MAGELANG, KOMPAS — Beras operasi pasar yang berasal dari Perum Bulog hingga Rabu (10/1) kurang diminati konsumen di sejumlah daerah karena kualitasnya kurang bagus. Pedagang terpaksa menurunkan harga untuk menarik konsumen.
Kepala Perum Bulog Subdivre Wilayah V Kedu Sony Supriyadi mengatakan, banyak pedagang tak terlalu meminati beras Bulog karena merupakan stok lama yang disimpan sejak 2017. ”Kebanyakan pedagang ragu menjual beras yang kami tawarkan karena memperkirakan bahwa tidak akan disukai konsumen,” ujar Sony.
Sejak Jumat (5/1), Perum Bulog Subdivre Wilayah V Kedu sudah menggelontorkan 400 ton beras di enam kota/kabupaten di wilayah Kedu. Namun, permintaan di enam kota/kabupaten itu hanya 5-20 ton beras per mitra dari 15 mitra kerja Bulog. Hanya ada satu mitra yang berani mengambil 50 ton.
Mamik (57), warga Kelurahan Peterongan, Kota Semarang, Jawa Tengah, mengatakan, harga beras medium terus naik dari Rp 10.500 per kilogram menjadi Rp 12.000 per kg. ”Anak dan cucu saya tidak mau nasi dari beras operasi pasar karena tidak putih. Jadi, mau tidak mau beli dengan harga Rp 12.000 per kg. Memang memberatkan,” kata Mamik.
Anak dan cucu saya tidak mau nasi dari beras operasi pasar karena tidak putih.
Buang Sufli (60), warga di Bandar Lampung, mengatakan, beras yang dijual Bulog tidak pulen saat dimakan. Beras itu hanya bisa digunakan untuk campuran dengan beras merek lain yang harganya lebih tinggi dan kualitasnya lebih baik. ”Nasinya keras saat dimakan dan banyak yang patah,” ujarnya.
Turunkan harga
Pedagang di Pasar Genteng, Surabaya, menurunkan harga beras operasi pasar Perum Bulog karena tak diminati konsumen. Beras yang dijual Rp 9.350 per kg sejak Senin (8/1) diturunkan harganya menjadi Rp 9.000 per kg pada Rabu karena pedagang khawatir beras dari Bulog tidak laku.
Rachman (60), pedagang beras di Pasar Genteng, mengaku menurunkan harga beras Bulog karena sulit terjual. Selama tiga hari menjual beras Bulog, baru 30 kg beras Bulog yang terjual dari jatah pengambilan 50 kg.
Walaupun operasi pasar sudah dilakukan, harga beras tak juga turun. Menurut Siti, pedagang beras di Pasar Kliwon, Kabupaten Temanggung, harga beras naik dalam sepekan terakhir dari Rp 12.000 per kg menjadi Rp 13.000 per kg.
Berdasarkan pemantauan Kompas di Pasar Modern Bumi Serpong Damai (BSD), Banten, serta Pasar Mayestik dan Pasar Palmerah, Jakarta, harga beras juga belum turun. Di Pasar Modern BSD, rata-rata harga beras premium jenis pandan wangi sudah mencapai Rp 16.000 per kilogram, sedangkan harga beras kualitas medium Rp 14.000 per kg. Harga 10 dari 11 jenis beras yang diperdagangkan di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, pada Rabu justru naik dibandingkan sehari sebelumnya. Kenaikan berkisar Rp 50-Rp 200 per kg.
Pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Sony Heru Priyanto, menilai, kenaikan harga beras terjadi karena data dan peta potensi pertanian padi tidak tersedia dengan baik. Mestinya, data dan stok pangan sesuai fakta.
Rencana impor
Rencana pemerintah mengimpor beras untuk meredam gejolak harga menjelang panen musim rendeng dinilai berpotensi menekan pendapatan petani. Harga gabah dipastikan anjlok karena pasokan berlimpah, sementara instrumen perlindungan dianggap sudah tidak relevan.
Para petani khawatir beras impor tiba saat panen rendeng dimulai pada Februari 2018, kemudian meluas pada kurun Maret-April 2018. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa berpendapat, keputusan impor terlambat. Masuknya beras impor akan makin menekan harga gabah di tingkat petani. Situasi ini dilematis. Di satu sisi, impor berpotensi menekan harga di tingkat petani, tetapi di sisi lain pemerintah perlu impor untuk meningkatkan cadangan beras sekaligus meredam gejolak harga.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, saat ini sedang didata stok beras yang disimpan di gudang dan penggilingan. Kalau stok beras di gudang dan penggilingan tidak mencukupi, impor seperti yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan dilakukan.
”Kami lihat dulu perkembangannya. Namun, saya tidak mau mengambil risiko atas kekurangan stok yang mengakibatkan harga beras tinggi. Kalaupun nanti impor, saya memilih mengimpor beras khusus agar tidak bertentangan dengan produksi beras di dalam negeri,” tuturnya.
Enggartiasto menambahkan, impor beras khusus itu akan digunakan untuk memperkuat stok pemerintah. Kalau memang benar-benar diperlukan dan dalam kondisi darurat, stok bisa dipergunakan untuk operasi pasar.(MKN/RUL/GER/SYA/RWN/EGI/VIO/DIT/WHO/HEN/IKI/DD10)