China Akan Usik Duopoli Boeing dan Airbus
Pembangunan ekonomi dengan tahapan yang mantap, itulah program China. Dari negara pertanian miskin ke negara manufaktur, China berambisi menjadi negara dengan cap berteknologi tinggi. Ada misi di balik itu, potensi nilai ekonomi dan citra negara besar didukung teknologi berkualitas dunia.
China memperlihatkan kemampuan itu dengan pembuatan mobil hingga telepon seluler berkualitas. Selanjutnya, China ingin menjadi negara pembuat pesawat komersial berkualitas dunia.
”Dominasi pesawat sipil buatan duopoli Boeing dan Airbus tampaknya akan terusik. Potensi persaingan akan datang dari perusahaan berusia 10 tahun, Commercial Aircraft Corporation of China (Comac), yang didirikan di Shanghai, Mei 2008,” demikian dituliskan di situs harian Inggris, The Telegraph, pada 11 Januari 2018.
Bukti terbaru adalah munculnya pesawat sipil Comac C919, berkapasitas 150 penumpang dan berjarak tempuh lebih kurang 5.000 km. Dalam 10 tahun Comac sudah memperlihatkan reputasi. Uji coba penerbangan resmi perdana C919 sukses pada Mei 2017.
Belum meraih pendapatan, tetapi di usia muda Comac cepat menelurkan prestasi. Sebagai perbandingan, Bombardier dari Kanada berdiri tahun 1989, Airbus pada 1970, Embraer dari Brasil berdiri tahun 1969, dan Boeing pada 1916.
Untuk pembuatan pesawat C919 ini, Pemerintah China memang sangat serius. Saat mengunjungi pabrik C919 tahun 2014, kepada para teknisi, Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa perampungan jet jumbo adalah bagian dari impiannya tentang China masa depan.
Untuk kemajuan industri penerbangan ini, Pemerintah China pun telah mengeluarkan miliaran dollar AS guna pembelian komponen inti, mesin, dan perangkat avionik dari 15 perusahaan internasional, termasuk General Electric (GE) dan Honeywell.
”Penerbangan perdana C919 menandai langkah besar bukan hanya bagi China, melainkan juga bagi seluruh industri pesawat global,” kata Steven Lien, Presiden Honeywell Aerospace Divisi Asia Pasifik. ”Ini mewujudkan impian China terbang tinggi dengan pesawat buatan sendiri.”
Pesawat jenis C919 ini akan beroperasi secara komersial pada 2020. Ini sesuai dengan tujuan pendirian Comac, yakni mengurangi ketergantungan pesanan pada Boeing dan Airbus untuk kebutuhan rute domestik. Kemampuan C919 lebih kurang setara dengan Boeing 737 MAX dan Airbus A320neo.
Pada Desember 2017, Comac sudah mendapatkan 785 pesanan dari maskapai penerbangan China. Dikabarkan ada juga 20 pesanan dari konglomerat AS, GE.
Tugas berat
Comac tidak berhenti di situ saja. Perusahaan juga berambisi menjual pesawat ke luar negeri, termasuk menembus pasar AS. Untuk mewujudkan itu, China memerlukan sertifikasi keselamatan atas pesawat buatannya dari AS dan Uni Eropa.
China dan Uni Eropa pada Desember 2017 sudah meneken kesepakatan tentang kesediaan kedua pihak untuk saling mengakui standar keselamatan pesawat buatan masing-masing. Pada edisi 8 Januari, harian The China Daily memberitakan, kesepakatan itu akan menciptakan iklim dan prosedur lebih mudah bagi pesawat China memasuki pasaran dunia.
”Kesepakatan itu berlaku untuk ARJ21 dan C919,” kata Xu Chaoqun, Kepala Departemen Sertifikasi Biro Penerbangan Sipil China.
Di samping alasan keamanan, FAA akan menghadapi protes publik jika mempermudah masuknya C919.
Menurut Li Xiaojin, profesor ekonomi spesialisasi penerbangan dari Civil Aviation University of China di Tianjin, pesawat jenis ARJ21 untuk pasaran lokal dan C919 untuk ekspor. ARJ21 adalah pesawat regional bermesin jet yang berukuran lebih kecil daripada C919 dan memiliki daya jelajah lebih pendek.
Sertifikasi tidak cukup dari Uni Eropa saja. Pada Oktober 2017 juga telah diteken perjanjian antara Beijing dan Badan Penerbangan Federal AS (Federal Aviation Administration/FAA). Isinya serupa, agar kedua pihak saling memberi sertifikasi standar keselamatan pesawat buatan masing-masing. Kesepakatan ini secara teoretis bisa diterjemahkan akan memudahkan C919 memasuki pasaran AS.
