JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan usaha berwawasan lingkungan dibutuhkan menyusul degradasi ekosistem dan pemenuhan rencana pembangunan jangka panjang untuk mewujudkan Indonesia asri dan lestari dengan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan berkesinambungan. Untuk itulah, dibutuhkan efek bersifat utang berwawasan lingkungan (green bond) untuk membiayai ulang sebagian atau semua kegiatan usaha tersebut.
Skema tersebut juga bisa dipergunakan untuk membiayai program-program pengendalian pencemaran udara oleh pemerintah di sejumlah wilayah perkotaan, termasuk DKI Jakarta. Hal tersebut menjadi sebagian yang mengemuka dalam diskusi menyambut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait green bond yang diselenggarakan Thamrin School of Climate on Sustainability dan Transformasi untuk Keadilan Indonesia di Jakarta, Senin (22/1).
”Kalau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat tidak punya uang untuk mengendalikan pencemaran udara, Pemprov DKI Jakarta dan atau pemerintah pusat bisa menerbitkan green bond atau surat utang dalam rangka menghimpun dana untuk pengendalian pencemaran udara,” sebut Ahmad Safrudin yang mewakili Thamrin School. Adapun aturan terkait dicantumkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).
Ia menambahkan, itu memang terkait dengan tujuan green bond untuk mendorong perusahaan-perusahaan dan pemerintah agar melakukan investasi di bidang lingkungan hidup. Beberapa bidang tersebut adalah energi baru terbarukan, efisiensi energi, konservasi hutan, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan air dan limbah berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati, pengendalian pencemaran, dan adaptasi perubahan iklim.
”Selama ini sulit memperoleh pendanaan untuk proyek-proyek tersebut,” sebut Ahmad.
Direktur Keuangan Berkelanjutan Otoritas Jasa Keuangan Edi Setijawan dalam diskusi tersebut mengatakan, green bond sama dengan obligasi konvesional plus-plus. Penerbitannya hanya dapat diajukan untuk kegiatan usaha bewasawan lingkungan, wajib beroleh pendapat atau penilaian dari ahli lingkungan, menyampaikan hasil review berkala, dan penggunaan 70 persen dana hasil penawaran umum untuk membiayai usaha atau kegiatan lain yang bermanfaat bagi lingkungan.
Akan tetapi, pada tahap awal ini, Edi mengatakan, OJK belum akan menerapkan standar terlalu ketat bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik yang akan mengelurkan green bond. Standar itu terutama mengacu pada sejumlah indikator terkait syarat-syarat keberlanjutan dan ramah lingkungan yang sementara ini dipersilakan pada pihak terkait untuk acuannya.
”OJK tidak berikan batasan terlalu ketat karena bisa jadi (jika batasan terlalu ketat), tidak ada yang berani lompat,” sebut Edi. Ia menambahkan, saat ini yang juga mendesak terkait hal tersebut adalah kebutuhan ahli lingkungan yang dituntut punya kompetensi bidang lingkungan, ekonomi, dan sosial sekaligus. (INK)