Jokowi Dinilai Berisiko jika Copot Jabatan Menteri Airlangga
Oleh
DD14
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo dinilai memiliki risiko politik apabila mencopot Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Posisi Airlangga sebagai pembantu presiden menjadi sorotan setelah dirinya terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada Desember 2017.
Pada masa pemerintahannya, Jokowi menyampaikan, menterinya tidak boleh merangkap jabatan strategis di partai politik. Hal itu guna menjaga profesionalitas agar tidak terjadi konflik kepentingan antara parpol dan kementerian yang dipimpinnya.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menyampaikan, terdapat risiko politik bagi Jokowi ketika mengganti Airlangga. Risiko tersebut dapat muncul dari Partai Golkar ataupun sorotan publik.
Ada risiko politik bagi Jokowi ketika mengganti Airlangga. Risiko tersebut dapat muncul dari Partai Golkar ataupun sorotan publik
”Pertama risiko akan muncul kembali gejolak internal di Partai Golkar yang akan membahas siapa pengganti Airlangga. Kedua, saya yakin Jokowi tidak ingin terjadi gaduh karena reshuffle yang dilakukannya. Terlebih, ini sudah memasuki tahun politik,” ujar Arya.
Sirojudin Abbas, peneliti Saiful Mujani Research and Consultant (SRMC), menilai, saat ini terdapat konteks politik yang berbeda dibandingkan dengan masa awal pemerintahan Jokowi. Hal itu dinilai memengaruhi dasar pengambilan keputusan Jokowi.
”Pada awal pemerintahan Jokowi, publik banyak yang ragu apakah bisa beliau memimpin bangsa yang sangat kompleks ini. Oleh karena itu, Jokowi ingin tampil berbeda seperti pendahulunya, SBY, yang menjadikan banyak ketua umum sebagai menteri, sebut saja Surya Dharma Ali (PPP), Hatta Rajasa (PAN),” ujar Abbas.
Namun, saat ini publik telah menaruh kepercayaan yang besar terhadap Jokowi. Itu berdasarkan kinerjanya yang baik sejauh ini, ditandai dengan berbagai pembangunan yang ada. Oleh karena itu, jika Airlangga dipertahankan, publik tidak akan mempermasalahkannya.
Apa pun keputusannya terkait status Airlangga. Jokowi harus bisa menjelaskan ke rakyat. Bagaimanapun masyarakat akan menuntut konsistensinya. Begitupun jika di-reshuffle, Jokowi harus bisa menjelaskan ke internal Golkar yang baru saja bangkit.
”Apa pun keputusannya terkait status Airlangga. Jokowi harus bisa menjelaskan ke rakyat. Bagaimanapun masyarakat akan menuntut konsistensinya. Begitupun jika di-reshuffle, Jokowi harus bisa menjelaskan ke internal Golkar yang baru saja bangkit,” tutur Abbas.
Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, mengatakan, hingga saat ini tidak ada undang-undang yang jelas mengatur perihal rangkap jabatan. Terlebih jabatan yang dirangkap oleh Airlangga tergolong jabatan politik, bukan jabatan fungsional atau karier.
Jadi, menurut Suparji, jika Airlangga tetap menjabat sebagai Menteri Perindustrian, ia tidak melanggar hukum. UU Kementerian pun mengharuskan menteri mundur apabila sudah tidak lagi mampu memimpin kementeriannya, bukan karena rangkap jabatan politik.
”Seharusnya polemik ini tidak perlu ada. Airlangga tidak perlu mundur karena dia diminta menjadi menteri,” kata Suparji.
Seharusnya polemik ini tidak perlu ada. Airlangga tidak perlu mundur karena dia diminta menjadi menteri.
Politisi Partai Golkar, Happy Bone Zulkarnaen, menyayangkan jika Airlangga diturunkan dari jabatannya sebagai menteri. Hal itu karena Airlangga dinilai mampu membagi waktu antara tugas partai dan sebagai pembantu presiden. Di samping itu, Airlangga juga didukung tim yang kuat untuk menjalankan tugasnya, baik di partai maupun kementerian.
”Kinerja Airlangga di kementerian sangat baik. Persoalan keraguan masyarakat tentang konflik kepentingan, itu hanyalah masalah bagaimana mengelola jabatan, itu saja. Toh, banyak juga sejak dahulu yang merangkap jabatan. Misalnya, Pak Jusuf Kalla (merangkap Ketum Golkar saat menjabat Wapres 2004-2009) dan Ibu Megawati Soekarnoputri (merangkap Ketum PDI-P saat menjabat Wapres dan Presiden 1999-2004),” tutur Bone. (DD14)
Kinerja Airlangga di kementerian sangat baik. Persoalan keraguan masyarakat tentang konflik kepentingan, itu hanyalah masalah bagaimana mengelola jabatan, itu saja.