Sagu yang Menjaga Pangan Siberut
Sagu adalah kehidupan warga Mentawai di Pulau Siberut, Sumatera Barat. Selain sebagai makanan pokok, sagu juga simbol sifat egaliter, alat tukar, dan pembayar maskawin. Kekayaan pangan Nusantara itu tumbuh subur di Siberut hingga kini.
Kompas berkesempatan mengikuti warga Mentawai mengolah tanaman sagu, Sabtu (25/11). Menumpang dua sampan berukuran panjang 4 meter dan lebar 60 sentimeter, belasan warga bergerak pelan menyusuri Sungai Muara Siberut di Dusun Poro, Desa Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB. Rombongan menuju hutan sekitar satu kilometer dari Dusun Poro. Sampan digunakan karena tidak ada jalur darat ke lokasi itu.
Lokasi pengambilan sagu berada sekitar 100 meter dari tepi sungai. Di situ, sebatang pohon sagu sepanjang lebih dari 10 meter telah ditebang. Nikodemus Sabalukkungan (40) dan Agustinus Durai Saumanuk (50), anggota rombongan, langsung mengambil peralatan.
Sore itu, mereka hanya mengolah 1 meter batang pohon sagu. ”Jika mengolah satu pohon sekaligus, dibutuhkan waktu berhari-hari. Jadi, sehari paling banyak 1 hingga 2 meter saja,” kata Agustinus.
Pengolahan sagu dimulai dengan menandai batang sagu dengan garis setengah lingkaran. Menggunakan kapak, warga mencungkil kulit pohon mengikuti garis yang dibuat. Kulit kayu yang dicungkil tidak dibuang, tetapi dijadikan wadah untuk menampung parutan sagu.
Pengolahan sagu dimulai dengan menandai batang sagu dengan garis setengah lingkaran. Menggunakan kapak, warga mencungkil kulit pohon mengikuti garis yang dibuat.
Untuk mengambil sagu, Nikodemus dan Agustinus menggunakan alat berbentuk parut sepanjang 1 meter yang disebut gagaji sagu. Alat itu ditarik maju mundur hingga sagu dalam bentuk serbuk-serbuk kasar terkumpul di wadah.
Seusai memarut, mereka mengambil serbuk-serbuk itu lalu dibawa ke tempat pengolahan yang disebut pasi dereat sagu. Alat ini berbentuk panggung di atas sebuah kolam dengan empat tiang penyangga. Antara satu tiang dan lainnya dipasang empat batang kayu.
Di atas batang kayu itu, diletakkan saringan. Di bawahnya dipasang daun-daun sagu yang disusun sedemikian rupa untuk meneruskan air sagu ke saluran berbentuk setengah lingkaran. Di bawahnya terdapat penyaring kecil dan penampung terakhir.
Sagu lalu diletakkan dalam balok saringan lalu disiram air, diinjak-injak hingga keluar sarinya. Sesekali, dengan menggunakan gayung yang juga terbuat dari daun sagu, air disiramkan kembali. Langkah itu diulang beberapa kali sampai sari sagu tidak tersisa.
Sagu lalu diletakkan dalam balok saringan lalu disiram air, diinjak -injak hingga keluar sarinya. Sesekali, dengan menggunakan gayung yang juga terbuat dari daun sagu, air disiramkan kembali.
Perlu waktu tiga jam hingga sari pati sagu yang berupa cairan kental berwarna putih lembut bisa diambil. Cairan kental itu bisa langsung dibawa pulang untuk dijemur dan dikonsumsi. Namun warga juga menyimpannya dalam wadah khusus yang disebut tampri yang dibuat dari daun sagu.
Tampri itu disimpan di dalam kolam air di bawah alat pembuat sagu. Satu tampri dapat memenuhi kebutuan pangan satu bulan bagi satu keluarga beranggota tiga orang.
”Kalau dijemur dan disimpan di rumah, tidak akan bertahan lama. Tetapi, kalau disimpan di tampri, lalu dimasukkan ke dalam air, bisa sampai satu tahun,” kata Vincent Sabulukkungan (41), warga yang turut dalam rombongan itu.
Sagu dikonsumsi di Siberut untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Pangan Nusantara ini disiapkan warga perempuan dengan cara dibakar. Sebelum dibakar, sagu dibungkus dengan daun sagu (sagu kapurut) atau bambu (sagu kaobbuk). Sagu dimakan dengan lauk seperti ikan dan babi.
