JAKARTA, KOMPAS — Di dalam Islam, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai bapak tasawuf dunia. Ia mengajarkan keselarasan hidup di dunia dan akhirat.
Al-Ghazali lahir di Thus, Iran, dan hidup pada 1058-1111 Masehi. Selain dikenal sebagai bapak tasawuf dunia, ia merupakan seorang sufi yang ahli filsafat, teologi, fikih (ilmu tentang hukum Islam), dan ketatanegaraan. Tasawuf merupakan ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Sang Pencipta.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj, Al-Ghazali selalu menekankan agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya.
”Hawa nafsu sering kali membuat manusia tertipu dengan hal duniawi, seperti kekayaan, jabatan, dan ilmunya,” kata Said dalam Seminar Internasional Tasawuf Imam Al-Ghazali di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (19/1).
Said menceritakan kisah hidup Al-Ghazali yang akan meninggalkan rutinitas sehari-harinya. Al-Ghazali berani meninggalkan jabatannya sebagai seorang rektor sebuah universitas dan mengembara ke Suriah hingga Mesir, sampai memutuskan menyendiri di Damaskus.
Dalam kesendirian tersebut, Al-Ghazali menemukan ilmu yang tidak dapat dideskripsikan. Ia mampu mengetahui kapan waktu meninggalnya.
Al-Ghazali mengajarkan, kebenaran ada di dalam diri manusia itu sendiri. ”Allah tidak pernah dihalangi, tetapi kita yang menutup diri dengan Allah,” kata Said.
Said menjelaskan, dalam hidup, sering kali manusia dipenuhi rasa khawatir. Perasaan tersebut harus dikelola menjadi ilham dengan cara beribadah mendekatkan diri kepada Allah.
Ia mengatakan, rasa khawatir yang hadir apabila dikelola, akan menjadi sebuah karya yang indah. Adapula khawatir yang terjadi karena hawa nafsu. Perasaan tersebut dapat terjadi di mana saja, bahkan di tempat ibadah.
”Salah satu contoh, orang yang memperlihatkan dirinya berdoa di depan umum demi mendapatkan pujian, maka sejatinya orang tersebut telah dikuasai hawa nafsu,” kata Said.
Said berkata, perasaan khawatir yang terakhir, yaitu terjadi karena waswas. Perasaan tersebut muncul karena godaan setan yang terjadi secara spontan.
”Al-Ghazali sering kali dituduh sebagai penyebab kemunduran agama Islam, padahal sejatinya penyebab kemunduran tersebut adalah hawa nafsu,” tutup Said. Setelah Al-Ghazali wafat, muncul pemikir Islam yang terkenal seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Arabid.
Cinta kasih
Bagi bangsa Indonesia, ajaran Al-Ghazali sangat bermanfaat dalam menyatukan perbedaan. Dekan Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Ilyas Ismail mengatakan, Al-Ghazali selalu mengajarkan cinta kasih.
”Cinta kasih dan kelembutan merupakan inti dari tasawuf,” kata Ilyas. Nilai tersebut mengembangkan prinsip persaudaraan sebangsa dan setanah air serta persaudaraan manusia.
Ilyas menyayangkan peristiwa perpecahan yang terjadi karena agama, seperti kekerasan akibat terorisme. Ia menekankan, kasih sayang menjadi kunci mengatasi perpecahan tersebut.
Pimpinan Ma’had Aly for Islamic Studies Raudhatul Muhibbin, Luqman Hakim, mengatakan, ajaran Al-Ghazali dapat berguna untuk diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia. Ia berpandangan, pendidikan di Indonesia tidak memiliki teori filsafat pendidikan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Ajaran Al-Ghazali mampu menghancurkan sifat hedonis, materialistis, komsumtif, dan radikal. Luqman mengatakan, sifat tersebut muncul dari industri yang membuat orang lupa diri sehingga memanjakan hawa nafsu. Kebiasaan tersebut dapat menghancurkan karakter bangsa.
”Sistem pendidikan yang benar akan dapat mengatasi konflik yang terjadi karena nafsu,” kata Luqman. (DD08)