Komik Suara Laras dan Kritik Sosial
Komik sering dianggap sebagai media hiburan ringan. Namun, dalam perjalanannya, buku bergambar ini kerap berisi muatan moral. Seperti komik yang diceritakan lewat karakter Laras, si perempuan bisu.
Laras adalah karakter utama dari komik berjudul Suara Laras. Dalam cerita itu, dia memainkan peran perempuan bisu yang sedang mengenyam pendidikan sekolah menengah atas. Meski seorang difabel, Laras bersekolah di sekolah umum.
Layaknya murid sekolah lain, rutinitas Laras adalah belajar, membuat tugas, lalu pulang. Dari semua aktivitasnya, dia paling menantikan hari Senin. Perempuan ini sangat senang mengikuti upacara bendera. Apalagi, ketika lagu ”Indonesia Raya” dinyanyikan, Laras pasti heboh kegirangan.
Nasionalisme Laras datang dari Sang Kakek. Dari kecil, kakeknya selalu mencekoki lagu-lagu nasional. Laras pun sudah terbiasa dengan didikan kakek yang seorang veteran perang. Kebiasaan ini dimulai sejak orangtuanya menetap untuk bekerja di luar negeri.
Sampai suatu ketika, kakek tutup usia. Laras pun sangat terpukul. Untuk berterima kasih kepada kakek, dia bertekad menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” saat upacara bendera, Senin depan.
Senin pun tiba. Laras yang biasa meluapkan kebahagian mendadak melankolis. Upacara dimulai, lagu ”Indonesia Raya” siap dinyanyikan. Laras dengan sekuat tenaga berusaha mengeluarkan suaranya, tetapi gagal.
Usaha itu diulangnya berkali-kali. Bukan suara yang keluar, malah air mata mengalir deras menuju pipinya. Laras tak berhasil menunjukkan kecintaan dengan menyanyikan ”Indonesia Raya”. Dia hanya bisa bernyanyi dalam hati.
”Dia bisu, sampai kapan pun tidak bisa dan tidak akan pernah bisa,” ucap komikus pencipta Suara Laras, Muhammad Alhaq (21), Kamis (25/1), pada acara Datascrip Creative Comic Competition di Artotel, Jakarta.
Menurut Alhaq, karakter Laras itu sengaja dibuat untuk mengritik kondisi sosial di Indonesia. ”Sekarang banyak berita hoaks. Lalu banyak orang yang ingin membela. Tetapi dengan cara yang aneh-aneh. Seperti memaki-maki dan menunjukkan dirinya paling benar,” kata Alhaq.
Masyarakat Indonesia perlu mencontoh Laras. Dia bisa mencintai dalam diam lewat perbuatan. Alhaq ingin menunjukkan, banyak cara untuk mencintai Indonesia tanpa perlu saling kelahi.
”Lebih baik diam. Perbaiki diri dan bawa nama Indonesia lewat karya. Daripada berdebat yang tidak ada habisnya,” kata komikus bergaya realisme ini.
Karya tersebut membawa Alhaq menjadi pemenang kedua di kategori mahasiswa. Alhaq merupakan komikus muda yang berasal dari Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Kritik zaman
Selain Alhaq, pemenang ketiga, Abdul Manan Heru (20) dari ITS, mengkritik orangtua zaman sekarang yang meremehkan generasi milenial atau kelahiran tahun 1980-1999 dan generasi Z atau kelahiran tahun 2000 ke atas. ”Mereka biasanya menyebut kid’s zaman now, seperti merendahkan,” ucapnya.
Padahal, kata Abdul, anak sekarang sama saja dengan dulu. Salah satunya, masih tetap nasionalis. Abdul menampilkan kritik itu lewat karya KRI Otok-otok.
Kapal Republik Indonesia (KRO) otok-otok adalah ucapan untuk sebuah mainan kapal perang. Komik bercerita tentang veteran perang Trikora (Tri Komando Rakyat) yang berjuang di Papua.
