Lahirkan Kepala Daerah Koruptif, Praktik Mahar Politik Harus Diberantas
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dugaan praktik politik uang dalam bentuk pemberian mahar politik dari pihak yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah kepada partai politik harus diusut tuntas. Praktik tersebut dinilai akan memengaruhi kualitas demokrasi karena akan melahirkan para kepala daerah yang koruptif.
Publik baru-baru ini menyoroti adanya dugaan praktik politik uang, yaitu permintaan mahar politik berupa uang oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto kepada La Nyalla Mattalitti terkait penjaringan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang diusung Partai Gerindra dalam Pilkada Jawa Timur mendatang.
Partai Gerindra sempat mempertimbangkan nama La Nyalla untuk maju di Pilgub Jawa Timur. Namun, pada hari terakhir pendaftaran peserta pilkada pada 10 Januari 2018, Partai Gerindra menyatakan dukungannya kepada pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang juga didukung PKB, PDI-P, dan PKS.
”Saat ini Polri telah membentuk Satgas Antipolitik Uang. Saya kira momentum pengakuan La Nyalla ini harus dimanfaatkan untuk membongkar praktik mahar politik dalam pencalonan pilkada,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat acara diskusi ”Wajah Politik Pilkada 2018” yang diselenggarakan MNC Trijaya FM di Jakarta, Sabtu (13/1).
Menurut Titi, permintaan sejumlah uang, termasuk untuk pembiayaan saksi, tidak bisa dianggap hal biasa. Hal itu dinilainya akan bermuara pada korupsi politik. Oleh karena itu, Titi mengusulkan adanya pembatasan penggunaan biaya politik saat pilkada. Selain itu, pemanfaatan lembaga resmi yang sudah ada untuk mengawasi pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu, bisa dimanfaatkan untuk menekan biaya politik yang ada.
Permintaan sejumlah uang, termasuk untuk pembiayaan saksi, tidak bisa dianggap hal biasa. Hal itu bisa akan bermuara kepada korupsi politik. Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan penggunaan biaya politik saat pilkada.
”Kalau dari hulu ke hilir si calon yang menanggung semua biayanya, rasional ketika mereka menjabat mengejar impas. Berapa sih gaji seorang kepala daerah. Akhirnya mereka melakukan perselingkuhan dengan beberapa oknum, jual beli jabatan seperti yang terjadi di Klaten, memalak investor pembangunan infrastruktur, dan hal lainnya. Itu dimungkinkan karena saat menjabat mereka punya akses anggaran dan birokrasi yang dapat dimanipulasi,” kata Titi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyediakan dua jalur bagi setiap orang yang ingin menjadi peserta pilkada. Untuk jalur partai politik, KPU mensyaratkan pasangan calon didukung partai politik atau gabungan parpol yang mempunyai raihan suara 25 persen di daerah tersebut atau 20 persen raihan kursi di DPRD daerah tersebut.
Sementara jika melalui jalur perseorangan atau nonparpol, calon harus menunjukkan bukti dukungan paling sedikit 6,5-10 persen suara dari jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut. Bukti tersebut berupa kartu tanda penduduk yang dilampirkan saat pendaftaran.
Biaya politik
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Bidang Hukum Habiburokhman mengatakan tidak pernah ada pemerasan atau permintaan uang kepada La Nyalla dalam proses pencalonannya di Pilgub Jatim.
”Pernyataan Pak La Nyalla soal pertanyaan Pak Prabowo ke Pak La Nyalla tentang kesiapan untuk uang saksi Rp 40 miliar, padahal itu kan beda sekali dengan pemalakan dan pemerasan,” kata Habib. Menurut Habib, jika pertanyaan Prabowo terkait uang untuk pembiayaan saksi itu sangat masuk akal. Menurutnya, sistem politik saat ini memang berbiaya mahal.
”Kami perlu saksi. Apa solusinya kalau tidak ada pembiayaan saksi? Walaupun ada Bawaslu kami tetap perlu melindungi calon kami, tidak bisa begitu saja percaya kepada lembaga yang ada. Uang untuk saksi sepanjang faktanya uang tersebut untuk saksi itu bukan masalah. Kecuali uang untuk saksi dipakai untuk hal lain,” kata Habib.
”Jadi Pak Prabowo mungkin menanyakan kalau mau, saksi-saksinya gimana? Siap tidak untuk pembiayaan saksi gitu. Itu kan kepentingan Pak La Nyalla sendiri. Kemarin banyak testimoni ya. Misalnya, Sandiaga sudah ngomong dia habis Rp 100 miliar untuk saksi di Pilgub DKI lalu, itu kan kecil sekali dibandingkan iuran kawan-kawan semua, masyarakat yang menyumbang dalam bentuk kerja-kerja advokasi. Itu kalau dikonversi biaya besar sekali,” kata Habib.
Terkait tidak diusungnya La Nyalla sebagai cagub di Pilkada Jawa Timur, Habib mengatakan, hal itu disebabkan Partai Gerindra secara regulasi tidak memungkinkan mengusung calonnya secara mandiri, tetapi harus berkoalisi. Partai Gerindra juga telah memberikan kesempatan kepada La Nyalla untuk mencari pasangannya dan parpol lain yang mengusungnya, tetapi hal itu tidak berhasil.
Ihwal pernyataan La Nyalla terkait mahar politik, Habib mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum. Habib masih melihat sejauh apa tindakan yang diambil La Nyalla nantinya.
Partai Gerindra telah memberikan kesempatan kepada La Nyalla untuk mencari pasangannya dan parpol lain yang mengusungnya, tetapi hal itu tidak berhasil.
Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan, pihaknya telah memerintahkan Bawaslu Jawa Timur untuk mengusut kasus tersebut. ”Bawaslu Jawa Timur sudah melayangkan surat panggilan kepada Pak La Nyalla kemarin terkait pernyataannya,” kata Rahmat.
Rahmat berharap, La Nyalla dapat memenuhi panggilan Bawaslu untuk mengklarifikasi ihwal pernyataannya tentang permintaan mahar politik. Pernyataannya harus didasari bukti yang cukup karena jika tidak ada bukti yang cukup, La Nyalla juga dapat dikenai sanksi. ”Kalau mau serius ya ayo buktikan, kalau main-main juga ada sanksinya,” kata Rahmat.
Saat ditanya kemungkinan pemanggilan Prabowo oleh Bawaslu, Rahmat mengatakan, semua tergantung bukti yang dimiliki La Nyalla. Jika memang terbukti, Prabowo kemungkinan akan dipanggil untuk dimintai klarifikasinya.
Rahmat mengatakan, berbagai macam sanksi menunggu jika memang terbukti ada permintaan mahar politik uang dalam proses pencalonan peserta pilkada. Bagi calon kepala daerah, apabila dia terbukti memberikan mahar politik berupa uang, ia bisa didiskualifikasi dari pencalonannya. Sementara itu, sanksi bagi partai politik adalah larangan bagi partai tersebut mengikuti pilkada selama lima tahun ke depan. (DD14)