Buat Apa Ribut-ribut? Tidak Ada Gunanya
Tiga hari terakhir, 8-10 Januari 2018, Ny Ano (58), pedagang nasi, yang berada sekitar 150 meter dari kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Barat di Kota Bandung, semringah. Masa pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur Jabar 2018 menjadi pemicunya.
Selama masa pendaftaran, dagangannya laku keras. Wajar saja karena setiap pasangan calon yang mendaftar didampingi ratusan pendukungnya. Semuanya datang dengan bahagia, sebagian melepas dahaga memuaskan lapar di warung makannya.
”Sekitar pukul 16.30 WIB, dagangan saya sudah habis. Kalau hari biasa, harus menunggu sampai jam 21.00. Ini adalah hasil terbaik selama lima tahun terakhir,” ujarnya yang mulai berjualan sejak 2013.
Akan tetapi, Ano berharap tak hanya dia yang beroleh sukacita. Ia ingin suasana penuh keceriaan itu terus berlanjut hingga pilkada usai.
Ia tak mempersoalkan siapa pemenangnya nanti karena yakin semuanya adalah pilihan sebagian besar warga. Ano tak bisa menutupi kecemasannya. Sudah sering sekali dia menyaksikan konflik pilkada di beberapa daerah melalui media massa.
Kekhawatiran Ano tak berlebihan. Dalam beberapa kejadian, massa pendukung yang tak puas dengan hasil penghitungan suara biasanya menjadikan kantor KPUD sebagai sasaran protes. Bukan tidak mungkin warung miliknya terkena imbasnya.
Jangan sampai rusuh. Buat apa ribut-ribut. Tidak ada gunanya, justru banyak ruginya. Semoga calon yang daftar ke KPU daerah bisa mewujudkannya.
”Jangan sampai rusuh. Buat apa ribut-ribut. Tidak ada gunanya, justru banyak ruginya. Semoga calon yang daftar ke KPUD bisa mewujudkannya,” kata Ano, yang untuk pertama kalinya melihat para pasangan calon dengan mata kepalanya sendiri.
Masa pendaftaran pasangan calon memang jadi kesempatan pertama bagi empat pasang bakal calon tampil resmi di hadapan publik. Setelah polemik dan lobi panjang, semuanya mengaku percaya diri memperebutkan kursi Jabar 1 dan 2.
Tak hanya mengumbar senyum, beragam simbol pun dibuat. Mulai dari cara berbusana, tempat deklarasi, hingga sarana transportasi yang mereka gunakan saat mendaftarkan diri.
”Othak Atik Gathuk”
Pasangan pertama yang mendaftar adalah petahana Wali Kota Bandung Ridwan Kamil-petahana Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, Selasa (9/1).
Diusung Partai Nasdem, PPP, PKB, dan Hanura ini, keduanya diantar sekitar 100 relawan dan simpatisan pendukung. Pasangan ini menamakan dirinya, ”Rindu” alias Ridwan dan Uu.
Keduanya tampil dengan busana berbeda. Kamil berpeci hitam dengan jas warna krem dan celana warna senada.
Dengan jas, Kamil ingin melambangkan dirinya sebagai pilihan kaum milenial urban. Namanya naik daun saat memimpin Kota Bandung sejak 2013.
Sementara Uu menggunakan baju koko, sarung, dan peci haji putih. Dia ingin jadi representasi masyarakat perdesaan.
Di Tasikmalaya, Uu punya program andalan, Gerakan Bangun Desa (Gerbang Desa). Busana itu juga jadi identitas Uu yang besar di pesantren.
Perbedaan ini membuat kami saling melengkapi. Menjauhi isu SARA saat berkampanye, memilih kampanye cerdas, berbasis ilmiah, mengedepankan visi misi yang masuk logika.
”Perbedaan ini membuat kami saling melengkapi,” kata Kamil.
Menurut Kamil, hal itu juga yang membuatnya akan menjauhi isu SARA saat berkampanye. Ia memilih kampanye cerdas, berbasis ilmiah, mengedepankan visi misi yang masuk logika.