Hanya saja, para analis mengatakan, AS akan sulit menerima pesawat buatan Comac. ”Di samping alasan keamanan, FAA akan menghadapi protes publik jika mempermudah (masuknya C919),” kata Richard Bitzinger, peneliti dari S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, seperti dikutip Forbes pada Januari 2018.
Menurut Bitzinger, kehadiran Comac bisa memaksa produsen pesawat lain, seperti Boeing, Airbus, dan Embraer, untuk memberikan harga dan kesepakatan yang lebih bagus kepada pelanggannya. ”Namun, menurut saya, itu masih dalam jangka panjang, kalaupun China bisa mendobrak masuk pasar (pesawat komersial) di AS atau bahkan dunia,” ujarnya.
Ada unsur politik dan bisnis yang sangat melekat di balik sertifikasi pada pesawat buatan China. Jika sertifikasi belum didapatkan, pasar penerbangan domestik China cukup besar untuk membuktikan kualitas pesawat buatannya. Untuk penggunaan domestik, China tidak perlu menunggu jika logika di balik penolakan sertifikasi dari Uni Eropa dan AS adalah ketakutan akan persaingan.
Sangat besar pemakaian pesawat sipil di China menurut harian China, The Caixin Global, edisi 29 Desember 2017, dengan mengutip laporan Boeing pada September 2017. China diperkirakan memerlukan sebanyak 7.240 pesawat senilai 1,1 triliun dollar AS dalam dua dekade mendatang. Ini setara dengan 20 persen dari permintaan global.
Pesawat yang beredar di udara China sekarang didominasi Boeing dan Airbus. Pemakaian C919 bertahun-tahun ke depan di negara asalnya sendiri akan menjadi bukti soal standar keselamatan jika tidak didapatkan dari AS, Eropa, dan lainnya.
Aneka jenis pesawat
Tampaknya China juga tidak ingin terburu-buru mendapatkan sertifikasi standar keselamatan itu. Masalahnya, China juga sedang dalam pemantapan kemampuan teknologi pesawat untuk jenis lain.
Pada November 2017, China telah mengembangkan AG600, pesawat amfibi terbesar di dunia. Di samping itu, China sudah berkolaborasi dengan Rusia untuk pembuatan mesin pesawat berbadan lebih besar, Comac C929.
Victor Kladov, Direktur Rostec (perusahaan negara Rusia di bidang industri strategis), mengatakan, pengembangan mesin untuk pesawat berkapasitas 280 kursi, C929, menjadi prioritas utama. ”Hanya Rusia dan China yang terlibat dalam proyek ini. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menghasilkan mesin terbaik di dunia demi mendukung penerbangan,” kata Kladov.
Pesawat tipe C929 akan mampu melayani penerbangan dengan jarak tempuh 12.000 km. Comac dan mitra Rusia akan melakukan penyerahan pesawat tipe ini pada 2025. Penerbangan jarak jauh sekarang ini didominasi pesawat yang menggunakan mesin buatan GE dan Rolls-Royce.
Rostec juga akan bekerja sama dengan China untuk pembuatan helikopter. China telah pula mengembangkan mesin turbo WS-15 untuk penggunaan pesawat tempur siluman J-20.
Taktik sertifikasi
Sembari mengembangkan aneka pesawat, China tentu tidak kurang taktik untuk sertifikasi. Seperti diberitakan kantor berita Xinhua pada 10 Januari, kekuatan pasarnya juga membuat manufaktur pesawat dunia memberi apresiasi dan opini yang mendukung. Pihak Airbus, misalnya, telah mengatakan amat menghargai China sebagai pasar terbesarnya dan juga sebagai mitra strategis dalam kerja sama industri penerbangan.
Dalam dua dekade terakhir, pesanan China atas pesawat dari Boeing dan Airbus sering juga dipakai sebagai jalan untuk berekonsiliasi soal ketegangan perdagangan, seperti pernah diberitakan harian The South China Morning Post edisi 5 Mei 2017.
Hal ini terlihat dari dukungan kondusif pihak penerbangan Barat. ”China sekarang menjadi lebih penting bagi Airbus. Kami sudah menyerahkan 100 pesawat baru Airbus sebagai kelanjutan dari penyerahan di tahun-tahun sebelumnya,” kata Francois Mery, Ketua Pelaksana Operasional Airbus Commercial Aircraft China.
Pihak Airbus mengatakan amat menghargai China sebagai pasar terbesarnya dan juga sebagai mitra strategis dalam kerja sama industri penerbangan.
