Puskesmas, unit pelaksana pembangunan kesehatan di tingkat kecamatan, diandalkan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat. Data terbaru berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2016 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada tahun 2017, ada 6.356 puskesmas non rawat inap dan 3.411 puskesmas rawat inap di seluruh Indonesia. Tak kurang dari 16.527 dokter, 6.618 dokter gigi, 120.081 bidan, dan 98.864 perawat beserta tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan dan lainnya ditempatkan di puskesmas-puskesmas itu.
Namun, sejumlah kejadian luar biasa penyakit masih sering terjadi. Tak hanya di daerah terpencil, KLB juga terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) yang dekat pusat pemerintahan. Angka kesakitan dan pasien yang berobat baik ke puskesmas dan rumah sakit makin bertambah dari tahun ke tahun.
Apa sebenarnya masalahnya?
Cikal bakal puskesmas sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda di abad ke-16, demikian situs factsanddetails.com. Tujuannya, terutama untuk menjaga kesehatan para buruh perkebunan. Dalam perkembangannya, upaya kesehatan masyarakat dimulai dengan pemberian vaksinasi cacar dan pemberantasan kolera yang ditakuti masyarakat pada waktu itu. Infrastruktur kesehatan masyarakat yang lebih lengkap dikembangkan tahun 1939, namun sistem itu ambruk saat invasi Jepang tahun 1942.
Konsep puskesmas dilahirkan tahun 1968, pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional I di Jakarta. Waktu itu dibicarakan upaya mengorganisasi sistem pelayanan kesehatan di tanah air, karena pelayanan kesehatan tingkat pertama pada waktu itu dirasakan kurang menguntungkan. Kegiatan seperti balai kesehatan ibu dan anak, balai pengobatan, program pencegahan, pemberantasan, pembasmian, penyakit menular dan sebagainya berjalan sendiri-sendiri. Karena itu, timbul gagasan untuk menyatukan semua pelayanan tingkat pertama ke dalam suatu organisasi dan diberi nama Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas).
Puskesmas pertama dibuka tahun 1969, saat Pelita I dimulai. Tantangannya, menyelesaikan berbagai masalah kesehatan yang ada. Antara lain, tingginya kasus penyakit menular, seperti cacar, malaria dan tuberkulosis, rendahnya status gizi anak balita dan ibu hamil yang mengakibatkan tingginya angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI). Tercatat 125 sampai 150 dari setiap 1.000 bayi yang lahir hidup, meninggal sebelum berusia 1 tahun. Tahun 1974, demikian menurut buku Mencatat Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Era 1973-2009, di masa kepemimpinan Menteri Kesehatan Prof dr GA Siwabessy, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Indonesia bebas cacar.
Puskesmas mendapat gaungnya tahun 1978, saat Deklarasi Alma Ata dicanangkan. Isi pokok deklarasi ini adalah pelayanan kesehatan dasar merupakan strategi utama untuk pencapaian kesehatan untuk semua (Health for all), sebagai bentuk perwujudan hak asasi manusia. Kesehatan dipahami sesuai definisi WHO, yaitu keadaan sehat fisik, mental, dan sosial.
Untuk mencapai Health for All, pemerintah membangun puskesmas di seluruh pelosok Indonesia. Tugasnya memberi pelayanan kesehatan dasar, yaitu pelayanan tingkat pertama yang komprehensif, terutama bagi penduduk pedesaan serta penduduk miskin untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan yang ada. Selain memberi pelayanan kesehatan tingkat pertama, puskesmas juga berfungsi menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan serta mendorong pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. Di akhir Pelita II, tahun 1979, tercatat ada 3.400 Puskesmas di Indonesia.
Pada tahun 1983, dikukuhkan Pos Pelayanan Terpadu (posyandu) yang menyatukan pos KB dan pos kesehatan yang ada. Pos KB dan pos kesehatan diawaki oleh para sukarelawan yang terdiri dari ibu-ibu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta warga masyarakat dengan bimbingan staf puskesmas. Di posyandu diberikan layanan KB bagi para ibu dan imunisasi bagi anak-anak serta berbagai penyuluhan kesehatan. Hal itu merupakan wujud upaya melibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Tahun 1988, Posyandu ada 200.000 buah di 52.000 desa. Tahun itu AKB 58 per 1.000 KH, sedangkan AKI tahun 1986 tercatat 450 per 100.000 KH. Tahun 1999, dimulainya era reformasi, tercatat AKB 46 per 1.000 KH dan AKI 373 per 100.000 KH.
Saat itu, posyandu mulai berguguran. Sejak masa reformasi, mitra kerja puskesmas, yaitu organisasi Penggerak PKK, mendapat banyak hujatan. Padahal, organisasi perempuan yang dimobilisasi negara itulah yang selama ini menjadi tulang punggung pengelolaan posyandu. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di saat yang sama menurunkan sikap volunterisme sehingga peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan makin surut.
Era otonomi daerah makin menyurutkan kinerja puskesmas di beberapa wilayah. Di banyak daerah, puskesmas belum mendapat perhatian, baik dari segi pendanaan maupun penyediaan tenaga. Dengan alasan kekurangan dana, banyak pemda tidak menganggarkan biaya operasional bagi puskesmas. Bahkan, menjadikan puskesmas sebagai sumber pendapatan asli daerah. Akibatnya, puskesmas hanya menjadi poliklinik saja, sedang program kesehatan masyarakat tidak jalan. Tidak heran di pelbagai daerah terjadi KLB penyakit menular.
Hal ini disoroti dalam Laporan Kesehatan Dunia 2000 dari WHO. Penyebab kegagalan pelayanan kesehatan dasar adalah kurangnya dana, peralatan, dan pelatihan tenaga kesehatan di semua tingkat. Akibatnya, pelayanan kesehatan masyarakat tidak memadai dan mutu pelayanan pengobatan rendah. Status kesehatan masyarakat tidak meningkat secara nyata dan mereka cenderung berobat langsung ke rumah sakit sehingga biaya kesehatan tidak efisien.
Hal ini berlanjut di era Jaminan Kesehatan Sosial Masyarakat. Dengan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), pelayanan kesehatan bisa diakses hampir seluruh penduduk, warga miskin mendapat subsidi dari pemerintah. Saat itulah tampak tingginya kasus berbagai penyakit dari penyakit menular sampai penyakit tak menular seperti diabetes, gangguan jantung dan kanker. Di daerah terpencil, penyakit menular masih merajalela, demikian juga kasus gizi buruk.
Karena kondisi geografi, di Papua, Maluku, atau di pedalaman Kalimantan, warga sulit mengakses pelayanan kesehatan karena mahalnya ongkos transpor. Sebaliknya, penjangkauan tenaga kesehatan ke warga di wilayah terpencil terhambat karena kekurangan anggaran. Banyak Puskesmas di pedalaman tidak diperkuat oleh dokter karena kurangnya minat.
Karena itu, komitmen pemerintah, terutama pemerintah daerah di era otonomi daerah, dinantikan. Tak hanya pelayanan di rumah sakit, tetapi juga di tingkat dasar. Penduduk miskin tak perlu sakit terlebih dulu untuk mendapat perhatian pemerintah.