Mengejar Latar ke Luar Negeri
Film nasional dengan latar lokasi luar negeri semakin marak. Ada saja dalam setahun film-film demikian yang muncul. Dari Praha hingga Selandia Baru atau dari India hingga Korea, kisah-kisah manusia Indonesia pun terentang. Mulai dari cerita cinta anak muda hingga eksil yang terbuang.
Rini mengunyah berondong jagung sambil menanti film diputar di bioskop di kawasan Tangerang Selatan. Ia telah menonton Ayat-ayat Cinta hingga kemudian penasaran menonton sekuelnya, Ayat-ayat Cinta 2, yang hampir sebulan ini diputar di bioskop. Rini tidak terlalu peduli terhadap Fahri, tokoh dalam film, yang kini tinggal di Edinburgh, Skotlandia, setelah dalam film sebelumnya tinggal di Mesir.
Bagi Rini, ceritalah yang membuatnya tergerak datang ke bioskop. Ia tidak terlalu memedulikan lokasi latar belakang film yang berlangsung. Demikian pula dengan Widya, penonton lainnya, yang lebih mementingkan cerita. ”Kalau kira-kira (filmnya) menarik, baru saya tonton,” kata Widya.
Lain lagi dengan Tacia Jasmine (39), warga Kalibata, Jakarta Selatan. Dengan kesukaannya traveling, latar(setting) lokasi film cukup memengaruhinya untuk memilih film yang akan ditonton. ”Sebenarnya saya lebih tertarik dengan film yang berdasarkan kisah nyata, seperti Habibie & Ainun. Kebetulan setting-nya di Jerman. Namun, pada akhirnya film ber-setting luar negeri memang lebih menarik untuk saya. Gambarnya romantis,” kata Tacia yang mengaku senang menonton film yang menampilkan panorama bersalju.
Gara-gara film juga, ia jadi tertarik mengunjungi suatu negara, seperti Jerman, setelah menonton Habibie & Ainun atau Singapura setelah menyaksikan film Merry Riana. Alam, bahasa, dan budaya yang berbeda membuatnya penasaran untuk menonton. Bukan berarti ia tidak suka film dengan latar alam Indonesia. Laskar Pelangi, Pasir Berbisik,dan Ada Apa dengan Cinta? 2 sukses mengompori dirinya untuk pergi ke Belitung, Bromo, dan Yogyakarta.
Barangkali cukup banyak yang seperti Tacia sehingga semakin marak bermunculan film-film dengan latar luar negeri. Tengok saja film London Love Story (LLS) produksi Screenplay yang berhasil menangguk 1,1 juta penonton, lalu dibuatkan sekuelnya London Love Story 2. Meski ”hanya” ditonton 800.000 orang, hal itu masih dirasa tinggi, sehingga tidak heran pada awal Februari nanti akan tayang London Love Story 3.
”Setahu saya, waktu itu dimulai dari pemilihan setting dulu di London, baru disusun ceritanya oleh tim,” ungkap Asep Kusdinar, sutradara LLS 1-3.
Kalau begini, mirip dengan slogan iklan produk minuman. Apa pun ceritanya, lokasinya di luar negeri saja. ”Setting luar negeri bonus saja dari kami. Tetap saja kebanyakan orang menonton, lihat dulu siapa artisnya, cerita, dan isunya,” kata Asep.
Ia juga menyutradarai One Fine Day dan Promise yang masing-masing shooting di Barcelona, Spanyol, dan Milan, Italia. Dari lima film tersebut, One Fine Day meraih penonton terkecil, yakni 570.000 orang. Itu sebuah angka yang sebenarnya masih tergolong besar.
Sementara dari sekian film Max Pictures yang berlatar luar negeri, film Wa’alaikumussalam Paris yang shooting di Bordeaux, Perancis, hanya menarik tidak sampai 300.000 penonton. Produser Ody Mulya Hidayat dari Max Pictures mengaku, promosi mereka saat itu lemah. Mereka hanya punya waktu seminggu sebelum film ditayangkan karena mengejar slot kosong bioskop.
”Wa’alaikumussalamParis akhirnya kami jual di televisi nasional dan televisi berbayar. Itu membuat kami terhindar dari merugi,” kata Ody.
Film-film lain yang berlatar luar negeri dibuat karena tuntutan cerita, diungkapkan produser dan pemilik MD Pictures, Manoj Punjabi. ”Film-film kami banyak diangkat dari buku. Cerita dalam bukunya sudah ber-setting luar negeri. Akan tetapi, enggak semua film bisa dibuat di luar negeri juga. Nanti jadi monoton,” kata Manoj.
Tren film berlatar luar negeri boleh dibilang dimulai sejak kemunculan film Eiffel I’m in Love (2003) kemudian disusul Ayat-ayat Cinta (2008) dengan latar di Mesir, tetapi sesungguhnya shooting di India. Setelah itu muncul Ketika Cinta Bertasbih (2009) yang shooting di Mesir dan Habibie & Ainun (2013) yang shooting di Jerman. Setelah itu, setiap tahun selalu muncul film yang mengambil latar di luar negeri. Tidak banyak, tetapi cukup mewarnai. Hal serupa sebenarnya juga dikerjakan Hollywood dan Bollywood.
