JAKARTA, KOMPAS - Tiga dokter yang dijadwalkan menjadi saksi untuk dokter Bimanesh Sutarjo dalam perkara dugaan menghalangi atau merintangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, menolak hadir dengan alasan menjaga independensi profesi. Ketiganya semula diminta oleh pihak Bimanesh sebagai saksi yang meringankan.
Penyidik KPK, Rabu (17/1) ini sedianya memeriksa tiga dokter, yaitu Prasetyono, Zubairi Djoerban, dan Budi Sampoerna sebagai saksi untuk Bimanesh.
Bimanesh adalah dokter penyakit dalam di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta, yang diduga bersama-sama dengan mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi, merintangi penyidikan KPK terhadap Novanto dengan memasukkannya ke RS, pertengahan November 2017. Bimanesh yang merawat Novanto ketika itu diduga memanipulasi rekam medis Novanto.
Juru bicara KPK Febri Diansyah, Rabu di Jakarta mengatakan, rencana pemeriksaan ketiga dokter itu merupakan bentuk pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab ketiganya diperiksa untuk saksi yang meringankan bagi Bimanesh.
"Mereka adalah saksi yang diajukan oleh tersangka BST (Bimanesh Sutarjo). Sebagai bentuk pelaksanaan terhadap hak-hak tersangka, maka penyidik KPK melakukan pemanggilan," kata Febri.
Ketiga dokter menolak permintaan Bimanesh untuk diperiksa sebagai saksi yang meringankan
Akan tetapi, ketiganya menolak permintaan Bimanesh untuk diperiksa sebagai saksi yang meringankan. Alasannya, para dokter itu ingin menjaga independensi mereka sebagai bagian dari tim Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang melakukan pemeriksaan etik terhadap Bimanesh.
"Hal tersebut sudah diinformasikan pada penyidik dan KPK tentu menghargainya," kata Febri.
Terkait dengan pengajuan status justice collabolator atau orang yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkapkan kejahatannya, sebagaimana telah diajukan Novato, 10 Januari lalu, Febri mengatakan pihaknya masih mempertimbangkan sejumlah hal. Sebab beberapa syarat harus dipenuhi bila orang ingin menjadi justice collabolator (JC).
Salah satu syarat JC ialah mengungkap keberadaan orang lain dengan peran yang lebih besar dalam jaringan kejahatan yang dilakukannnya. Oleh karwna itu, orang berstatus JC vukanlah pelaku utama dalam kejahatan tersebut.
Selain itu, orang yang berstatus JC harus mengakui perbuatannya dan konsisten dengan sikapnya untuk mengungkap seluruh jaringan kejahatannya.
Kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail mengatakan, saat korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-El) diduga terjadi dan disangkakan pada Novanto, tahun 2011-2012, kliennya saat itu berkedudukan sebagai Ketua Fraksi Golkar.
"Bahwa dengan kedudukan beliau sebagai ketua fraksi, beliau bukan pelaku utama. Dalam proses penganggaran misalnya, beliau tidak memunyai kewenangan. Anggaran kan datang dari Kementerian Dalam Negeri yang sudah disetujui oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan," kata Maqdir.
Mengenai kesediaan Novanto untuk mengakui perbuatannya, menurut Maqdir hal itu tidak bisa diartikan sebagai pengakuan atau pembenaran Novanto terhadap seluruh isi dakwaan jaksa.
"Pasti saja kalau ada perbuatan yang memang dilakukan akan diakui. Tetapi tapi kalau tidak tahu kan tidak mungkin membuat pengakuan," ujarnya.