Ketua MK Arief Hidayat Langgar Kode Etik
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Etik Mahkamah Konstitusi menyatakan, Ketua MK Arief Hidayat terbukti melanggar kode etik ringan karena telah bertemu dengan pimpinan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, membahas pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi, tanpa ada undangan resmi. Karena itu, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi teguran lisan kepada Arief.
Sanksi etik kepada Arief ini merupakan kedua kalinya dijatuhkan kepada Arief. Pada 2016, ia juga pernah diberi teguran lisan oleh Dewan Etik MK lantaran memberikan surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Widyo Pramono terkait dengan seorang jaksa muda, Zainur Rochman, dari Trenggalek, Jawa Timur.
Ketua Dewan Etik MK Achmad Roestandi, Selasa (16/1) di Jakarta, mengatakan, penjatuhan sanksi ringan berupa teguran lisan kepada Arief ini dilakukan setelah melalui berbagai rapat dan pemeriksaan terhadap pihak pelapor ataupun hakim terlapor (Arief).
Penjatuhan sanksi ringan berupa teguran lisan kepada Arief ini dilakukan setelah melalui berbagai rapat dan pemeriksaan terhadap pihak pelapor ataupun hakim terlapor (Arief).
Laporan dugaan pelanggaran etik ini dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi, 6 Desember 2017, setelah beredarnya pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi di media massa yang menyebutkan Arief melakukan lobi-lobi politik untuk memuluskan dirinya kembali sebagai hakim konstitusi.
Arief juga disebut mengeluarkan pernyataan yang mempertentangkan antara dirinya dan Hakim Konstitusi Saldi Isra, bilamana dirinya tidak terpilih kembali sebagai hakim konstitusi.
”Di dalam pembahasan, kami memang tidak satu suara bulat atau sepenuhnya sepakat mengenai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Namun, kami akhirnya memutuskan yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran etik ringan karena bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR tanpa undangan resmi, atau hanya melalui telepon. Dalam prosesnya mungkin ada ewuh pakewuh, tetapi kami menyingkirkan hal itu, dan berani menjatuhkan sanksi teguran lisan kepada Ketua MK,” kata Roestandi.
Arief melakukan lobi-lobi politik untuk memuluskan dirinya kembali sebagai hakim konstitusi.
Menurut Roestandi, sebagai Ketua MK, Arief seharusnya belajar dari kesalahan terdahulu. Sanksi teguran lisan bagi seorang Ketua MK bukanlah hal biasa. Jika pelanggaran itu dilakukan oleh hakim anggota biasa, mungkin bisa dinilai sebagai pelanggaran ringan. Namun, sebagai Ketua MK seharsunya Arief bisa memberikan teladan atau contoh bagi anggota yang lain. Terlebih lagi, Arief pernah dijatuhi sanksi serupa sebelumnya.
”Saya sendiri secara pribadi menilai ini adalah pelanggaran berat karena dia sudah dua kali ini melakukan pelanggaran. Akan tetapi, karena ini bukan putusan saya sendiri, melainkan hasil pertimbangan semua anggota Dewan Etik, kami sepakat menjatuhi sanksi teguran lisan karena telah melanggar etik ringan,” katanya.
Saya sendiri secara pribadi menilai ini adalah pelanggaran berat karena dia sudah dua kali ini melakukan pelanggaran. Akan tetapi, karena ini bukan putusan saya sendiri, melainkan hasil pertimbangan semua anggota Dewan Etik, kami sepakat menjatuhi sanksi teguran lisan karena telah melanggar etik ringan.
Anggota Dewan Etik MK, Salahuddin Wahid, mengatakan, selain memeriksa pihak pelapor dan terlapor, pihaknya juga mengundang tujuh anggota DPR untuk memberikan keterangan. Tujuh orang itu ialah Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo; lima Wakil Ketua Komisi III DPR, yakni Arsul Sani, Desmond J Mahesa, Trimedya Panjaitan, Benny K Harman, dan Mulfachri Harahap; serta seorang anggota Komisi III DPR, Hasrul Azwar Harahap.
Dari tujuh anggota DPR yang diundang memberikan keterangan, hanya tiga yang hadir, yakni Arsul Sani, Desmond J Mahesa, dan Trimedya Panjaitan. Adapun Bambang Soesatyo, Benny K Harman, Mulfachri, dan Hasrul Harahap tidak memenuhi panggilan Dewan Etik.
