Di antara Upah yang Minim, Gaya Hidup, dan Harga Apartemen yang Mahal
Sedikitnya ada empat hal yang menjadi penghalang generasi milenial bisa memiliki hunian vertikal atau apartemen di Jakarta dan sekitarnya. Keempat hal tersebut adalah upah yang minim, gaya hidup yang tinggi, paradigma tidak perlu memiliki hunian sebelum menikah, dan harga apartemen yang masih mahal di Jakarta.
Generasi milenial atau masyarakat yang lahir pada tahun 1980-an hingga 1999 diperkirakan tidak bisa memiliki rumah di perkotaan. Keterbatasan lahan dan peningkatan harga tanah menjadi kendala. Keterbatasan lahan itu diperparah dengan pertumbuhan generasi milenial dan penduduk perkotaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah generasi milenial di Indonesia mencapai 85 juta orang atau 32,6 persen jumlah penduduk. Di sisi lain, pekerjaan dan tinggal di kota kian diminati. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2014, sekitar 52 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Jumlah itu akan mencapai 68 persen pada 2025.
Untuk itu, hunian vertikal atau apartemen sebenarnya jawaban bagi kebutuhan hunian generasi milenial. Sayangnya, generasi milenial belum punya daya beli apartemen. Mayoritas generasi milenial ini baru mulai berkarier, terutama yang berusia 20 tahun, sehingga upah mereka pun cederung kecil.
Survei Oneshildt pada dua perusahaan swasta menyatakan, rata-rata gaji generasi milenial sebesar Rp 5 juta per bulan. Jumlah itu belum cukup untuk mencicil harga apartemen di Jakarta.
Dari situs rumah.com, harga terendah satu unit apartemen di Jakarta adalah sekitar Rp 300 juta dengan tipe studio. Apabila menggunakan kredit pemilikan apartemen (KPA) dengan bunga tetap 10 persen, asumsi cicilan setiap bulanan sekitar Rp 2 juta dengan tenor 15 tahun.
”Gaji saya Rp 4,7 juta. Belum kepikiran mau beli apartemen,” ucap Ellen (23), pegawai swasta yang baru lulus kuliah setahun lalu.
Ellen mengatakan, untuk menabung saja, ia perlu usaha lebih, seperti membawa makanan dari rumah ke kantor. Bahkan, ia masih meminta uang kepada ibunya untuk transportasi ojek daring setiap hari.
Menurut Kepala Oneshildt Financial Planning Agustina Fitri, dengan upah yang diterima Ellen, sulit untuk membeli hunian karena syarat mengajukan KPA adalah jumlah cicilan tidak melebihi 30 persen upah, sedangkan cicilan mencapai 40 persen lebih per bulan dalam kalkulasi upah Ellen.
Gaya hidup
Upah minimal yang disarankan untuk membeli rumah atau apartemen di Jakarta dan sekitarnya adalah Rp 7 juta. Dengan jumlah itu, cicilan tidak terlalu mengubah arus pembiayaan. Itu pun masih dengan catatan, generasi milenial harus mengurangi kebutuhan gaya hidup yang tinggi.
”Harus dikurangi gaya hidup milenial yang terkenal boros, misalnya jangan terlalu sering makan di restoran atau jalan-jalan, kalau mau beli hunian,” ujar Fitri.
Harus dikurangi gaya hidup milenial yang terkenal boros, misalnya jangan terlalu sering makan di restoran atau jalan-jalan, kalau mau beli hunian.
Data Oneshildt menunjukkan hal itu. Sebesar 29 persen upah generasi milenial digunakan untuk gaya hidup, sedangkan hanya 10 persen untuk cicilan dan 8 persen untuk tabungan. ”Mereka menganggap gaya hidup itu kebutuhan. Harusnya tidak seperti itu,” kata Fitri.
Agnes (30), salah satu pegawai swasta di Jakarta, mengatakan, soal gaya hidup mungkin bisa menggambarkan generasi milenial yang dia wakili. Agnes mengatakan belum memiliki investasi jangka panjang. Padahal, upahnya sebagai hubungan masyarakat di salah satu perusahaan sebesar Rp 15 juta-Rp 20 juta.
Menurut Agnes, setiap bulan ia menyisihkan 30 persen dari upahnya, tetapi digunakan untuk melancong. ”Hobi saya melancong. Gaji lebih banyak dipakai untuk jalan-jalan,” katanya.
