Mantan KSAU Samakan Heli AW 101 dengan Mobil Ferrari
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna dalam pengembangan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101. Agus menganalogikan pembelian helikopter AW 101 di zamannya memimpin TNI AU itu dengan pembelian mobil Ferrari.
Sebagaimana halnya mobil Ferrari, helikopter AW 101 itu telah dilengkapi dengan berbagai suku cadang dan teknologi tinggi yang penambahan fiturnya disesuaikan dengan peruntukan kendaraan itu. Menjawab pertanyaan wartawan, Rabu (3/1), di Jakarta, seusai diperiksa sekitar tiga jam oleh penyidik KPK, Agus mengatakan, helikopter AW 101 itu telah dilengkapi dengan fitur-fitur canggih.
Namun, penjelasan itu belum menjawab dugaan adanya penggelembungan harga helikopter tersebut yang, antara lain, dipicu karena helikopter itu tidak sesuai dengan spesifikasi.
”Saya istilahkan begini. Saya datang ke showroom mobil Ferrari. Lalu saya tanyakan kepada penjual, mobil ini buat apa? Dijawab oleh penjual, oh ini untuk jalan-jalan, Pak. Tapi, saya ingin suatu saat mobil ini bisa untuk balapan atau trek-trekan. Lalu orang di showroom mengatakan, bisa Pak kalau ingin buat balapan harus ditambah wiring tambahan. Bodinya nanti saya tambah spoiler. Tapi, kalau Bapak buat balapan, sasisnya harus bapak ganti. Kalau buat basah, bannya ini, kalau buat kering bannya lain lagi,” kata Agus menganalogikan sejumlah penambahan fitur dan spesifikasi di helikopter AW 101.
Saya istilahkan begini. Saya datang ke showroom mobil Ferrari. Lalu saya tanyakan kepada penjual, mobil ini buat apa? Dijawab oleh penjual, oh ini untuk jalan-jalan, Pak. Tapi, saya ingin suatu saat mobil ini bisa untuk balapan atau trek-trekan. Lalu orang di showroom mengatakan, bisa Pak kalau ingin buat balapan harus ditambah wiring tambahan. Bodinya nanti saya tambah spoiler.
Namun, Agus menolak merinci lebih jauh penambahan fitur apa saja yang membuat harga helikopter itu melambung.
”Jadi, di mobil (helikopter) itu sudah dipasang macam-macam itu, wiring dan segala macamnya. Tetapi, sebagai prajurit, saya tidak boleh mengatakannya karena itu rahasia. Alat pertahanan senjata untuk militer itu yang pegang operasionalnya pasti prajurit. Sebab, ke mana-mana prajurit itu memegang sumpah prajurit. Sumpah prajurit yang nomor lima itu bunyinya memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya,” kata Agus.
Agus pun membantah ada korupsi di dalam pengadaan helikopter AW 101. Menurut dia, hanya KPK yang bisa menentukan ada atau tidaknya korupsi di dalam pembelian helikopter itu.
Sebagai prajurit, Agus mengatakan, dirinya tidak boleh berbicara sembarangan karena harus memegang teguh sumpah prajurit. Sekalipun sudah pensiun, sumpah prajurit itu terus dipegangnya ke mana-mana.
”Yang lain-lainnya sudah saya serahkan semuanya kepada pengacara saya. Mereka ini yang paham betul,” katanya.
Pemeriksaan terhadap Agus ini pertama kali dilakukan penyidik pada KPK. Pada pemanggilan 15 Desember, Agus tidak memenuhi pemanggilan KPK dengan alasan sedang berada di luar negeri. Laporan dari POM TNI menyebutkan Agus sedang umrah.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Agus diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Irfan Kurnia Saleh yang merupakan pemimpin PT Diratama Jaya Mandiri. Irfan diduga mengatur proses lelang sehingga perusahaannya dipastikan memenangi lelang.
Irfan diketahui menaikkan nilai kontrak pembelian helikopter senilai Rp 224 miliar, yakni dari sebelumnya Rp 514 miliar menjadi Rp 738 miliar. Ada potensi kerugian negara lebih dari Rp 200 miliar yang timbul akibat kenaikan harga itu.