”Dari keterangan tiga anggota DPR yang hadir itu, kami menerima informasi yang berbeda mengenai ada tidaknya lobi-lobi politik yang dilakukan Arief. Desmond mengatakan betul ada lobi-lobi politik itu. Namun, dua orang lainnya, yakni Trimedya dan Arsul, membantah hal itu,” kata Salahuddin yang juga tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Untuk memperjelas duduk perkara dugaan lobi politik dan transaksi perkara yang dilakukan Arief, Dewan Etik kemudian memanggil empat anggota DPR lainnya, termasuk Ketua Komisi III DPR saat itu, Bambang Soesatyo. Namun, keempatnya tidak hadir. Bambang Soesatyo mengirimkan surat kepada Dewan Etik MK menyatakan dirinya memiliki hak imunitas selaku anggota DPR sehingga tidak hadir memberikan keterangan. Adapun tiga anggota DPR lainnya tidak hadir tanpa keterangan jelas.
Salahuddin mengatakan, setelah mempertimbangkan semua keterangan, Dewan Etik menilai dugaan lobi-lobi politik dan transaksi perkara itu tidak terbukti.
Undangan melalui telepon
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, dari pemeriksaan Dewan Etik MK terungkap, ada dua kali pertemuan Arief dan pimpinan Komisi III DPR. Pertemuan pertama ialah saat Arief diundang dalam rapat Komisi III DPR, November 2017. Selanjutnya, Arief juga kembali bertemu dengan pimpinan Komisi III di sela-sela rapat kerja Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, di bulan yang sama.
Fajar tidak bisa menyampaikan secara rinci kapan tepatnya kedua pertemuan itu berlangsung. Hanya saja, MK memang pernah menerima surat dari Komisi III DPR menyangkut pencalonan hakim konstitusi yang baru, karena Arief akan habis masa jabatan pada April 2018.
”Ada surat undangan kepada institusi (MK) memang, tetapi bukan ditujukan secara langsung kepada pribadi Pak Arief. Sebab, sebelumnya MK mengirimkan surat kepada DPR yang intinya memberitahukan masa jabatan Pak Arief sebagai hakim konstitusi akan berakhir April 2018. Konsekuensinya ialah DPR harus memilih pengganti Pak Arief. Surat yang kami terima dari Komisi III DPR itu sebenarnya merupakan balasan atas surat pemberitahuan yang kami kirim sebelumnya kepada DPR,” kata Fajar.
Atas undangan Komisi III DPR itu, Arief datang menghadiri rapat Komisi III DPR. Rapat itu membahas pencalonan dirinya kembali sebagai hakim konstitusi yang dipilih oleh DPR. Di dalam rapat itu, Arief menyatakan kesediaannya untuk diperpanjang atau dipilih kembali sebagai hakim konstitusi periode 2018-2023.
Fajar mengatakan, setelah rapat di Komisi III DPR itu, Arief kembali bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, tetapi tidak ada undangan yang diterima secara resmi oleh MK. Pertemuan itu dilakukan setelah ada komunikasi pribadi melalui telepon antara pihak Komisi III DPR dan Arief.
”Terkait pertemuan di Hotel Midplaza itu, MK tidak menerima undangan. Hanya telepon dengan Pak Arief. Hal inilah yang dipandang sebagai pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Sebab, hakim konstitusi hadir dalam suatu acara tanpa disertai undangan resmi dan bertemu dengan pimpinan Komisi III,” katanya.
Salahuddin mengatakan, undangan yang diterima MK dari Komisi III DPR terkait dengan pencalonan hakim konstitusi itu tidak menyebut secara spesifik nama Arief Hidayat selaku Ketua MK. Oleh karena itu, sebaiknya undangan untuk hadir di dalam rapat Komisi III DPR itu tidak dipenuhi oleh Ketua MK Arief Hidayat, tetapi cukup oleh Wakil Ketua MK.
”Sebaiknya ketika itu Arief tidak menghadiri pertemuan dengan Komisi III DPR, cukup wakil ketua saja. Sebab apabila dia hadir, akan terjadi konflik kepentingan. Seandainya dia tidak hadir, tentu hal semacam ini tidak terjadi,” katanya.