Setelah menjadi veteran, dia tidak memiliki penghasilan. Untuk itu, dia berjualan KRI otok-otok di depan sekolah. Veteran tersebut kecewa karena tidak ada anak muda yang peduli sejarah. Semua murid tidak ada yang melirik KRI, semua membeli mainan impor.
”Veteran itu menangis, dia mengingat perjuangannya yang sangat sulit untuk bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Papua. Dia merasa perjuangannya tidak dihargai anak zaman sekarang,” cerita Abdul.
Sampai satu anak menghampirinya. Anak itu mendengarkan cerita sang veteran. ”Akhirnya kakek menyadari bahwa masih ada anak zaman sekarang yang peduli. Saya mau menunjukkan, anak muda sekarang tidak seperti yang dibayangkan,” ucap Abdul.
Kebutuhan wajib
Masalah sosial merupakan konten wajib dari komik. Hal itu mulai diprakarsai sejak 1941 oleh Amerika Serikat. Saat itu, rumah produksi Marvel menciptakan karakter fiksi Captain America melalui komik.
Pahlawan super ini sengaja diciptakan oleh Joe Simon dan Jack Kirby sebagai propaganda. Karakter Captain America yang merupakan tentara AS dibuat sangat heroik dan tidak terkalahkan. Tujuannya untuk menciptakan semangat warga AS untuk ikut berperang.
Hal serupa dibuat pada komik Jepang, Astro Boy. Komik ini merefleksikan kondisi sosial pada 1960-an. Karakter Atom pada komik itu dibuat untuk mengkritik dunia industri yang sedang marak diperbincangkan. Di satu sisi, industri mempercepat teknologi, tetapi sisi lainnya malah mencemari lingkungan.
Menurut komikus Marvel asal Indonesia, Sunny Gho, pengembangan situasi sosial ke dalam komik adalah keharusan. Hal itu untuk membuat komik menjadi relevan bagi pembaca. Tidak sekadar untuk keren-kerenan (Kompas, 13/1).
Sementara, komikus lokal Is Yuniarto mengatakan, cerita yang dikembangkan dari masalah dan isu lokal adalah kebutuhan komikus. Kelokalan yang ditampilkan itu akan menjadi celah untuk menjual konten.
”Karena kalau bersaing dengan AS dan Jepang akan sulit. Kita cari yang mereka tidak punya, dan itu pasti di isu lokal celahnya,” ucapnya.
Untuk itu, Is menilai komikus lokal harus berani menampilkan kondisi lingkungan sekitar, seperti Alhaq dan Abdul. Sebab, isu lokal membawa Is berhasil.
Is merupakan komikus yang sukses mendobrak industri komik lokal, dengan karya Garudayana, pada 2009. Saat itu, dia menerjemahkan cerita pewayangan yang dekat dengan masyarakat Jawa ke dalam komik. Hal itu berawal dari keresahannya akan wayang yang mulai dilupakan.
Ternyata, percobaan itu berhasil. Garudayana menjadi pionir komik lokal yang tampil dengan budaya dan isu sosial lokal. Padahal sebelumnya, komik lokal selalu bergaya AS dan Jepang.
”Kalau Garudayana isu dan dasar karakternya lokal, yang mengikuti Jepang hanya gaya lukisan manga-nya,” ucapnya.
Is mendorong komikus muda untuk lebih aktif masuk ke industri komik. Dia melihat, industri sedang bergeliat sejak 2017. Apalagi, setelah disrupsi digital. ”Saat ini sedang asyik-asyiknya. Banyak kebutuhan untuk mengisi konten di digital. Biasa kita yang cari penerbit, sekarang kita yang dicari,” katanya.
Kuncinya, komik harus mengedepankan isu dan karakter dari kearifan lokal. Orisinalitas itu akan menciptakan pasar baru. Lewat itu, harapannya, Indonesia akan kehadiran Laras lainnya. Meskipun Laras bisu, pesan moralnya bisa berbicara ke lubuk hati pembaca. (DD06)