Cerita Muram Muara Citarum
Kejayaan daerah di muara Sungai Citarum kini hanya menjadi kisah indah masa lalu. Kerusakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat itu dituding sebagai penyebabnya.
Selasa (2/1), saat turun dari perahu, wajah Warta (37) kembali masam. Nelayan Muara Bendera, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, itu lagi-lagi kecewa dengan tangkapannya hari itu.
Seharian melaut, ia hanya mendapat 16 kilogram cumi-cumi senilai Rp 512.000. Setelah dikurangi ongkos melaut dan dibagi dua dengan teman seperahunya, hanya tersisa Rp 34.000 yang bisa ia bawa pulang. ”Pencemaran Citarum membuat cumi-cumi makin sedikit. Dulu, tahun 1990-2000-an, saya bisa mendapat 50-100 kg per hari,” kata Warta.
Pencemaran Citarum membuat cumi-cumi makin sedikit. Dulu, tahun 1990-2000-an, saya bisa mendapat 50-100 kg per hari,
Berada di ujung utara Kabupaten Bekasi, Muara Gembong menjadi akhir ”perjalanan” Sungai Citarum. Setia menghidupi sekitar 20 juta orang dari hulunya di Kabupaten Bandung, ”tubuh” Citarum dirusak sebagian manusia. Kotoran hewan ternak, sampah rumah tangga, dan limbah pabrik membuat Citarum tercemar polutan berat. Jejak hitam itu, ironisnya, terus terbawa, bahkan sampai saat Citarum bertemu segara, 279 kilometer kemudian.
Nelayan lain, Muslim (36), bercerita, air Citarum tak lagi bening. Airnya kerap berwarna coklat tua, sebelum menghitam saat gelontoran limbah datang. Tak heran ikan dan udang di sungai mati keracunan. Bau itu menusuk hidung, juga hatinya.
Puing kejayaan
Sebagai muara Citarum, denyut ekonomi Bekasi, termasuk Muara Gembong, dulu berdetak kencang. Sekarang kondisinya berbeda. Buruknya infrastruktur Muara Gembong tak sebanding dengan hunian mewah Cikarang di selatan Bekasi meski jaraknya hanya 60 kilometer.
Dikisahkan, Bekasi bersama Banten, Bogor, dan Jakarta pernah menjadi wilayah kerajaan masyhur Nusantara, Tarumanagara, dengan raja terbesar Purnawarman. Prasasti Tugu di Kampung Batutumbuh (sekarang Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara) mengisahkan kesejahteraan itu.
Purnawarman disebut membangun dua saluran air, Chandrabhaga dan Gomati, sekitar abad ke-5 Masehi. Panjang saluran air 6.122 tombak atau sekitar 11 kilometer. Purnawarman menghadiahkan 1.000 sapi setelah pembangunan saluran.
Fungsi saluran itu belum pasti, kemungkinan peredam banjir atau jalur transportasi air. Namun, setidaknya ahli sastra, Poerbatjaraka, mengatakan, Chandrabhaga yang kerap disebut sashbagha atau bhagasasi menjadi inspirasi kata ”Bekasi”.
Hingga akhir 1990-an, bekas kejayaan itu masih tersisa. Muin (53), pemilik tambak di Desa Pantai Bahagia, mengatakan, saat itu masih bisa panen sekuintal udang alam berbagai jenis di 12 hektar tambak miliknya. ”Ukuran besar-besar. Satu kilogram hanya perlu 9-11 ekor,” kenang Muin.
Pencemaran Citarum dituding memutus keindahan itu. Hitam air sungai masuk ke tambak menghambat pertumbuhan udang, bahkan mematikan. Panen anjlok hanya sekitar 10 kg per hari. Udang yang tertangkap pun kerdil, butuh sekitar 80 ekor untuk 1 kg.
Muin pernah memodifikasi proses penanaman di tambak. Dia sengaja menebar bibit udang guna mendongkrak hasil panen. Namun, upaya itu tak berhasil. Pada 2008, dia pasrah. Tambaknya ia sewakan kepada orang lain.
Warita, Kepala Dusun II, Desa Pantai Bahagia, mengatakan, limbah Sungai Citarum sangat merugikan warga karena sebagian besar warga bersandar hidup dengan menangkap ikan di muara Sungai Citarum hingga ke laut.
”Dalam setahun, bisa tiga sampai enam kali limbah datang dan membuat warna air jadi hitam pekat merusak sungai dan laut,” ucap Warita.
Pencemaran itu juga membuat hubungan kultural mereka dengan Sungai Citarum merenggang. Citarum seperti dikucilkan. Tak ada lagi warga yang mau minum air Citarum yang dulu dikenal sangat bersih. ”Meski sudah dimasak, saya tetap tidak berani meminumnya,” ujar Warita.
Warga Muara Bendera telah mengadukan pencemaran tersebut berulang-ulang ke desa dan kecamatan yang kemudian diteruskan ke Pemerintah Kabupaten Bekasi. Namun, perbaikan tak kunjung muncul.
Sebagian warga bahkan mulai meninggalkan tepi Sungai Citarum. Kerusakan di sana tak sebatas pencemaran dan pendangkalan sungai. Erosi dan abrasi akibat sedimentasi juga mengganas. Di Kampung Muara Bendera, kebanyakan warga tinggal di atas rumah yang ditopang bambu karena bibir sungai terus terkikis. Sungai Citarum lebih dangkal, tetapi makin lebar dari waktu ke waktu. ”Dulu, waktu masih jernih, lebarnya hanya 40 meter, sekarang sudah sampai 80 meter,” ucap Muin.
Warga di Kampung Muara Jaya, Desa Pantai Mekar, Muara Gembong, terdampak lebih parah. Selain ancaman sedimentasi, empasan air laut tanpa karang dan bakau mudah menyapu rumah warga. Sedikitnya 20 rumah hancur, tak berdaya disapu gelombang.
Tawi (47), nelayan Muara Jaya, mengatakan, abrasi terjadi sejak 2012. Dia bersama istri dan lima anaknya terpaksa pindah rumah pada pertengahan 2015. Dia membangun rumah baru dari kayu dan bambu sekitar 100 meter dari lokasi ru- mah lama. ”Tanahnya numpang sama warga lain, kami tak punya uang kalau harus mengontrak,” kata Tawi yang berpenghasilan Rp 30.000 sehari itu.
Penderitaan warga Muara Gembong seolah tak berujung. Mereka harus menanggung akibat buruknya kualitas air Citarum.