”Semoga pasangan kami diminati warga Jawa Barat,” ujarnya.
”Duo DM” juga mendaftar pada hari yang sama. Mereka melakukannya dengan naik kuda. Petahana Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar naik kuda berbulu putih.
Sementara petahana Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menunggang kuda hitam. Ratusan orang mengantar mereka keduanya berjalan kaki sejauh 500 meter dari Lapangan Sidolig Kota Bandung.
Dedi mengatakan, naik kuda adalah idenya. Ia mengibaratkan kuda sebagai kendaraan rakyat.
”Kuda adalah kendaraan rakyat. Kami ingin menunjukkan diri selalu bersama rakyat,” ujar Dedi.
Tidak hanya itu, empat kaki kuda juga punya makna filosofis sendiri. Kuda memiliki empat kaki, seperti empat penjuru mata angin, yakni utara, timur, selatan, dan barat.
”Harapannya, kami diterima masyarakat Jabar dari seluruh penjuru empat mata angin,” katanya. Deddy, si Jenderal Naga Bonar, yang berdiri di samping Dedi hanya tersenyum mendengar penjelasan itu.
Antusias Dedi menerangkan konsep pendaftarannya itu, seperti klimaks perjalanannya bersama Deddy. Mereka nyaris gagal maju dalam pilkada kali ini. Istilah keduanya, sama-sama ditinggal kereta.
Sebelum bersama Dedi, Deddy awalnya menjadi bakal calon gubernur pertama yang punya pasangan. Didukung Partai Demokrat, PAN, dan PKS, ia dipasangkan dengan petahana Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu.
Namun, kongsi ini pecah di tengah jalan. PKS dan PAN membawa Syaikhu berduet bersama unggulan Gerindra, Sudrajat, purnawirawan jenderal bintang dua.
”Saat itu, dalam kesendirian, sempat terbersit di batin saya. Sepertinya saya tidak bisa maju. Apa sebaiknya sudahi saja maju di pilkada ini?” kata Deddy.
Gayung bersambut, rencana itu batal. Alih pucuk pimpinan di Partai Golkar jadi momentumnya. Dukungan Golkar pimpinan Setya Novanto untuk Ridwan Kamil berubah setelah Airlangga Hartanto jadi ketua umum.
Ketua DPD Partai Golkar Jabar Dedi Mulyadi yang awalnya tersingkir, kembali naik panggung.
”Kereta itu awalnya tak menjemput saya, tetapi karena masinisnya berganti, kereta ini kembali menjemput dan sekarang siap mengantarkan saya,” kata Dedi.
Tahu Deddy sendirian, ”kereta” yang ditumpangi Dedi singgah di Bandung. Dedi bahkan rela jadi calon wakil gubernur meski Golkar punya suara lebih banyak ketimbang Demokrat yang jadi rumah Deddy. Golkar punya 17 suara di DPRD, sedangkan Demokrat hanya 12 suara.
”Kami ini senasib sepenanggungan. Awalnya kami sama-sama ditinggal kereta, tetapi sekarang kami bergabung dan punya kereta masing-masing,” ujar Deddy.
Kini, setelah mendaftarkan diri, Deddy berharap terus memelihara rasa senasib sepenanggungan itu bersama warga Jabar. Dia ingin, bersama Dedi menjadi pemimpin yang baik untuk Jabar.
Di Monumen Perjuangan Bandung, Rabu (10/1) siang, keinginan itu juga diapungkan pasangan Sudrajat-Syaikhu. Tahun 2014, di tempat yang sama deklarasi tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa di Jabar juga dilakukan di tempat yang sama.
Meski tak memenangkan pemilihan presiden dan wakilnya, pasangan Prabowo-Hatta unggul ketimbang Joko Widodo-Jusuf Kalla di Jabar. Pasangan ini membuat pertarungan di Pilkada Jabar semakin seru.
Harus diakui cuaca saat ini amat panas, tapi saya egaliter. Melihat suasana ini seperti bukan acara politik, serasa di Padang Arafah.
