Unjuk Rasa di Iran Tentukan Masa Depan Pemerintahan Rouhani
Iran secara mengejutkan dilanda unjuk rasa terus-menerus hingga enam hari berturut-turut sejak 28 Desember dan terus berlangsung hingga Selasa (2/1). Unjuk rasa itu bergerak begitu cepat merambah 20 kota di seantero ”Negeri Para Mullah”. Hingga Senin malam, sedikitnya 22 korban tewas dalam unjuk rasa tersebut.
Semakin mengejutkan pula, unjuk rasa yang semula meletup dari kota Mashhad, sekitar 891 kilometer timur kota Teheran, mulai Sabtu lalu merambah kota Teheran dan Qom. Dua kota ini dikenal sebagai basis kekuatan politik dan agama rezim Velayat-e Fakih yang digagas Pemimpin Revolusi Iran Ayatollah Imam Khomeini.
Secara tradisi politik dan keamanan bagi rezim Iran, kota Teheran dan Qom adalah garis merah. Dua kota itu menjadi pertaruhan masa depan sistem politik Velayat-e Fakih di Iran. Karena itu, keamanan Teheran dan Qom berada di bawah kontrol langsung pasukan elite Garda Revolusi yang berada di bawah komando langsung Pemimpin Spiritual Iran Ali Khamenei.
Kota Teheran sebagai ibu kota negara tentu sangat penting dan strategis di mata rezim Iran saat ini karena merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi negara. Adapun kota Qom, sekitar 146 kilometer selatan kota Teheran, yang selama ini dikenal basis pendidikan mazhab Syiah, naik pamornya setelah revolusi tahun 1979. Semua tokoh revolusi, dari Imam Khomeini hingga Presiden Hassan Rouhani, mendapat pendidikan di kota itu. Bahkan, konsep politik Velayat-e Fakih, yang menjadi sistem politik di Iran, saat ini dilahirkan dan dimatangkan di kota Qom.
Suatu hal yang hampir pasti, pihak yang paling dikejutkan dan sekaligus terpukul oleh aksi unjuk rasa itu adalah pemerintahan Presiden Rouhani yang terpilih untuk periode kedua dalam pemilu presiden, Mei 2017.
Rouhani, yang secara ideologi politik dari kubu reformis, kini dalam posisi sangat terjepit. Rouhani, sejak masa kampanye pemilu presiden periode pertama tahun 2013 hingga kampanye pemilu periode kedua tahun 2017, sangat mengandalkan jualan program perbaikan kondisi ekonomi yang sangat buruk pada era presiden dari kubu konservatif, Mahmoud Ahmadinejad.
Optimisme membara pada Rouhani dan jajaran pemerintahannya untuk mewujudkan program perbaikan kondisi ekonomi ketika tercapai kesepakatan nuklir dengan Barat, Juli 2015. Rouhani sangat berharap kesepakatan nuklir itu segera disusul pencabutan embargo ekonomi Barat pada Iran yang berlangsung sejak revolusi 1979 dan sangat mencekik ekonomi negara itu.
Rouhani telah mempertaruhkan semua kekuatannya untuk menjinakkan kubu konservatif Iran agar tidak menggagalkan kesepakatan nuklir tersebut. Tidak sedikit faksi dalam kubu konservatif, termasuk para jenderal dalam satuan Garda Revolusi, menolak kesepakatan nuklir itu.
Akan tetapi, ternyata hasil kesepakatan nuklir tersebut tidak segera berdampak positif terhadap kondisi ekonomi Iran karena negara-negara Barat lamban atau belum bersedia mencabut embargo ekonomi secara keseluruhan atas Iran. Barat, misalnya, masih menolak mencabut embargo di sektor perbankan dan penanaman investasi di Iran. Posisi Rouhani kian sulit, menyusul langkah Presiden AS Donald Trump yang sering mengkritik, bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan nuklir itu.
Dari sini, posisi politik Rouhani sesungguhnya mulai goyah dalam menghadapi lawan politiknya dari kubu konservatif dan juga rakyat Iran. Menurut laporan dari Iran terakhir ini, sudah mulai sering terdengar suara kekecewaan atas pemerintahan Rouhani dan kesepakatan nuklir karena tidak membawa hasil apa-apa atas negara itu.
Gerakan kaum pekerja
Meletupnya unjuk rasa di Iran saat ini, yang ternyata digerakkan kelas kaum pekerja, merupakan refleksi rasa putus asa rakyat Iran terhadap harapan dan janji akan perbaikan kondisi ekonomi, terutama setelah kesepakatan nuklir. Melihat kelas masyarakat, yakni kaum pekerja, yang menggerakkan unjuk rasa itu, bisa disebut gerakan mereka semula murni dilatar belakangi motif ekonomi. Apalagi, unjuk rasa itu bergerak dari kota-kota pinggiran yang jauh dari Teheran, seperti kota Mashhad, Isfahan, dan kota-kota lain yang secara ekonomi jauh berada di bawah Teheran.
Hal itu berbeda sekali dengan unjuk rasa tahun 2009, yang dikenal dengan sebutan revolusi hijau, sebagai protes atas dugaan adanya kecurangan dalam pemilu presiden pada tahun itu yang dimenangkan kembali oleh Ahmadinejad. Unjuk rada tahun 2009 meletup dari Teheran, lalu menyebar ke kota lain dan digerakkan kaum kelas menengah perkotaan dengan motif politik.
Namun, sudah lumrah di mana pun, sebuah aksi besar, seperti unjuk rasa, di Iran saat ini sering dipolitisasi kekuatan politik. Inilah yang terjadi di Iran saat ini ketika unjuk rasa itu mulai merambah Teheran dan Qom. Yel-yel yang menuntut Rouhani, bahkan Pemimpin Spiritual Ali Khamenei, agar turun mulai terdengar dari para pengunjuk rasa itu.
Rouhani pun menyadari adanya politisasi unjuk rasa Iran saat ini dalam upaya melemahkan pemerintahannya. Itulah yang membuat Rouhani belum meminta Garda Revolusi turun tangan, tetapi sebaliknya ia mengancam akan menurunkan jutaan warga tandingan untuk mendukung pemerintahnya dan revolusi Iran. Rouhani khawatir, jika Garda Revolusi turun tangan meredam aksi unjuk rasa, kubu konservatif akan mengendalikan keadaan dan kubu reformis terpinggirkan. Garda Revolusi dikenal dekat dengan kubu konservatif.
Sebaliknya, pihak Garda Revolusi juga masih enggan turun tangan. Jubir Garda Revolusi, Brigadir Jenderal Ramadan Sharif, menyatakan, pihaknya masih belum melihat ada keharusan yang memaksa satuan Garda Revolusi turun menghadapi pengunjuk rasa.
Di sini terlihat ada tarik-menarik antara kubu Rouhani dan kubu konservatif/Garda Revolusi terkait unjuk rasa itu. Dari sini pula bisa dilihat, kubu konservatif dan Garda Revolusi ikut bermain dalam unjuk rasa itu guna melemahkan Rouhani sehingga kubu konservatif kembali bisa melenggang dalam pemilu presiden dan parlemen mendatang.
Hal ini sangat berbeda ketika Garda Revolusi langsung turun tangan meredam aksi unjuk rasa pada tahun 2009. Tidak menutup kemungkinan pula, ada unsur asing yang ikut bermain untuk memperumit dan semakin mengacaukan Iran.