Saat Repatriasi Dipersiapkan, Pengungsi Baru Malah Datang
TEKNAF, KAMIS — Seratus lebih warga Rohingya tiba di Bangladesh sejak Rabu (17/1) dan itu terjadi saat pemerintah negara tersebut bersiap merepatriasi ratusan ribu warga etnis minoritas itu ke Myanmar, pekan ini.
Warga Rohingnya yang baru tiba di Bangladesh itu mengatakan, mereka lari dari operasi militer yang terus berlanjut di Rakhine, negara bagian paling bergolak yang menjadi pusat permukiman minoritas tersebut di Myanmar.
Kejadian itu semakin memperumit keadaan. Telah muncul keraguan tentang keberhasilan upaya pemulangan kembali 655.500 pengungsi Rohingya di Bangladesh ke Myanmar.
Selain itu, ratusan warga Rohingnya lain juga sedang menanti saat yang tepat untuk menyeberang ke Bangladesh di tepi Sungai Naf, yang memisahkan Myanmar-Bangladesh.
Bangladesh dan Myanmar telah mengumumkan bahwa mereka bersepakat untuk mempersiapkan pemulangan para pengungsi itu dari Bangladesh ke Myanmar dalam waktu dua tahun, yang dimulai pekan ini.
Sebanyak 655.000 pengungsi Rohingnya saat ini berada di tenda-tenda darurat di wilayah perbatasan Bangladesh dan telah selesai diidentifikasi untuk persiapan pemulangan. Mereka adalah korban kekerasan operasi militer Myanmar sejak Agustus 2017.
Selasa (16/1), Bangladesh dan Myanmar telah mengumumkan bahwa mereka bersepakat untuk mempersiapkan pemulangan para pengungsi itu balik ke Myanmar dalam waktu dua tahun, yang dimulai pekan ini.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menggambarkan operasi militer Myanmar di Rakhine, yang dilakukan untuk menanggapi serangan militan terhadap polisi dan tentara pada 25 Agustus 2017, sebagai pembersihan etnis atas etnis minoritas Rohingya.
Seorang pejabat intelijen Bangladesh di Dhaka dan petugas bantuan di kamp Rohingya yang luas di Kutupalong, dekat Cox’s Bazar, mengatakan, lebih dari 100 pengungsi Myanmar telah tiba.
Salah satu kapal mengangkut 53 pengungsi baru dari Myanmar. Mereka menyeberangi Sungai Naf pada Rabu (17/1) dini hari.
Kapal gelombang kedua tiba di Teluk Benggala dengan 60 warga Myanmar pada Kamis (18/1) pagi.
Sebagian lainnya masih terjebak di sisi Myanmar karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar tukang perahu.
Sebagian lainnya masih terjebak di sisi Myanmar karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar tukang perahu, kata beberapa pegiat kemanusiaan.
Para pengungsi menyebutkan, mereka membayar antara 30.000 dan 40.000 kyat (Rp 300.000-Rp 400.000) untuk perjalanan malam hari dengan kapal-kapal yang reyot ke Teknaf, Bangladesh bagian selatan.
Peristiwa itu terjadi justru saat ratusan ribu orang lainnya, yang mengungsi lebih dulu ke Bangladesh, mengatakan bahwa mereka sedang menunggu di perbatasan untuk menyeberang kembali ke Myanmar.
Pengungsi terbaru
Sebagian besar pengungsi yang baru datang mengatakan, mereka berasal dari Desa Sein Yin Pyin di Distrik Buthidaung. Mereka melarikan diri karena khawatir akan dijemput paksa oleh militer.
Mohammad Ismail (48) dan empat pengungsi lainnya mengatakan, dua minggu lalu mereka melihat mayat yang tergantung dengan tali di hutan tempat Ismail biasa mengumpulkan kayu.
”Setelah ini, saya tidak pernah pergi ke hutan lagi, dan semua uang saya hilang. Jadi keluarga saya tidak makan selama tiga hari,” kata Ismail.
Kolonel Polisi Myanmar Myo Thu Soe, juru bicara Kementerian Dalam Negeri yang dikuasai militer, mengatakan ”tidak ada operasi pembersihan yang terjadi di desa-desa”.
Namun, ia menambahkan, ”pasukan keamanan masih berusaha mengendalikan daerah tersebut” di Rakhine utara. Dia menolak untuk menjelaskan lebih rinci soal itu.
Juru bicara Pemerintah Myanmar, Zaw Htay, tidak menanggapi ketika diminta untuk berkomentar.
Militer Myanmar mengatakan, pada Oktober 2016 mereka menarik tentara dari Negara Bagian Rakhine barat.
Sekelompok tentara menangkap sekitar 200 orang yang tidur di hutan dalam perjalanan ke Bangladesh dan menjarah barang-barang bukan haknya, termasuk beras, telepon, alat cas telepon genggam, dan uang.
Penduduk Desa Sein Yin Pyin mengatakan, sekelompok tentara menangkap sekitar 200 orang yang tidur di hutan dalam perjalanan ke Bangladesh dan menjarah barang-barang bukan haknya, termasuk beras, telepon, alat cas telepon genggam, dan uang.
Mereka dihentikan lagi pada Kamis (18/1) di sebuah pantai di Desa Dongkhali, dengan sekitar 20 tentara merekam video dengan ponsel mereka saat menanyai kelompok tersebut dan mendesak mereka untuk tidak pergi.
Lebih dari dua lusin pengungsi diwawancarai terkait kondisi mereka.
”Pertama, orang-orang mereka menjarah kami, lalu mereka menghentikan kami lagi untuk bertanya mengapa kami pergi,” kata Umme Habiba (15). ”Kami pergi karena takut.”
Fayazur Rahman, buruh berusia 33 tahun dari Buthidaung bagian selatan, mengatakan, 12 tentara menyatroni rumahnya dua minggu lalu dan melakukan kekerasan seksual terhadap saudaranya yang berusia 18 tahun.
”Hari demi hari, keadaan semakin buruk,” katanya.
Myanmar berkali-kali membantah telah melakukan kekerasan dan pelecehan seksual. Terutama yang terkait dengan tuduhan pelanggaran terhadap pasukan keamanannya selama operasi di Rakhine.
Sementara di di Dhaka, ibu kota Bangladesh, seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri mengatakan, batas waktu pemulangan Rohingya ke Myanmar adalah akhir pekan ini.
”Pemulangan harus bersifat sukarela, aman, dan bermartabat,” kata satu dari 14 pejabat yang terlibat tim perundingan dengan Myanmar terkait pemulangan warga Rohingya.