Tidak ada catatan pasti sejak kapan orang Mentawai di Siberut mengenal sagu. Namun, ada cerita rakyat yang hidup di sana. Stefanus Teu Sanang Sakaliau (59), salah satu sikerei atau pemimpin spiritual dan ahli pengobatan tradisional di Dusun Puro, menceritakan, awalnya ada seorang anak yang terus menangis meminta sagu kepada orangtuanya.
Marah dengan tingkah anaknya itu, orangtua itu menaruh anaknya di atas rawa di luar rumah mereka. Ajaib, dari mulut anak tersebut, muncul pohon sagu dan anak itu menjelma menjadi pohon sagu.
Tumbuh subur
Pohon sagu bisa ditemui di hutan dan sepanjang tepian sungai dari hulu hingga hilir. Jika bersampan dari Muara Siberut menuju hulu sungai, sepanjang kiri kanan pohon sagu tumbuh subur.
Kepala Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Nikodemus Sagulu (41) mengatakan, dalam satu hektar lahan bisa tumbuh sekitar 500 batang sagu. Warga menanam dan memelihara tanaman itu karena itulah makanan pokoknya.
”Satu batang pohon sagu baru bisa diolah setelah berusia 15 tahun. Satu pohon biasanya diolah selama satu minggu dengan produksi 12 karung atau 500 kilogram sagu basah. Itu cukup untuk kebutuhan selama tiga bulan,” kata Nikodemus.
Setiap keluarga memiliki 10 bidang. Satu bidang atau istilah mereka satu sangamata berisi 10 rumpun sagu. Satu rumpun memiliki 10 bantang sagu. Jadi, satu keluarga bisa memiliki 1.000 batang sagu dengan lokasi yang menyebar karena tanah ulayat mereka tidak di satu kawasan.
Setiap keluarga memiliki 10 bidang. Satu bidang atau istilah mereka satu sangamata berisi 10 rumpun sagu. Satu rumpun memiliki 10 bantang sagu.
Melimpahnya sagu membuat mereka tidak pernah menghadapi persoalan pangan, termasuk saat harga beras naik. Beras di Siberut hanyalah makanan pendamping dengan konsumsi sekitar 15 kilogram per bulan per keluarga.
Selain untuk pangan, bagian-bagian pohon sagu bisa digunakan, seperti akar untuk obat, batang untuk makanan ternak, kulit kayu untuk bahan bakar, dan daun untuk atap. Sagu juga menjadi alat tukar. Saat akan pesta, sagu bisa ditukar dengan babi atau ayam.
Sagu bahkan menjadi bagian maskawin. Pengantin laki-laki biasanya menyerahkan sepuluh rumpun sagu dalam satu bidang sebagai maskawin. ”Penggunaan sagu sebagai maskawin menjadi tanda betapa berharganya sagu bagi kami,” kata Nikodemus.
Sagu juga simbol egaliter. Saat mengetahui tetangga mereka tidak memiliki sagu atau belum mengolah sagu, mereka akan berbagi. Itu berlaku tidak hanya untuk sesama suku, tetapi juga suku lainnya.
Kepala Divisi Kajian Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Tarida Hernawati, pendamping warga Mentawai di Siberut, mengatakan, ketahanan pangan Mentawai memang telah mapan sejak dulu. Dalam kondisi apa pun, mereka tidak akan pernah menghadapi krisis pangan, termasuk saat bencana alam.
”Pemerintah seharusnya memaksimalkan potensi sagu. Misalnya, bagaimana membuat produk turunan dengan teknologi tepat guna. Sayangnya, pemerintah justru membuat kebijakan baru, seperti mendorong cetak sawah, bahkan memberi izin eksploitasi terhadap hutan Siberut yang bisa mengancam sagu,” kata Tarida.
Ketahanan pangan Mentawai memang telah mapan sejak dulu. Dalam kondisi apa pun, mereka tidak akan pernah menghadapi krisis pangan, termasuk saat bencana alam.
Salah satu eksploitasi hutan yang saat ini dikhawatirkan adalah keluarnya surat persetujuan prinsip izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) seluas 20.030 hektar yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2 Mei 2017 lalu.
Gubernur Sumbar juga telah menerbitkan izin lingkungan HTI pada perusahaan dengan luas yang disetujui sesuai Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL) menjadi 19.876,59 hektar. Diduga, kawasan yang diizinkan itu ada yang tumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat seluas 3.000 hektar.
Maka, kata Vincent Sabulukkungan (41), warga Desa Puro lainnya, segala macam eksploitasi hutan di Siberut alih-alih mendatangkan manfaat, justru salah satunya mengancam keberadaan sagu sebagai makanan pokok mereka.