Polresta Tangerang Ungkap Kasus Paedofilia dengan Korban 25 Anak
Oleh
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Tangerang mengungkap kasus kekerasan seksual terhadap anak atau paedofilia dengan korban hingga 25 anak. Kasus itu cukup lama diselidiki Polres Tangerang dan baru diungkap secara resmi kepada publik, Kamis (4/1), demi kepentingan pengungkapan kasus, termasuk terkait dengan penyelidikan terhadap anak-anak yang menjadi korban. Tersangka mencabuli korban dengan modus memberikan ajian semar mesem atau ilmu untuk meluluhkan hati dan cinta orang yang dituju.
Menurut Kapolresta Tangerang Komisaris Besar Sabilul Alif, kasus ini bermula dari pesan pendek yang dikirimkan masyarakat kepadanya. ”Beberapa hari lalu, saya mendapatkan SMS (short message service) dari masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan seksual kepada anak atau paedofilia. Berawal dari SMS itu, saya memerintahkan Kasat Reskrim Komisaris Wiwin Setiawan untuk melakukan penyelidikan dan menindaklanjuti informasi itu,” kata Sabilul, di Tangerang, Kamis (4/1).
Polresta Tangerang sengaja tidak langsung mengekspos kasus ini karena penyelidikan juga meminta keterangan anak-anak yang menjadi korban. ”Selain itu, pertimbangan lain kasus ini tidak langsung diekspos adalah untuk melindungi hak-hak anak yang di dalamnya termasuk faktor psikologis anak. Tidak hanya itu, penanganan komprehensif juga diperlukan agar tersangka tidak diamuk massa,” katanya.
Setelah melalui serangkaian penyelidikan, pada 20 Desember 2017, Satuan Reskrim Unit V PPA Polresta Tangerang, pimpinan Kanit PPA Inspektur Dua Iwan Dewantoro, bersama empat anggotanya menangkap tersangka berinisial WS alias Babeh di rumahnya di Kampung Sakem, Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang. WS diketahui berprofesi sebagai guru honorer di kawasan Rajeg, Tangerang.
Usia anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh tersangka WS antara 10 tahun dan 15 tahun dan semua berjenis kelamin laki-laki.
Menurut Sabilul, WS mengakui semua perbuatannya. Tersangka WS melakukan pencabulan terhadap anak-anak sejak April 2017 di Kampung Sakem, Desa Tamiang. Kepada polisi, WS mengaku istrinya sudah tiga bulan menjadi tenaga kerja wanita di Malaysia. Tersangka mengaku banyak anak yang mendatangi dirinya di gubuk yang didirikannya di Kampung Sakem karena menganggap dirinya memiliki ajian semar mesem dan bisa mengobati orang sakit.
Anak-anak itu kemudian meminta ajian semar mesem kepada tersangka. Atas permintaan itu, tersangka bersedia memberikan ajian semar mesem asalkan ada mahar.
”Anak-anak itu kemudian meminta ajian semar mesem kepada tersangka. Atas permintaan itu, tersangka bersedia memberikan ajian semar mesem asalkan ada mahar (semacam kompensasi) uang. Namun, untuk mahar uang, anak-anak mengaku tidak memilikinya. Tersangka kemudian mengatakan, mahar uang bisa diganti asalkan anak-anak bersedia disodomi,” kata Sabilul.
Selain menyodomi anak-anak korbannya, WS juga memerintahkan mereka menelan gotri (logam bulat kecil) yang diklaim tersangka sebagai bagian dari ritual pemberian ajian. Apabila ada anak yang menolak disodomi, tersangka menakut-nakuti korban bahwa jika tidak bersedia disodomi maka akan menerima kesialan selama 60 hari.
”Atas dasar itulah akhirnya anak-anak bersedia disodomi. Tersangka mengatakan, kebanyakan anak yang menjadi korbannya enggan bercerita kepada orang lain karena malu atau takut,” ujar Sabilul.
Gubuk yang dibangun WS di Sakem dibakar karena banyaknya anak-anak yang datang ke sana. WS kemudian pindah tempat dan mendirikan gubuk baru di Kampung Jawaringan, Desa Sukamanah, Kecamatan Rajeg sekitar Oktober 2017. Di gubuk ini WS kembali didatangi banyak anak. Dia pun kembali melakukan kejahatannya dengan modus serupa.
Dari hasil penyelidikan polisi terungkap jumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sebanyak 25 orang.
Hingga pada 2 Desember 2017 tersangka kembali melakukan aksi kekerasan seksual kepada tiga anak. Salah satu anak kemudian menceritakan peristiwa itu kepada orangtuanya. Orangtua itu lalu melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Rajeg. Polisi menindaklanjuti laporan orangtua korban dengan melakukan penyelidikan pada 14 Desember 2017.
”Setelah dilakukan visum, atas perintah saya, kasus itu diambil alih Polresta Tangerang pada 20 Desember 2017. Pelimpahan penanganan itu dilatarbelakangi sensitivitas kasus serta pola penanganan yang harus benar-benar maksimal,” kata Sabilul.
Dari hasil penyelidikan polisi terungkap jumlah anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sebanyak 25 orang. Semua korban telah menjalani visum.
”Dalam kesempatan ini, demi menjaga hak anak dan keluarganya, foto dan inisial korban tidak kami rilis. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap tersangka dan hasilnya tersangka dinyatakan normal,” kata Sabilul.
Polisi pun menetapkan WS sebagai tersangka dan menjeratnya dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. WS terancam hukuman 15 tahun penjara.
Selain kembali melanjutkan pemeriksaan kasus ini, menurut Sabilul, Polresta Tangerang juga akan memfasilitasi pendampingan dan trauma healing dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Terkait dengan kasus ini, Sabilul mengatakan akan dilaksanakan ekspos yang akan dipimpin langsung Kapolda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di di Markas Polresta Tangerang. Dalam ekspos itu, menurut rencana turut dihadiri Komisi Perlindungan Anak Indonesia, P2TP2A, Kementerian PPPA, dan Unicef. (BIL/*)