Pergerakan Tanah di Majalengka, 19 Rumah Rusak dan 111 Warga Mengungsi
Oleh
Abdullah Fikri Ashri dan Ambrosius Harto
·4 menit baca
MAJALENGKA, KOMPAS — Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah Majalengka mencatat 19 rumah rusak dan 111 warga Blok Pamujaan, Desa Cimuncang, Kecamatan Malausma, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, mengungsi akibat pergerakan tanah. Hingga Senin (8/1) pagi, BPBD setempat masih menyiagakan posko pengungsian dan mendata warga yang terdampak.
Pergerakan tanah yang berlangsung sejak Sabtu (6/1) subuh itu dipicu hujan lebat beberapa jam sebelumnya. Awalnya, BPBD mencatat 15 rumah dan 2 masjid rusak. Rumah tersebut retak hingga 4 sentimeter. Jalan antarblok juga terputus. Tidak ada korban jiwa dalam bencana itu.
Namun, pada Minggu (7/1), pergerakan tanah meluas. Keretakan rumah di bagian dinding ataupun lantai bertambah 2 sentimeter. Warga pun diminta mengungsi ke Madrasah Tsanawiyah Al Ma’sum II, sekitar 300 meter dari lokasi bencana.
BPBD Majalengka membangun tenda darurat di Blok Pamujaan, Desa Cimuncang, Kecamatan Malausma, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Minggu (7/1) sore. Sebanyak 111 warga terpaksa mengungsi akibat pergerakan tanah di daerah itu.
Menurut Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Majalengka Nana Rukmana, 19 keluarga atau 66 jiwa terdampak langsung pergerakan tanah. Mereka telah mengungsi ke sekolah. ”Namun, secara keseluruhan, ada 111 warga yang mengungsi hanya untuk berjaga-jaga,” ujar Nana.
Pihaknya telah membangun tenda darurat, mengecek lokasi bencana, dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Terkait dapur umum, menurut Nana, masih dikoordinasikan dengan pihak terkait, seperti tagana. ”Kami akan lakukan pemberian logistik, seperti makanan,” ujarnya.
Imu (50), salah seorang pengungsi, mengatakan, warga membutuhkan selimut karena suhu yang dingin saat malam hari. Warga umumnya mengungsi ketika sore hari. Pada pagi dan siang hari, mereka mengecek rumah atau bekerja di sawah.
Blok Pamujaan yang berada sekitar 37 kilometer dari pusat kota Majalengka merupakan wilayah perbukitan dengan ketinggian 899 meter di atas permukaan laut. Ketika sore hari, kabut datang menghampiri permukiman warga.
Ibu dan bayi tertimbun tanah longsor di Ponorogo
Tim SAR Terpadu pada Senin ini masih berupaya menyelamatkan seorang ibu dan bayinya yang tertimbun tanah longsor di Ponorogo.
BPBD Ponorogo mengungkapkan, tanah longsor menghantam rumah milik Soirin alias Kuro di RT 002 RW 003 Dukuh Gondang, Desa Tumpuk, Kecamatan Sawoo pada Minggu menjelang pukul 18.00 WIB.
Tanah longsor diyakini terjadi terkait dengan hujan berintensitas tinggi yang mengguyur Ponorogo sejak Minggu siang. Hujan membuat tanah di Dukuh Gondang menjadi labil dan longsor. Naas bagi seorang ibu bernama Lia dan bayi berusia 35 hari yang tidak menyadari tanah longsor dalam rumah sehingga tertimbun.
”Kami belum bisa memastikan kondisi mereka sebab pencarian masih berlangsung,” ujar Farid Prijonggo, operator Pusdalops PB BPBD Ponorogo yang dihubungi dari Surabaya pada Senin pagi.
Upaya pencarian dan pertolongan (SAR) terhadap kedua korban sampai Minggu malam tidak bisa dilaksanakan. Hal ini karena hujan masih turun, lokasi bencana sulit, dan sudah gelap. SAR dilanjutkan pada Senin ini.
Bencana itu menjadi yang kedua dalam sepekan pertama 2018 di Ponorogo. Kejadian serupa sebelumnya menimpa rumah Yamadi di Desa Bedoho, Kecamatan Sooko, Selasa (2/1) menjelang pukul 18.00 WIB. Namun, dalam kejadian itu tidak ada korban jiwa kecuali kerusakan bangunan akibat tebing di belakang runtuh dan menimbun kediaman Yamadi tersebut.
Menurut catatan BPBD Ponorogo, ada empat jenis bencana yang berpotensi menerjang ”Bumi Reog” tersebut. Banjir, puting beliung, tanah longsor, dan tanah retak menjadi bencana langganan.
Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Ponorogo Setyo Budiono mengatakan, angin kencang berupa puting beliung berpotensi terjadi di delapan kecamatan, yaitu Slahung, Babadan, Sooko, Balong, Badegan, Pulung, Pudak, dan Ngrayun.
Tanah longsor menghantui delapan kecamatan, yaitu Ngrayun, Slahung, Pudak, Ngebel, Badegan, Sawoo, Sambit, dan Sooko. Banjir masih terus berpotensi terjadi di Balong, Kota, Sukorejo, Kauman, dan Sumoroto. Tanah retak sering menghantam Pulung, Sooko, Sawoo, Ngebel, Badegan, Slahung, dan Sambit.
Tahun lalu, Ponorogo menjadi pusat perhatian publik karena kematian 28 orang di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, akibat tanah longsor pada awal April 2017. Akhir tahun, masih di desa yang sama, enam keluarga diungsikan karena tanah retak yang berpotensi menjadi tanah longsor yang akan menimbun rumah-rumah warga.