Febri mengatakan, diperlukan komitmen yang tinggi dari Panglima TNI untuk membongkar korupsi helikopter AW 101. Presiden Joko Widodo sejak awal memberikan perhatian lebih pada penanganan kasus korupsi alat utama sistem persenjataan itu.
”Dalam penyidikan kasus ini, KPK terus berkoordinasi dengan POM TNI sebab melibatkan bukan hanya pelaku atau tersangka dari kalangan sipil, melainkan juga militer,” kata Febri.
Hingga saat ini sudah ada empat orang dari kalangan militer yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yakni Marsekal Pertama FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan barang dan jasa; Letnan Kolonel WW, pejabat pemegang kas (Pekas); Pembantu Letnan Dua SS, staf Pekas yang menyalurkan dana kepada pihak-pihak tertentu, serta Marsekal Muda SB yang dalam perkara ini menjabat Asisten Perencanaan KSAU. Dari pihak sipil, KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Irfan.
Hingga saat ini sudah ada empat orang dari kalangan militer yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
POM TNI AU juga masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang sedang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan untuk tersangka yang ditangani TNI.
Dalam kasus ini, KPK dan POM TNI menduga ada penggelembungan harga yang dilakukan Irfan dan pengaturan lelang pengadaan helikopter senilai Rp 761,2 miliar per unit itu. Lebih dari 13 saksi telah diperiksa KPK dan POM TNI untuk penyidikan kasus korupsi pengadaan AW 101 yang diperkirakan merugikan negara Rp 220 miliar.
Perkara ini bermula dari kedatangan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke kantor KPK, Mei 2017. Gatot mengungkapkan adanya dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter AW 101.
Gatot mengungkapkan, ada potensi kerugian negara Rp 220 miliar dalam pengadaan alutsista itu. Penyidik KPK dan POM TNI juga menyita uang dari PT Diratama Jaya Mandiri selaku penyedia barang sebesar Rp 139 miliar.
Sejak awal, pengadaan helikopter AW 101 itu sudah menimbulkan kecurigaan karena alutsista itu telah dibatalkan atau ditolak Presiden Joko Widodo.
Awalnya pengadaan helikopter itu diperuntukkan bagi helikopter kepresidenan. Namun, setelah ditolak, ternyata pengadaan helikopter jalan terus. Setelah beberapa waktu baru diketahui ternyata helikopter itu tetap dibeli dan dijadikan helikopter SAR Tempur di TNI AU.
Marsekal Muda SB diduga melakukan insubordinasi atau sikap tidak taat kepada pimpinan. SB diduga tetap memerintahkan bawahannya untuk melanjutkan pengadaan helikopter sekalipun sudah ada instruksi dari Presiden selaku panglima tertinggi TNI untuk menghentikannya.
Khairul Fahmi, peneliti pada Institute for Security and Strategic Studies, mengatakan, ada atau tidaknya kerugian negara dalam kasus ini masih menunggu hasil penghitungan BPK. Namun, ia berharap penyidikan kasus ini tidak terbatas pada Angkatan Udara saja.
Sebab, Agus Supriatna sebagai KSAU ketika itu hanyalah kuasa pengguna anggaran yang merupakan pejabat di tataran teknis. Adapun keputusan untuk membeli helikopter itu ada di tangan pembuat kebijakan.
Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, dan Menteri Sekretaris Negara adalah tiga pihak lainnya yang harus juga dimintai keterangan oleh KPK dalam penyidikan kasus ini guna membuat terang siapa sebenarnya yang memutuskan pembelian helikopter itu.
Dugaan adanya kerugian negara dalam kasus ini juga harus dibuktikan dulu dengan audit dari BPK.
Komandan Pusat POM TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko sebelumnya mengatakan, pengusutan atas dugaan korupsi dalam pembelian helikopter AW 101 ini akan jalan terus. Bahkan, ada kemungkinan tersangka akan bertambah.