JAKARTA, KOMPAS — Wali Kota Batu, Jawa Timur, Eddy Rumpoko akan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya dalam waktu dekat. Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (12/1), meningkatkan status penanganan perkara dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa yang disangkakan kepada Eddy ke tahap penuntutan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jumat di Jakarta, mengatakan, pihaknya hari ini menyerahkan barang bukti dan dua tersangka suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kota Batu, Jatim, ke tahap penuntutan. Kedua tersangka itu ialah Eddy Rumpoko dan Eddi Setiawan, Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Kota Batu.
”Keduanya mulai hari ini juga dipindahkan penahanannya sehubungan dengan persidangan yang akan dilakukan di PN Tipikor Surabaya. ERP (Eddy Rumpoko) dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sidorajo, sedangkan EDS (Eddi Setiawan) dititipkan di LP Kelas I Surabaya di Medaeng, Sidoarjo,” tuturnya.
Febri menyebutkan, pelimpahan berkas perkara kedua tersangka itu dilakukan setelah KPK melengkapi pemeriksaan terhadap 47 saksi untuk kedua tersangka. ”Sampai dengan hari ini, sekurangnya kedua tersangka telah diperiksa sebanyak lima kali,” ucapnya.
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Sabtu siang, 16 September 2017. Lima orang diamankan dalam operasi itu, termasuk Eddy Rumpoko dan Eddi Setiawan.
Eddy ditangkap di rumah dinasnya di Batu dan diperiksa oleh petugas dari KPK dan Polda Jatim. Selain menangkap Eddy, penyidik KPK juga menangkap Filipus Djap, rekanan Eddy yang juga pemilik Hotel Amarta Batu.
Penangkapan Eddy Rumpoko itu merupakan hasil pengembangan dari penangkapan sebelumnya atas Eddi Setiawan.
Dari ketiga tersangka, KPK menyita uang sekitar Rp 300 juta. Uang Rp 200 juta diterima Eddy Rumpoko, yang diduga berasal dari Filipus. Eddi Setiawan juga diduga menerima uang Rp 100 juta dari Filipus guna memuluskan proyek pengadaan mebel di Pemkot Batu.
Penguatan pengawasan
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Jaweng mengatakan, fenomena penangkapan terhadap para kepala daerah dalam kasus korupsi ini menandakan mekanisme pengawasan atau kontrol yang kurang baik dari pemerintah.
Kementerian Dalam Negeri diharapkan melihat fenomena ini bukan sebagai hal yang biasa sebab sudah banyak kepala daerah yang terjerat korupsi. Dari laporan akhir tahun KPK, pada tahun 2017, terdapat 12 kepala daerah yang ditangkap KPK.
Dalam evaluasi terhadap sejumlah perkara yang melibatkan kepala daerah, Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kemarin, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan datang ke KPK untuk merespons sejumlah hal, termasuk penangkapan terhadap beberapa kepala daerah dalam kasus korupsi.
Hal-hal lain yang dibahas antara KPK dan Kemendagri antara lain tindak lanjut penguatan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) serta verifikasi dan pertanggungjawaban pengelolaan dana desa.
”Lemahnya APIP dinilai menjadi salah satu faktor yg memengaruhi kasus kepala daerah yang diproses KPK,” kata Febri.