Citarum Semakin Rusak
BANDUNG, KOMPAS — Kondisi Citarum kini rusak berat. Berawal dari mata air di Situ Cisanti, Kabupaten Bandung, sungai sepanjang 297 kilometer ini menghadirkan air mata dan derita hingga ke hilirnya di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, hampir selama 40 tahun terakhir.
Penelusuran Kompas pada 27 Desember 2017-3 Januari 2018 memperlihatkan kengerian itu. Citarum rusak mulai dari hulu. Sampah plastik dan eceng gondok memenuhi Situ Cisanti. Minim pengawasan berkelanjutan, upaya rehabilitasi kerap sporadis dan kurang perencanaan.
Tidak jauh dari Situ Cisanti, hulu Citarum juga merasakan bumerang menjadi rumah bagi ribuan ternak sapi perah. Di Kecamatan Pangalengan, misalnya, sebagian besar peternak membuang kotoran sapi ke Sungai Cisangkuy dan Citarum.
Dengan jumlah sapi mencapai 8.000 ekor, sekitar 200 ton kotoran sapi berpotensi dibuang ke sungai setiap hari. Padahal, Cisangkuy merupakan sumber air bersih bagi warga Bandung. Citarum merupakan andalan air bersih bagi warga Jakarta dan sumber air bagi produksi listrik Jawa-Bali.
Apit Zamzam (47), peternak di Kampung Padamukti, Pangalengan, mengatakan, baru 19 peternak dengan kepemilikan satu-dua sapi yang konsisten ikut program reaktor biogas. Sebagian peternak menolak, alasannya tak punya biaya. ”Padahal, ada pihak swasta yang akan membiayai pembuatan reaktor,” katanya.
Sementara itu, pengelolaan air dan limbah di Citarum juga belum optimal. Padahal, sungai ini menjadi salah satu tumpuan peradaban bangsa dan jutaan manusia di sekitarnya. ”Satu bangsa dikatakan beradab apabila sudah mengelola air dan sampah,” kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam Rapat Pimpinan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah terkait Citarum, di Bandung, Kamis (28/12).
Menjadi sumber kehidupan, kondisi sungai terpanjang dan terbesar di Jabar itu rapuh. Kerusakan masif di tubuhnya tidak kunjung rampung diperbaiki dan membahayakan sekitar 20 juta manusia di sekitarnya.
Saat berkunjung ke Bandung pada akhir 2017, Presiden Joko Widodo berkeluh kesah tentang Citarum. Ia mengatakan, Citarum sangat kotor akibat limbah pabrik dan sampah. Kondisi itu tidak baik untuk aktivitas pertanian dan sumber air bersih bagi warga Jabar dan Jakarta.
Kritis
Kualitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum bertambah buruk saat pembukaan kebun sayur marak terjadi. Banyak sentra sayur di Jabar yang tidak mengindahkan pola penanaman ramah lingkungan. Hal itu memunculkan dampak yang tidak sederhana. Sebanyak 76.778 hektar lahan di DAS Citarum masuk kategori kritis dan 2.670 ha lainnya sangat kritis. ”Kondisi itu memicu banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sedimentasi tanah memicu banjir dan longsor rentan dipicu hal itu,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jabar Anang Sudarna.
Wajah Citarum kian muram dihajar limbah cair dan batubara pabrik. Saat ini, ada sekitar 2.700 pabrik di tepiannya. Sekitar 1.500 industri di antaranya di sekitar Bandung dan memproduksi limbah hingga 2.800 ton per hari.
Ironisnya, baru 47 persen pabrik yang mengelola limbah menggunakan instalasi pengolahan air limbah. Sebanyak 53 persen lainnya nekat membuang limbah mengandung logam berat berbahaya, seperti kadmium, tembaga, nikel, timbal, dan arsenik, langsung ke sungai.
Tak hanya pengusaha yang minim kesadaran lingkungan, masyarakat pun ikut merusak sungai. Dipicu keterbatasan jamban akibat sulitnya air bersih, limbah pun dibuang langsung ke sungai. Panglima Kodam III Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo mengatakan, dalam pendataan di akhir 2017, ditemukan fakta ribuan jamban dibuat di atas Sungai Citarum. ”Air limbah digunakan sebagian warga untuk mandi, cuci, dan air minum,” kata Doni.
Koordinator Elemen Lingkungan, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pencemaran akibat limbah di Citarum, Deni Riswandani, mengatakan, upaya pemerintah belum membuahkan hasil maksimal. Beragam pelanggaran masih terjadi, menyiksa dan menimbulkan derita bagi warga. Data dari Puskesmas Majalaya dan Puskesmas Cikaro, sedikitnya 7.000 orang menderita diare, infeksi saluran pernapasan, dan gatal-gatal.
”Solusi tegas dan tepat sangat dinantikan. Dampaknya tak hanya bagi warga di sisi Citarum, tapi jutaan warga di daerah yang jauh dari Citarum,” katanya.
Beracun
Air Citarum berperan sebagai sumber listrik bagi Jawa dan Bali, misalnya. Tingkat pencemaran yang tinggi memperpendek usia turbin pembangkit listrik tenaga air di Waduk Cirata, Jatiluhur, dan Waduk Saguling. Dana miliaran rupiah harus ditambahkan setiap tahun guna menekan dampak pencemaran itu.
Diperparah oleh keberadaan 72.000 keramba jaring apung di tiga waduk itu, dari idealnya hanya 6.000 keramba, pasokan air bagi 420.000 hektar sawah di Kabupaten Indramayu, Subang, Karawang, dan Bekasi ikut terancam. Bahaya mengonsumsi ikan dan beras yang diairi Citarum pun muncul.
Data dari Kodam III Siliwangi, ikan di Citarum tercemar logam berat, jauh dari ambang normal. Padahal, ikan itu setiap hari dipasarkan dan dikonsumsi warga Jabar dan DKI Jakarta.
”Secara visual, tanaman padi yang tumbuh tampak normal saja. Rasa nasi yang dihasilkan juga sama. Namun, di dalamnya terkandung bahan kimia berbahaya bagi tubuh,” ujar Rosadi, tokoh masyarakat sekitar Waduk Saguling, Bandung Barat, sekaligus Koordinator Jejaring Keswadayaan Masyarakat Menjaga Mutu Air Sungai.
Akan tetapi, semuanya seperti angin lalu. Hingga bertemu Laut Jawa di Muara Gembong, Bekasi, Citarum masih mengenaskan. Sedimentasi semakin tinggi. Abrasi juga terjadi di sejumlah titik. Ikan mati di sekitar Muara Gembong lazim terjadi. Kesejahteraan masyarakat pun timpang dibandingkan daerah selatan, seperti Cikarang atau Tambun. Kebanyakan warga Muara Gembong sulit mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jabar Dadan Ramdhan mengatakan, berbagai ironi itu membuktikan Citarum tidak tertangani. Nyaris 40 tahun usaha pemulihan dilakukan, Citarum masih membawa duka.
(CHE/SEM/BKY/MED)