Pembaruan Peradilan Belum Dilakukan di Sektor Strategis
JAKARTA, KOMPAS – Pembaruan peradilan di Tanah Air belum dilakukan di sektor-sektor strategis yang memberikan dampak signifikan pada perbaikan manajemen perkara maupun administrasi peradilan.
Sejumlah persoalan yang membelit peradilan, misalnya dengan masih banyaknya keluhan pungutan liar, dan korupsi yang dilakukan oleh aparat peradilan, menandai masih adanya persoalan besar yang harus diatasi oleh badan peradilan.
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Tanah Air telah memulai pembaruan itu melalui penyusunan cetak biru atau blue print tahun 2010-2035, yang antara lain diturunkan melalui berbagai upaya transparansi penanganan perkara, hingga penyederhanaan penanganan perkara, dan pembuatan putusan yang lebih sederhana.
Namun, upaya-upaya itu belum sepenuhnya mengatasi lubang besar di dalam tubuh peradilan, yang antara lain diakibatkan oleh kualitas hakim yang buruk, mental korup pegawai peradilan, serta tata laksana administrasi peradilan yang diwarnai oleh praktik suap dan korupsi.
MA sebagai penjaga keselarasan hukum pun kerap tidak mampu menggunakan yurisprudensi atau putusan hakim terdahulu untuk menjaga konsistensi putusan.
Inkonsistensi putusan MA, misalnya dalam perkara korupsi, kerap menimbulkan ketidakadilan di benak publik.
Di dalam diskusi pleno yang digelar MA bekerja sama dengan sejumlah lembaga donor FH UI, Senin (15/1) di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, upaya pembaruan peradilan itu dikaji dan dievaluasi.
Seolah-olah segala upaya telah dilakukan oleh MA dalam melakukan pembaruan peradilan, tetapi ternyata belum semuanya dilakukan karena pembaruan peradilan belum menyentuh level-level strategis di tubuh lembaga peradilan.
Kersama dilakukan dengan USAID (Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika), UNDP (Badan Program Pembangunan PBB), The Asia Foundation, dan didukung elemen masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Kajian dan Advokai untuk Independensi Peradilan (LeIP), Institute Criminal Justice Reform (ICJR), dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI)
Diskusi pleno itu merupakan rangkaian acara Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) yang berlangsung selama dua hari, Senin hingga Selasa besok.
Direktur Eksekutif LeIP Astriyani dalam diskusi pleno itu mengatakan, reformasi di tubuh peradilan seolah-olah telah diupayakan maksimal oleh MA. Namun, perubahan itu belum dirasakan secara siginifikan.
“Seolah-olah segala upaya telah dilakukan oleh MA dalam melakukan pembaruan peradilan, mulai dari keterbukaan informasi dalam publikasi putusan, dan pelibatan masyarakat sipil dalam pembaruan peradilan. Akan tetapi, ternyata belum semuanya telah dilakukan oleh MA, karena pembaruan peradilan belum menyentuh level-level strategis di tubuh lembaga peradilan,” katanya.
Ia mencontohkan masih terjadinya praktik peradilan tidak fair atau unfair trial yang menimpa para pencari keadilan.
Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan banyak organisasi bantuan hukum sejenis di berbagai daerah tentang masih adanya praktik-praktik peradilan yang tidak jujur dan adil (unfair trial).
Sebagai contoh, kata Astriyani, tahun lalu ada kasus Yusman, terdakwa di bawah umur yang akhirnya divonis hukuman mati.
Pertanyaannya, kenapa hal-hal semacam itu masih terjadi. Mengapa hakim tidak melihat fenomena itu, dan tetap menjatuhkan vonis mati kepada Yusman.
Suatu tim penegak hukum di Jakarta Barat pernah diminta oleh hakim menyelesaikan pleidoi atau pembelaan dalam waktu hanya 30 menit di hari persidangan yang sama dengan tuntutan.
"Barulah ketika perkara itu dibawa ke tingkat peninjauan kembali (PK), Yusman diketahui masih di bawah umur ketika penuntutan dilakukan. Bukti mengenai hal itu didapatkan melalui pemeriksaan forensik pada gigi,” ujar Astriyani.
Laporan lain menyebutkan, suatu tim penegak hukum di Jakarta Barat pernah diminta oleh hakim menyelesaikan pleidoi atau pembelaan dalam waktu hanya 30 menit di hari persidangan yang sama dengan tuntutan.
Melihat fenomena itu, Astriyani menilai ada mata rantai yang putus dalam upaya perbaikan peradilan. MA didesak untuk memahami kembali mandatnya dalam menjalankan proses penegakan hukum dengan mengutamakan peradilan yang jujur dan adil.
“Ada pula hakim yang akhirnya memutus seseorang dengan vonis penjara yang lamanya sama dengan masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa. Dengan putusan itu terlihat bahwa hakim sebenarnya ragu-ragu bahwa terdakwa itu bersalah, sehingga masa hukuman penjaranya disamakan dengan masa tahanan yang telah dijalani. Terdakwa itu pun bebas lantaran masa hukumannya dikurangi dengan masa tahanan yang lamanya sama,” kata Astriyani.