Tanpa atap peneduh, panas terik Bandung membuat keringat deras bercucuran di sana. Tak terkecuali mengalir dari wajah Sudrajat. Namun, ia mengaku tetap ”Asyik”, mengacu julukan dia bersama Syaikhu.
”Harus diakui cuaca saat ini amat panas, tapi saya egaliter. Kalau ketika aktif di militer saya biasa berada di tenda, tapi saat ini kita sama-sama merasakan panas. Melihat suasana ini seperti bukan acara politik, serasa di Padang Arafah. Semoga kami menjadi berkah,” ucapnya pada ratusan kader yang datang ke acara itu.
Akan tetapi, tidak seperti udara panas siang itu, pasangan ini berjanji menjadikan Pilkada Jabar jauh lebih adem. Syaikhu berharap, ajang pilkada ini berlangsung elegan. Dia ingin pesta demokarasi menjadi ajang persahabatan bukan permusuhan.
”Meskipun ada rivalitas dengan kandidat yang lain, jangan dijadikan sebagai musuh, melainkan sahabat dalam demokrasi,” ujar Syaikhu.
Terakhir, yang mendaftarkan diri ke KPU Jabar adalah pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan yang hanya diusung PDI-P, Rabu sore.
Berkompetisi secara sehat tak hanya menjadi komitmen pasangan calon, tetapi semua pendukungnya.
Di tengah dominasi warna merah, keduanya memakai baju putih. Baju itu seperti simbol keinginan mereka yang berjulukan ”Hasanah” itu menolak kampanye hitam dalam pesta demokrasi kali ini.
Anton mengatakan, akan berkompetisi secara sehat dengan gagasan dan program kerja. Dia berharap, berkompetisi secara sehat tak hanya menjadi komitmen pasangan calon, tetapi semua pendukungnya.
”Kita mengedepankan demokrasi sehat, bukan kampanye hitam. Jangan lebih banyak menebar fitnah dan kabar bohong daripada adu gagasan,” ujar Anton, mantan Kapolda Jabar.
Damai
Disambut kesenian tradisional Sunda, Hasanuddin mengatakan sangat menikmati kenyamanan dan keramahan di KPU Jabar. Dia berharap, suasana ini terus terbawa hingga pilkada usai, siapa saja pemenangnya.
”Ini harus terus dijaga semua pihak,” kata mantan Sekretaris Militer Presiden di era Megawati Soekarnoputri ini.
Ketua KPU Jabar Yayat Hidayat berharap janji semua pasangan itu terwujud. Dia yakin semua pihak ingin pilkada kali ini menjadi sarana belajar berdemokrasi dan berpolitik yang baik ketimbang memelihara curiga dan ketegangan.
”Pilkada kali ini tidak hanya dilihat masyarakat Indonesia, tapi juga dunia. Mari kita pelihara keakraban dan persahabatan,” katanya.
Keinginan Yayat jelas tak mudah. Sebagai daerah terpadat di Indonesia, benih perpecahan tetap berpotensi terjadi jika tidak diantisipasi. Yayat mencoba memulai nuansa damai dengan beragam humor saat menyambut pasangan calon yang datang.
Saat menerima kedatangan Sudrajat-Syaikhu, misalnya. Yayat mengatakan Pilkada Jabar jauh dari sejumlah negara.
Mereka ingin damai di akhir kisah pesta demokrasi penuh drama ini. Buat apa ribut-ribut? Tidak ada gunanya.
Dia mengatakan, dari segi jumlah penduduk, Jabar yang dihuni sekitar 46 juta jiwa lebih besar dari banyak negara. Ia mencontohkan Australia dengan penduduk sekitar 24 juta jiwa, Kanada (36 juta jiwa), atau Malaysia (31 juta jiwa).
”Ajang ini levelnya melebihi pemilihan perdana menteri. Oleh karena itu, mari kita jadikan Pilkada Jabar jadi contoh tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga dunia,” kata Yayat.
Harapan Yayat tentu tak berbeda dengan keinginan Ano dan jutaan penduduk Jabar lainnya. Mereka ingin damai di akhir kisah pesta demokrasi penuh drama ini. Buat apa ribut-ribut? Tidak ada gunanya.