Pelarangan cantrang adalah bagian dari upaya menjaga keberlanjutan sumber daya laut bagi nelayan dan bangsa ini di masa mendatang. Aturan pelarangan tetap berlaku, tetapi pemerintah memberikan kesempatan dan menjanjikan dukungan bagi nelayan di pantai utara Jawa untuk beralih ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan.
Berikut ini petikan wawancara Kompas dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, di Jakarta, Kamis (18/1).
Bagaimana memastikan nelayan akan beralih dari alat tangkap cantrang setelah perpanjangan waktu peralihan ini?
Akan ada pendataan by name by address. Ini sekarang lebih dimungkinkan karena kepala daerah terlibat dalam satuan tugas yang kami bentuk. Dalam pendataan itu akan ditanya apa alasan nelayan belum beralih. Tidak bisa tidak, mereka harus punya niat untuk beralih (karena ada peraturan). Ini bukan perpanjangan permanen. Perpanjangan hanya sampai peralihan untuk setiap orang selesai. Harus dibuat deadline untuk setiap orang.
Apa yang paling menyulitkan nelayan untuk beralih?
Pabrik memprovokasi karena mereka perlu ikan murah untuk surimi. Ada juga keserakahan pemilik kapal. Di beberapa daerah, banyak kapal cantrang tidak masuk tempat pelelangan ikan, bagi hasilnya ditentukan pemilik kapal. Ada unsur politis juga. Politisi mau cari simpati, ya, silakan saja, tetapi jangan main-main dengan masa depan orang.
Bagaimana membuat nelayan punya nilai tambah lebih?
Penambahan nilai dengan pengolahan itu pandangan orang yang tak mengerti bisnis perikanan. Di bidang perikanan atau makanan laut, yang paling murah itu ikan asin, naik sedikit kalengan, lalu beku, surimi dan semacamnya. Naik lagi produk segar, lalu nilai lebih tinggi ikan hidup. Semestinya transportasi diutamakan. Investasi membangun konektivitas dari sumber utama perikanan ke gateway ekspor sangat penting.
Bagaimana kondisi perairan Jawa?
Kondisi perairan pantai utara Jawa itu sudah overfishing, sejak cantrang mulai dipakai. Dulu di mana-mana ada rajungan, sekarang hanya di daerah tertentu. Seperti Kabupaten Tegal, tidak punya cantrang, mereka ikannya masih variatif, ada bawal putih, lobster, kepiting. Yang pakai cantrang semua hilang. Udang di kota udang Cirebon pun hilang. Nelayan cantrang memang jadi kaya, tapi nelayan tradisional lainnya mati atau tidak sekaya dulu. Dulu kalau angin Barat, cari udang dari Cirebon sampai Semarang saja dalam satu malam bisa 300 ton. Sekarang sudah tak bisa.
Dengan alat tangkap yang baru, nelayan mengeluhkan ikan yang didapat lebih sedikit dari sebelumnya. Menurut Ibu?
Iya, tapi harganya lebih tinggi. Cantrang memang dapatnya ton-tonan, tetapi harganya Rp 5.000 per kg. Dengan gill net, dapat kakap merah, harganya satu ton bisa Rp 40 juta. Volume berkurang, tetapi nilainya naik. Ekspor juga begitu, ambil sedikit, tetapi dapat nilai lebih tinggi. Itulah sustainability. Tetapi keserakahan enggak bisa melihat itu.
Sekarang stok ikan naik dari 6,5 juta ton jadi 12,5 juta ton. Bahkan stok ikan di pantura pun sekarang agak naik, karena mereka yang pakai cantrang mulai berkurang dan hati-hati, malam saja keluar, pagi sudah kembali. Rajungan pun mulai banyak. Mulai banyak jenis ikan lain. Silakan cek dan tanyakan pada nelayan di Tegal, Demak, Indramayu.