Keraguan hakim dalam membuat putusan itu di antaranya menandai krisis besar dalam mekanisme pencarian keadilan di Tanah Air.
Intervensi dan pengaruh eksternal pada diri hakim yang kemudian ditambah dengan mental koruptif akhirnya memperburuk kualitas pertimbangan dan putusan hakim.
Inkonsistensi putusan menjadi penyakit akut yang kerap menimbulkan perasaan tidak adil.
Sektor strategis yang mestinya menjadi perhatian MA ialah penguatan pengawasan internal, sistem promosi dan mutasi yang jelas, mekanisme rekrutmen yang terbuka, hingga penilaian berkala terhadap hakim, dan pemanfaatan yurisprudensi sebagai mekanisme menjaga keselarasan hukum dan konsistensi putusan.
Banyak berubah
Chandra M Hamzah, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kini berpraktik sebagai advokat, menilai MA sudah banyak berubah dari Orde Baru hingga saat ini.
“Dulu, ketika kami sedang menangani suatu perkara, sudah ada pegawai MA yang menelepon mengabari tahapannya sudah sampai sini, yang bisa diartikan mereka meminta sesuatu. Tetapi kini hal-hal semacam itu sudah tidak ada lagi,” katanya.
Penerbitan putusan MA di dalam website MA juga merupakan bentuk transparansi peradilan.
Di sisi lain juga ada upaya membatasi akses pertemuan antara pegawai peradilan dengan pencari keadilan.
Pengadilan-pengadilan cenderung steril, sehingga tidak mudah bertemu dengan hakim dan pegawai peradilan tanpa alasan yang jelas.
“Namun bukan berarti tidak ada masalah. Contohnya untuk panggilan sidang, semuanya dipanggil pada pukul 10.00. Padahal, kenyataannya sidang baru dimulai pukul 14.00. Saksi dan pihak yang berperkara harus menunggu lama,” kata Chandra.
MA juga dinilai lemah dalam menggunakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang mendukung satu kesatuan hukum.
MA juga dinilai lemah dalam menggunakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang mendukung satu kesatuan hukum.
Profesor Ilmu Hukum dari Universitas Leiden, Adriaan Bedner, mengatakan, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang juga diakui oleh negara-negara penganut sistem hukum civil law, seperti Indonesia, dan negara Eropa Kontinental, semacam Belanda yang menjadi rujukan hukum Indonesia.
Kendati yurisprudensi bukan menjadi satu-satunya rujukan. Akan tetapi, sejak lama terjadi penyimpangan pemahaman terhadap yurisprudensi atau putusan hakim ini di sistem hukum Indonesia.
Hakim di Tanah Air cenderung malas membuka yurisprudensi dan menghilangkan peranan penting rujukan putusan itu sebagai salah satu sumber hukum.
“Hakim seharusnya tidak hanya melihat undang-undang (UU) dan bekerja berdasarkan UU itu dalam memutuskan suatu perkara. Hakim juga mestinya melihat yurisprudensi sebagai salah satu rujukan yang bisa membantunya dalam memutus suatu perkara. Putusan hakim adalah juga hukum,” kata Adriaan.
Pola pikir yang memercayai hakim sebagai pencipta hukum itu terpatri di benak-benak para pakar hukum Indonesia di masa-masa awal republik ini berdiri, seperti Djokosoetono dan Soepomo.
Namun, perlahan-lahan konsep hakim yang berwibawa dan menciptakan hukum itu luntur seiring dengan berkurangnya rujukan kepada yurisprudensi.
Chandra antara lain mencontohkan kesulitannya mencari suatu putusan di tahun 1975 yang dikeluarkan oleh MA untuk keperluan pembelaan terhadap kliennya. Setelah ditelusuri, putusan itu ditemukan di suatu gudang di Pulomas, Jakarta.
“Saya kira perlu juga dipikirkan oleh MA untuk mengunggah putusan-putusan hakim terdahulu atau yurisprudensi di website MA. Digitalisasi putusan-putusan itu penting sebagai salah satu bahan rujukan yang bisa digunakan pencari keadilan untuk menguatkan argumentasinya,” kata Chandra.
Adrian mengatakan, untuk benar-benar mereformasi diri, peradilan di Indonesia memerlukan upaya keras.
“Banyak sekali yang harus dihadapi peradilan di Indonesia, karena titik mulainya perbaikan itu dilakukan sangat tertinggal di belakang. Masih harus jauh naik ke atas lagi untuk mewujudkan perbaikan peradilan. Mesti disadari juga bahwa rasa keadilan bsia berbeda-beda di tengah kondisi Indonesia yang sangat beragam ini. Rasa keadilan di masyarakat Gayo (Aceh) bisa sangat berbeda dengan rasa keadilan yang dirasakan oleh masyarakat Flores,” katanya.
Wakil Ketua MA Syarifuddin mengatakan, pembaruan peradilan di MA terus dilakukan kendati masih banyak persoalan yang menghadang di depan.
Penangkapan sejumlah hakim dan aparat peradilan dalam kasus korupsi, misalnya, juga berkat tekad MA yang bekerja sama dengan KPK dalam pertukaran informasi.