Sejak 2013, sebanyak tiga hingga lima film berlatar luar negeri berhasil masuk daftar 15 film terlaris nasional setiap tahun. Tema film bisa bermacam-macam, dari drama percintaan remaja, religi, hingga komedi. Latar luar negeri kota-kota di Eropa dan Amerika, khususnya New York, paling laris digarap, menyusul kota-kota di Asia dan Australia.
Lebih murah
Di luar dugaan, baik Ody maupun Manoj mengaku, shooting di luar negeri cenderung lebih mudah dan murah ongkos produksinya. Hal serupa diungkapkan Chand Parwez, pemilik rumah produksi Starvision Plus.
”Di New York, kami hanya membayar 750 dollar AS sudah bisa shooting di mana pun asalkan enggak nutup jalan. Di Jakarta, mau shooting di Thamrin saja sudah enggak bisa. Mau capture Jakarta dengan benar enggak bisa. Urus izin susah, belum lagi ada preman datang minta jatah,” kata Chand menceritakan pengalamannya shooting film Critical Eleven.
Saat shootingSusah Sinyal, Chand merasa lebih susah. Kru sebanyak 125 orang, peralatan banyak, dan tidak ada fasilitas memadai di tempat tujuan, serta harus membangun resor untuk lokasi shooting. Jika dihitung, itu lebih mahal dibandingkan dengan shooting di New York.
Selain itu, di beberapa negara, berdasarkan pengalaman Chand, ada pengembalian biaya produksi untuk film yang mempromosikan daerah wisata setempat. Dia menyebut Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, di antaranya. Jadi, dihitung-hitung, shooting di luar negeri bisa lebih murah daripada di beberapa tempat di dalam negeri. Kadang bisa dapat sponsor pula. ”Taruhlah biaya kami Rp 1 miliar atau Rp 2 miliar, bisa 30 persen dikembalikan. Ini jadi semacam insentif,” ujarnya.
Hal serupa dikisahkan Manoj. ”Saya pernah ditawari shooting di Korea. Biaya lokasi mereka kasih 60-70 persen. Hotel dan makan gratis. Ya, tetap kami harus keluar uang juga karena harus bayar kru. Namun, ibaratnya, saya keluar Rp 5 miliar, tetapi dapat value Rp 15 miliar. Waktu di Yogyakarta, saya dapat apa? Hanya penonton yang dukung. Kalau begitu, mending shooting di luar, dapat warna baru,” kata Manoj.
Ody mengatakan, berdasarkan pengalamannya, shooting di Beijing justru bisa hemat biaya 60-70 persen daripada di dalam negeri. Sementara shooting di Eropa bisa hemat 25-30 persen dengan bonus lanskap yang menjual. Shooting di luar negeri biasanya hanya membawa kru inti 10-20 orang. Shooting paling lama hanya 2-3 minggu.
”Saat kami shooting film Tampan Tailor tahun 2014, biaya shooting di Stasiun Kota sudah Rp 80 juta. Itu baru di satu titik. Belum kalau pakai beberapa titik. Waktu shooting di Stasiun Ambarawa juga begitu, di Borobudur juga mahal. Kami enggak mau gratis juga, tetapi jangan segitunyalah,” kata Ody.
Dengan kondisi ini, tidak mengherankan jika film-film dengan latar luar negeri masih akan bermunculan. Di sisi lain, potensi daerah-daerah Indonesia terpromosikan lewat film berkurang kesempatannya. Meskipun bukan jaminan film laris, jurus latar luar negeri ini tampaknya masih cukup ampuh diterapkan.
Dari sembilan film Max Pictures, tiga di antaranya berlatar luar negeri. Salah satu yang akan digarap, menurut Ody, remake film Arini Masih Ada Kereta yang Akan Lewat dengan latar di Jerman.
MD Pictures juga akan segera shooting film Faith and The City di New York. ”Kami masih tetap ingin eksplorasi daerah-daerah di Indonesia, tetapi kami butuh dukungan lebih,” kata Manoj.
Pengamat film dari Universitas Indonesia, Krisnadi Yuliawan, mengatakan, munculnya film- film berlatar luar negeri kemungkinan berangkat dari asumsi rumah produksi bahwa film-film demikian akan mampu mengangkat jumlah penonton.
”Understandable. Namun, perlu dicermati, apakah karakter di dalam film benar-benar berinteraksi dengan lokasinya atau lokasi sekadar dipakai untuk menumpang lewat. Sesuatu yang asing itu diperlakukan sebagai apa di film kita. Ada riset menarik, kalau dulu Eropa muncul sebagai ide kemajuan di film-film kita, sekarang sekadar brand,” kata Krisnadi.
Menurut Krisnadi, dari sisi film, diharapkan film dapat tumbuh, selain sebagai ruang hiburan, juga sebagai ruang diskusi sehingga tidak sekadar memuaskan mata belaka.
”Tidak salah juga kalau tujuannya hanya kesenangan permukaan. Akan tetapi, harapannya film juga mampu memberi insight lebih kepada penonton,” ujar Krisnadi.
(FRANSISCA ROMANA NINIK/SRI REJEKI)