Mery juga menyadari ambisi China. ”Negara ini memiliki ambisi untuk mengembangkan pesawat buatan sendiri. Bagi Airbus, ini adalah situasi yang saling menguntungkan,” lanjut Mery.
Airbus telah meneken pada Selasa (9/1) nota kesepakatan dengan National Development and Reform Commission of China (NDRC) untuk kerja sama industri lanjutan di Tianjin. Kedua pihak sepakat memperkuat kolaborasi di bidang inovasi, kemampuan teknologi, dan pasokan. Airbus dan mitra China juga telah meneken peningkatan produksi A320 di Final Assembly Line, Tianjin, hingga mampu membuat enam pesawat per bulan.
Keberadaan mitra lokal andal di China juga semakin banyak. Ini adalah hasil dorongan kuat pemerintah. Saat Airbus masuk ke China tahun 1985, tidak ada perusahaan swasta yang berkiprah dalam industri pembuatan pesawat dan komponennya. China telah mencapai perkembangan dalam industri ini dengan segala peningkatan kualitas.
Kini, semakin banyak perusahaan yang punya kualifikasi. Pada akhir 2017, perusahaan Xizi UHC, berbasis di Hangzhou, menjadi pemasok sayap Airbus. Nanshan Group, di Provinsi Shandong, sedang dalam saringan menjadi pemasok bagi Airbus. ”Pemerintah China mendorong pengembangan perusahaan swasta dan semakin banyak yang berkompeten di bidang ini,” kata Mery.
Menurut situs FlightGlobal edisi 16 Januari, China juga memanfaatkan ancaman penutupan bisnis yang sedang menghadang superjumbo Airbus A380. Pembuatan pesawat tipe ini terancam dihentikan karena pesanan yang kurang. China menjanjikan pembelian pesawat dua lantai itu dengan syarat, A380 bersedia bekerja sama dalam pembuatan bagian dari pesawat A380.
Hal ini diakui Presiden Airbus untuk Divisi Pesawat Komersial Fabrice Bregier. Hambatannya adalah pertimbangan komersial, tetapi tidak dirinci apa yang dia maksud dengan itu.
Pandangan Rolls-Royce
China tidak menutup diri pada kolaborasi dan penggunaan pesawat buatan AS dan Eropa. China hanya ingin meraih manfaat kerja sama dan meraih sertifikasi. China ingin maju bersama dan bersaing.
Maka, tidak heran seperti diberitakan di situs CBNC edisi 18 September 2017, ”China juga kemungkinan akan memulai pembuatan mesin pesawat jumbo segera. Dalam jangka panjang, sangat mungkin dan layak jika China membuat pesawat berbadan lebar.” Hal itu dikatakan Presiden Rolls-Royce Ian Davis. ”Sangat masuk akal bagi negara industri mulai melakukan itu dan saya asumsikan mereka akan tampil di masa depan.”
Hal ini membuat China semakin eksis dalam penerbangan. Seperti diberitakan harian Hongkong, The South China Morning Post, edisi 14 Januari 2018 bahwa China sedang dalam pembicaraan untuk menjual teknologi mesin jet ke Jerman. Mengekspor teknologi ke negara yang terkenal dengan kualitas jelas akan memberi citra bagus bagi industri pesawat China.
Teknologi mesin pesawat yang ditawarkan ke Jerman itu adalah mesin yang memproduksi turbin dengan kemampuan bertahan terhadap suhu ratusan derajat celsius. Mesin jenis WS-15, yang ditawarkan itu, menurut media di China setara dengan mesin F119 buatan Pratt & Whitney dari AS.
Dalam jangka panjang, sangat mungkin dan layak jika China membuat pesawat berbadan lebar.
Profesor Chen Jiang dari Beijing University of Aeronautics and Astronautics mengatakan, tidak heran jika China akan memasok mesin jet ke Jerman. ”Ini sangat mungkin karena China telah meraih kemajuan luar biasa,” katanya.
Ini bagian dari taktik untuk perolehan sertifikasi. Profesor Peng Jiahui, yang mempelajari teknologi pemrosesan laser di Huazhong University of Science and Technology, mengatakan, kemajuan itu berkat pengembangan serius. Hal ini didukung kembalinya warga China dari seberang.
Banyak peneliti China yang bekerja di GE, Pratt & Whitney, dan Rolls-Royce kembali ke China. Ini secara signifikan memberikan kemajuan bagi pengembangan mesin. ”China sudah bisa membuat telepon seluler terbaik. Hal serupa sedang terjadi untuk mesin jet,” kata Peng.