Dalam setahun saja, Agnes bisa empat kali melancong ke luar negeri. Terakhir, ia melancong ke Jepang pada akhir 2017. Perjalanan itu menghabiskan Rp 25 juta. ”Saya senang mencari pengalaman dan menyenangkan diri,” katanya.
Karena itu pula, sampai memasuki kepala tiga, Agnes belum memikirkan investasi jangka panjang. Katanya, ia belum membutuhkan rumah atau apartemen. Ia masih nyaman tinggal di kos.
Salah satu yang membuat Agnes belum berpikir memiliki hunian sendiri adalah statusnya yang masih singel. Menurut dia, kebutuhan akan hunian akan dia pikirkan saat sudah memiliki pasangan hidup. ”Apalagi saya masih sendiri, jadi belum kepikiran punya hunian. Kalau nanti sudah ada pasangan baru mikir lagi,” ucap Agnes.
Masa depan
Menurut Fitri, pola pikir Agnes tidak benar. Kalau membeli hunian, uang kos yang dibayarkan Agnes setiap bulan tidak terbuang sia-sia. Bukannya mengeluarkan uang membayar kos, Agnes malah bisa untung karena peningkatan nilai investasi berupa hunian.
”Hunian itu kebutuhan pokok. Untuk dipakai jangka panjang. Kalau tidak beli sekarang akan terus naik. Dan, penghasilan tidak bisa menyeimbangi kenaikan itu,” kata Fitri.
Hunian itu kebutuhan pokok. Untuk dipakai jangka panjang. Kalau tidak beli sekarang akan terus naik. Dan, penghasilan tidak bisa menyeimbangi kenaikan itu.
Pertumbuhan upah di Indonesia sebesar 5-10 persen per tahun, sedangkan laju kenaikan harga rumah sebesar 20-30 persen per tahun. ”Untuk apartemen memang tidak secepat rumah. Namun, setiap tahun pasti bertumbuh,” kata Fitri.
Paradigma menikah sebelum memiliki hunian harus dihapus. Menurut Fitri, dengan bertambahnya usia, kebutuhan lain akan menyusul, seperti dana pensiun dan kebutuhan lainnya. Dari data Oneshildt, biaya hidup kaum milenial akan meningkat dari 24 persen menjadi 37 persen setelah menikah. Untuk itu, sebaiknya investasi sebelum menikah.
Selain itu, usia muda juga memudahkan perizinan KPA di bank. Dengan usia muda, bank akan mengizinkan cicilan KPA dengan tenor 15-25 tahun, sedangkan apabila umur sudah mencapai 30 ke atas lebih sulit.
Mulai bergeliat
Survei Oneshildt mengatakan, hanya 17 persen kaum milenial yang memiliki hunian. Meski begitu, pertumbuhan ini mulai terasa, terutama pada apartemen di pinggiran Jakarta yang memiliki permudahan akses transportasi ke tempat beraktivitas dengan transit oriented development (TOD).
Geliat itu diperlihatkan apartemen Sky House di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, yang dikelola pengembang Country Garden. Menurut Michael dari marketing Country Garden, pembelian apartemen sudah mencapai 800 unit meski baru selesai pada 2021.
Dari 800 unit, sekitar 30 persen pemesannya adalah kaum milenial. Michael mengatakan, target dari apartemen memang mulai bergeser ke pasar di bawah 35 tahun. Untuk itu, cicilan dipermudah dengan jangka 20 tahun.
Hal yang sama dikatakan Stefanny, Manajer Marketing Apartemen Meikarta, milik pengembang Lippo Group. Pasar kaum milenial hampir mendominasi pembelian Meikarta. ”Kalau perbandingannya sekitar 40 persen banding 60 persen, 40 persen yang kaum milenial,” ucapnya.
Harga apartemen yang murah dinilai Stefanny menjadi penyebabnya. Apartemen dengan satu kamar dihargai Rp 230 juta, sedangkan di Jakarta, apartemen termurah dengan satu kamar berkisar Rp 400 juta.
Selain itu, KPA juga membantu penjualan. Generasi milenial hanya membayar Rp 1 juta tiap bulan dengan bunga statis 7,75 persen selama 15 tahun.
Senior Associate Director PT Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan, apartemen perlu mempermudah pembelian apartemen dengan KPA. Caranya dengan menjaga suku bunga satu digit dengan cicilan selama 10-15 tahun (Kompas, 11/1).
Data Colliers menyebutkan, penggunaan KPA meningkat dalam pembelian unit apartemen. Pada 2017, pembeli yang menggunakan KPA sebesar 32 persen, naik dari 16 persen pada 2013. (DD06)