hukumnya adalah perda (peraturan daerah) yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI sebelumnya, Soerjadi (Soedirdja). Jadi, saya sebagai penerus, saya teruskan kebijakan itu.
Lalu, Bang Yos juga sempat memberikan izin untuk becak beroperasi lagi. Namun, tidak lama kemudian, menertibkan becak besar-besaran. Mungkin, bisa cerita tentang itu?
Beberapa bulan setelah saya dilantik, tepatnya Mei 1998, terjadi krisis politik, awalnya krisis ekonomi dan berakumulasi jadi krisis multidimensi.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dari krisis ekonomi itu, terjadi pengangguran besar-besaran. Karena pengangguran itu nanti rentetannya pasti kriminalitas, sebagai gubernur, saya berniat memberikan peluang kerja.
Nah, waktu itu program andalan saya adalah padat karya. Membersihkan got-got, memperbaiki jalan-jalan kampung yang bisa dikerjakan masyarakat, itu kan kita bayar langsung. Itu dalam rangka membuka peluang kerja.
Akan tetapi, itu, kan, belum cukup. Saya pikir mencoba membuka secara terbatas peluang menjadi tukang becak. Maka, saya keluarkan izin operasi becak sebatas di pinggir kota dan di gang-gang.
Saat itu, saya sehari dua hari tiga hari, kami awasi, yang tadinya tertib, parkirnya di mulut-mulut gang, mulai ke tengah kota karena becak-becak berdatangan dari luar kota. Dan itu jumlahnya bukan sedikit. Ribuan.
Belum ada seminggu, baru sekitar empat hari, Jakarta sudah diserbu becak-becak dari luar kota. Orang-orang melihat Jakarta sebagai kehidupan (tempat cari uang). Setelah itu, Pemprov kerja keras, kan, menertibkan. Namun, praktiknya kayak kucing-kucingan antara tukang becak dan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Di kejar ke sana, lari ke mana.
Kenapa waktu itu becak itu perlu ditertibkan?
Mereka mulai melanggar aturan-aturan, seperti melawan arus dan segala macam. Mereka punya prinsip. Saya (tukang becak) pulang harus membawa uang. Kalau tidak, keluarga saya makan apa? Begitu, kan. Nah itu yang terjadi.
Bagaimana upaya Bang Yos dalam menertibkan becak itu?
Saya berusaha menertibkan kembali dengan menggiring mereka ke lokasi-lokasi yang sudah diizinkan. Lalu, disertai peringatan-peringatan yang cukup keras untuk tidak melanggar aturan. Namun, yang terjadi tetap saja. Semua itu diabaikan. Bahkan, terjadi bentrok fisik antara petugas dan aparat.
Akhirnya, saya harus bersikap. Tidak ada pilihan lain. Saya lakukan tangan besi dengan mengoperasi becak karena sudah diperingatkan segala macam tidak digubris. Tidak dihiraukan sama sekali. Dan itu jumlahnya ribuan. Saya jadikan rumpon ikan di laut sana.
Melihat konteks Jakarta saat ini, posisi becak sebenarnya seperti apa?
Sekarang ini, becak mendapat saingan keras dari yang namanya ojek pangkalan, ojek daring, dan lain-lain. Jadi, pasti makin susah mencari pendapatan. Berkembang itu makin susah.
Apalagi orang, misalnya kamu sedang di suatu tempat mau pulang, naik ojek nih. Kamu kan tidak diturunkan di depan mulut gang. Kamu diturunkan di depan rumahmu, kan?
Artinya, jasa (becak) itu bisa jadi tidak terpakai lagi. Mungkin ada, tetapi hanya satu atau dua orang. Jumlah itu tidak sebanding dengan jumlah becak yang ada.
Akhirnya, sekali lagi mereka akan melanggar. Ke mana saja orang mau menggunakannya, termasuk melawan arus tadi. Mengikuti permintaan penumpangnya.
Sekali lagi, ini adalah pengalaman. Saya tidak berniat mengkritik, apalagi menggurui gubernur dan wakil gubernur. Saya hanya sharing pengalaman, siapa tahu beliau berdua punya cara-cara yang lebih canggih dibandingkan saya. Saya tidak tahu.
Untuk menata becak lagi di kemudian hari bakal lebih sulit atau tidak?
Itu sih bisa dibayangkan. Wong saya yang tangan besi saja sulitnya kayak gitu. Sekarang, kan, model kayak begitu sudah tidak baik diterapkan lagi.
Becak itu alat transportasi yang seperti apa dalam pandangan Bang Yos?
Ya, menurut saya, kerawanan kecelakaan lebih besar. Stabilitas becak itu rendah. Lalu, lambat, kan, gitu. Itu tadi, saya lihat sekarang ada saingannya online, orang Jakarta, kan, ingin cepat bergeraknya. Ingin cepat sampai tujuan. Nah, kalau ada yang cepat, masa naik becak? Bisa langsung diantar dalam beberapa menit sampai ke rumah.
Dulu, zaman saya pun belum ada ojek. Belum ada ojek saja sudah kayak gitu, apalagi nanti. Itu juga bisa memancing konflik antarmereka.
Pada saat mereka (becak) datang, lalu tidak ada penumpang, ya, dia akan cari ke mana pun yang dia bisa. Nalurinya seperti itu karena pulang, kan, harus bawa duit. Aturan-aturan lalu lintas selanjutnya dilanggar. Naluri melanggar itu tinggi.
Becak masih sesuai dengan Jakarta sebagai kota metropolitan tidak?
Ya, artinya, kalau ada alternatif, orang kan bebas milih. Nah, sekarang kalau orang butuh cepat, ada ojek dan becak, pilih yang mana? Logikanya pilih ojek dong.
