JAKARTA, KOMPAS — Jakarta dinilai tidak tepat bagi pengayuh becak karena kota ini mengemban peran sebagai ibu kota yang menjadi pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi Indonesia. Masyarakatnya pun dituntut untuk bergerak serba cepat, berbanding terbalik dengan lambatnya laju becak.
Asep Suryana, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, perkotaan lebih ramah terhadap hal-hal yang sifatnya menguntungkan secara ekonomi. ”Kota-kota lebih ramah pada profit. Tidak ramah pada orang yang tidak punya duit,” kata Asep saat dihubungi pada Selasa (23/1) petang.
”Hal seperti itu tidak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota besar dunia lainnya pun seperti itu,” kata Asep. Ia menjelaskan, becak menjadi tidak sesuai apabila ia diberi konteks sebagai moda transportasi umum mengingat masyarakat Jakarta membutuhkan pergerakan yang cepat dan bermobilitas tinggi.
”Ketika diletakkan di tempat yang membutuhkan kecepatan, seperti di stasiun, becak jadi tidak sesuai. Dia memperlambat kecepatan kendaraan yang lain karena becak masih digerakkan oleh manusia,” kata Asep.
Dari pengamatan di lapangan, becak melaju dengan kecepatan maksimal 10 km per jam tanpa membawa penumpang di sekitar Pasar Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin siang. Kecepatannya tentu melambat apabila becak itu mengangkut penumpang.
Beberapa kali, becak menghambat laju kendaraan bermotor lain di sekitar pasar itu. Becak berlebar sekitar satu meter, sementara jalan di sekitar pasar itu hanya berlebar sekitar empat meter. Truk pengangkut barang yang melintas pun melambatkan lajunya apabila ada becak di depannya. Mereka juga tak bisa mendahului becak itu karena salah satu lajur jalan digunakan untuk melintas kendaraan lain yang berlawanan arah.
Sejarawan JJ Rizal menjelaskan, dalam perjalanannya dari waktu ke waktu, Jakarta, dengan posisinya sebagai sebuah kota, dikonstruksi menjadi ruang bagi orang-orang yang memiliki uang. Akibatnya, masyarakat kelas bawah, yang dapat dilambangkan dengan becak, tidak mendapat dalam ruang kota itu.
Pengoperasian becak pun terus dibatasi. Pembatasan becak dimulai sejak 1970 pada era kepemimpinan Ali Sadikin. Hal itu terbukti dari adanya sejumlah peraturan tentang penertiban becak, yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1972, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007. Dalam peraturan-peraturan tersebut becak dianggap sebagai kendaraan yang tidak layak dan mengganggu ketertiban umum.
Kontekstualisasi
Apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikukuh untuk memberikan tempat bagi becak di ruang kota, yang harus dilakukan adalah pemberian konteks bagi becak itu. Pembatasan tegas terhadap pengoperasian becak kembali menjadi hal penting.
Sosiolog perkotaan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, becak tidak tepat diposisikan menjadi angkutan umum. Ia menilai, masyarakat sudah punya banyak pilihan moda transportasi lainnya.
Sebelumnya, Asep beranggapan, becak menjadi tidak tepat sebagai angkutan umum karena kelambatannya. Selain itu, becak juga masih menggunakan tenaga manusia.
Hal itu sudah ditentang sejak lama melalui Keputusan DPRD DKI Jakarta Nomor 10/P/DPRD/1972 mengenai masalah angkutan umum darat yang digerakkan dengan tenaga manusia. Sementara angkutan lain sudah bermesin sehingga jauh lebih cepat daripada becak.
Asep menyarankan, becak sebaiknya dijadikan sebagai angkutan wisata. Bagi Asep, hal itu tepat dilakukan karena becak, sebagai angkutan umum, tidak dapat lagi bersaing di jalanan dengan kendaraan-kendaraan bermotor yang jauh lebih cepat.
”Becak itu hendaknya dilokalisasi di kawasan-kawasan tertentu di dikontekskan sebagai angkutan wisata. Dia tidak lagi bisa diadu dengan angkutan-angkutan umum bemotor,” kata Asep.
Terkait hal itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno berencana memperuntukkan becak sebagai pendukung wisata. Ia meyakini becak tak akan mengganggu. Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko menyatakan masih mengkaji terkait pelegalan becak.
Soal becak yang akan dijadikan pendukung kepentingan wisata, menurut rencana, becak akan dioperasikan di 16 kampung yang diusulkan Jaringan Rakyat Miskin Kota. Kampung-kampung itu berada di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Adapun kampung-kampung itu adalah Rawa Barat, Rawa Timur, Kali Apuran, Kerang Ijo, Blok Empang, Tembok Bolong, Gedong Pompa, Elektro, Marlina, Aquarium, Krapu, Tongkol, Lodan, Kampung Muka, Kunir, dan Prumpung.
Namun, pengamat tata kota Yayat Supriatna menanggapi secara berbeda rencana membuat becak sebagai angkutan wisata. Yayat mempertanyakan, berapa banyak tempat-tempat wisata yang bisa dimasuki becak. Ia mengkhawatirkan, jumlah becak yang ada itu lebih banyak daripada tempat-tempat wisata yang ada. (DD16)