JAKARTA, KOMPAS — Penguatan puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan di masyarakat agar bisa melakukan kegiatan promotif preventif dengan baik mendesak dilakukan. Hal itu membutuhkan komitmen bukan hanya dari pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah.
Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes) Krishna Jaya, Selasa (16/1), di Jakarta, menyatakan, puskesmas idealnya menjalankan upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat secara seimbang. Namun, puskesmas masih condong kepada upaya kesehatan perseorangan.
Untuk itu, perlu ada penguatan puskesmas dari segi sumber daya manusia, sarana, dan anggaran. Tujuannya agar puskesmas bisa menjalankan fungsi promotif preventif sebagaimana mestinya. ”Dinas kesehatan sendiri sibuk setengah mati mengurusi urusan administrasi,” ujarnya.
Menurut Krishna, jika puskesmas dan rumah sakit dipenuhi pasien berobat seperti saat ini, ada yang salah dengan puskesmas. Upaya kesehatan masyarakat tidak berjalan dengan baik.
Di tempat terpisah, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ridwan Thaha menegaskan bahwa penting untuk
mengembalikan puskesmas kepada fungsinya sebagai ujung tombak kegiatan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Hal itu butuh komitmen kuat. Dengan tuntutan harus berkunjung ke masyarakat, puskesmas perlu sumber daya manusia, anggaran, dan sarana cukup. Jadi, seharusnya tak ada moratorium penerimaan tenaga kesehatan. ”Bagaimana promosi kesehatan dan pencegahan penyakit bisa dilakukan jika tenaga kesehatan masyarakatnya kurang,” kata Ridwan.
Dalam hal anggaran, Kementerian Kesehatan mengalokasikan bantuan operasional kesehatan (BOK) bagi puskesmas untuk upaya kesehatan masyarakat. Namun, pencairan BOK kerap terlambat. Saat dana itu turun, kadang dipakai untuk kegiatan kuratif atau menutup pos anggaran lain yang kurang.
Otonomi daerah
Otonomi daerah yang sejatinya ingin mendekatkan dan memudahkan layanan masyarakat kadang membuat penerapan program kesehatan tersendat. ”Belum semua daerah mengalokasikan 10 persen anggaran bagi kesehatan,” kata Ridwan.
Meski demikian, sejumlah daerah mulai menaruh perhatian serius pada layanan kesehatan dasar. Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, misalnya, akan memperkuat layanan dengan menambah sarana deteksi dini penyakit seperti jantung dan kanker untuk menapis penyakit katastropik atau berbiaya tinggi.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febria Rachmanita mengatakan, untuk mengantisipasi lonjakan pasien di puskesmas, pihaknya memperkuat sumber daya manusia dan sarana kesehatan. Tahun ini, dari anggaran kesehatan Rp 9,1 triliun, sebesar 10,46 persennya untuk memperkuat pelayanan kesehatan.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tahun ini mengalokasikan anggaran kesehatan Rp 384 miliar atau 12,14 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2018 sebesar Rp 3,16 triliun. Jumlah itu naik dibandingkan tahun 2017 yang sebesar Rp 300 miliar dari total APBD Rp 2,9 triliun. Dengan demikian, puskesmas diharapkan tak hanya menjadi balai pengobatan, tetapi juga pusat penyuluhan kesehatan.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan, tahun 2018 Kemenkes tetap akan fokus pada penguatan kesehatan primer. Untuk itu, beberapa program penempatan tenaga kesehatan ke puskesmas akan terus ditingkatkan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan Saraswati memaparkan, kekurangan tenaga kesehatan di puskesmas dipenuhi lewat program Nusantara Sehat (NS) berbasis tim dan individu di puskesmas. Ada 2.486 orang NS berbasis tim ditugaskan di 439 puskesmas di 269 kabupaten atau kota. Itu belum termasuk 1.663 NS individu yang ditempatkan di 612 puskesmas di 370 kabupaten atau kota. Sementara penguatan sarana diberikan melalui dana alokasi khusus (DAK) nonfisik.
Untuk memberikan layanan kesehatan dasar bermutu di daerah perbatasan, 124 puskesmas di daerah perbatasan dibangun dan diperkuat. Penguatan dilakukan dengan membenahi bangunan puskesmas serta melengkapi sumber daya manusia dan sarana prasarananya.