Kalau dia (becak) sudah kadung datang, dan tidak ada penggunanya, tetapi penggunanya ada tetapi melanggar aturan, itu kira-kira dilanggar enggak aturan itu? Karena prinsipnya pulang harus membawa uang itu.
Kalau Pemprov DKI bersikukuh untuk melegalkan becak, Bang Yos melihat itu seperti apa?
Ya, tidak apa-apa. Itu kewenangan dia. Yang menilai nanti, kan, masyarakat.
Menurut Bang Yos, bagaimana seharusnya Anies bersikap dalam persoalan becak ini?
Karena kata masyarakat, kata pendapat umum, pekerjaan menarik becak itu tidak manusiawi. Mungkin, lebih baik kalau dialihkan profesi saja ke program unggulan Anies-Sandi OK-OCE itu. Itu mungkin lebih baik. Lebih bermartabat.
Menurut Bang Yos, Anies sosok yang seperti apa?
Dia, kan, mantan menteri. Orangnya intelek, dari kampus. Artinya, saya yakin dia punya visi dan misi yang besar untuk membangun Jakarta. Harapan saya seperti itu.
Selanjutnya, dalam kerja Anies-Sandi selama 100 hari ini, banyak masyarakat menyayangkan keputusan-keputusan mereka. Bagaimana tanggapan Bang Yos terhadap hal itu?
Ya, sebenarnya 100 hari itu belum cukup untuk menilai pemimpin di tingkat provinsi, menurut saya. Kita lihat enam bulan ke depan seperti apa. Kita lihat apa yang dilakukan itu, ini kan baru mulai, belum bisa kaki lima, motor boleh masuk protokol, becak juga baru akan, lihat saja nanti. Saya mau lihat enam bulan.
Kalau dalam enam bulan tidak ada perubahan yang signifikan?
Kalau enam bulan itu saya lihat arahnya sudah benar atau belum.
Kalau arahnya belum benar?
Ya kita akan memberi saran. Saya kan seniornya. Misal, wajib bagi saya, bagi mereka tidak wajib. Mereka itu boleh menuruti saran saya, boleh tidak. Namun, saya sebagai seniornya wajib berbagi pengalaman. Apalagi dia membentuk Forum Gubernur.
Sebagai mantan Gubernur DKI, bagaimana Bang Yos memandang kota Jakarta saat ini?
Ini, kan, sedang pembenahan besar-besaran ya. Itu sebagai upaya untuk mengatasi kemacetan dengan membangun MRT, LRT, segala macam itu, kan, dalam rangka itu. Dan, itu sesuai dengan blueprint yang saya buat tahun 2003.
Akibat itu, rakyat memang harus menderita dulu. Tidak ada pilihan daripada menderita berkepanjangan, lebih baik menderita tetapi ada jangka waktunyalah. Itu yang kita alami sekarang. Semoga masyarakat bisa mengerti.
Saya berharap agar Gubernur itu selalu melihat apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya. Kalau program itu memang multi-years, seperti program-program transportasi, itu harus dilanjutkan.
Saya berharap agar Gubernur itu selalu melihat apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya. Kalau program itu memang multi-years, seperti program-program transportasi, itu harus dilanjutkan.
Seperti transjakarta. Meskipun pada awalnya saya ditentang-tentang, sekarang transportasi itu menjadi primadona transportasi. Saya menyelesaikan 10 koridor, ditambah Fauzi Bowo 1 koridor, ditambah Ahok 2 koridor. Itu saya harapkan akan terus dilanjutkan oleh Anies-Sandi.
Nah, moda satu dengan moda lain ini memang harus saling menghubungkan. Itu terintegrasi, konsepnya memang seperti itu. Lanjutkan saja, jangan mikir, wah ini idenya Sutiyoso dulu, kalau mikir seperti itu kapan terbangunnya. Ketika hanya asal kontra, dia enggak akan sukses.
Ide transportasi ini, kan, sudah diteruskan gubernur-gubernur sebelumnya. Contohnya, di Jalan Thamrin-Sudirman itu tidak dibolehkan pengendara sepeda motor karena menurut rencana difokuskan untuk membuat masyarakat beralih ke angkutan umum. Sementara Anies memperbolehkan sepeda motor untuk melalui jalan itu, apakah itu akan mempersulit upaya mengalihkan masyarakat menuju angkutan umum?
Harus pakai aturan. Kalau jaringan transportasi massal ini sudah tersusun, seperti tadi MRT, LRT, transjakarta, atau ada lagi waterway, itu harus diberi aturan supaya orang tidak menggunakan kendaraan pribadi.
Oleh karena itu, kendaraan umum harus bisa menjawab kebutuhan mereka. Kendaraan umum harus representatif. Apa kriterianya? Satu, nyaman. Ada AC, orang pakai jas juga tidak masalah mau masuk kerja. Dua, aman. Tidak ada copet, tidak ada pelecehan seksual, and so on. Lalu, yang ketiga adalah tepat waktu. Bukan nunggu lama gitu, kan. Yang keempat adalah terjangkau tiketnya.
Karena itulah, transportasi itu adalah public service. Pelayanan publik. Jangan ada pikiran pemerintah pusat ataupun daerah untuk cari untung dari transportasi. Keuntungan yang kita dapat adalah tidak langsung. Orang kerja tepat waktu itu, kan, keuntungan ekonomi. Lalu, pada saat dia menggunakan kendaraan umum tadi, berapa juta mobil dan motor diparkir di rumah.
Berapa juta galon (bahan bakar) bisa kita hemat per hari. Karena itu, transportasi yang representatif, yang memang mahal dan berteknologi tinggi itu tadi, harus disubsidi oleh pemerintah. (DD16)