Mengajak Sang Legenda Menari
Sejak diluncurkan perdana di Tanah Air, 9 Juni 2017 lalu, Honda Civic Hatchback sudah memancing banyak rasa penasaran. Kampanye promosi dengan slogan “Drive Sexiness” begitu menonjolkan kesan sporty dan kegembiraan mengemudi dari mobil yang tampangnya memang sexy ini.
Dalam beberapa kesempatan setelah peluncuran itu, Kompas belum mendapat peluang untuk benar-benar menjajal Civic Hatchback (HB) generasi ke-10 ini di medan yang sesungguhnya. Sesi uji kendara untuk media di seputaran kawasan Senayan, Jakarta Pusat, pertengahan Juni lalu, sama sekali belum membuktikan rasa sesungguhnya mobil ini (Kompas, 4/7).
Sampai akhirnya gayung bersambut akhir September lalu untuk membuat janji dengan PT Honda Prospect Motor (HPM) selaku agen pemegang merek mobil Honda di sini. Disepakati waktu 17-19 Oktober untuk menjajal Civic bermesin 1.5 liter VTEC Turbo ini dalam medan yang sesungguh-sungguhnya.
Otak pun mulai berputar, ke mana sebaiknya mobil berwarna merah menyala ini dibawa agar segenap kemampuan dan fitur-fitur andalannya dapat dijajal sepenuhnya. Rute dalam kota saja tak cukup rasanya untuk itu.
Sampai akhirnya sebuah obrolan dengan teman lama mengingatkan akan jalanan berkelok-kelok membelah bukit dan lembah di kawasan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ya, kombinasi tikungan-tikungan tajam dan tanjakan serta turunan di kawasan itu akan membuktikan apakah Civic baru ini benar-benar mobil yang menyenangkan untuk diajak “menari” di jalanan.
Nyaris instingtif
Maka, Selasa (17/10) siang kami pun berangkat dari tempat parkir kantor di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat. Secercah senyum langsung tersungging begitu mobil dari varian E CVT (tipe tertinggi) ini mulai berjalan. Betapa tidak, begitu badan masuk ke kabin dan duduk di kursi semi-bucket berlapis kulit hitam yang bisa diatur secara elektronik, seolah-olah indra langsung menyatu dengan mobil.
Bahkan sebelum mobil keluar dari tempat parkir, feeling mengemudi mobil berukuran panjang 4,501 meter dan lebar 2,075 meter ini sudah didapatkan secara presisi. Kendali atas gerak mobil bisa dikatakan nyaris instingtif, berkat perpaduan posisi tempat duduk, posisi dan gerak kemudi dan relasinya dengan gerak roda, hingga akselerasi spontan tetapi halus yang dihasilkan transmisi CVT dengan Earth Dreams Technology-nya.
Mobil pun mulai diarahkan menembus sedikit kemacetan di Slipi sebelum memasuki ruas tol dalam kota yang tak terlalu padat siang itu. Beruntung kondisi jalan relatif lancar itu ditemui di sepanjang perjalanan melintasi Tol Jakarta-Cikampek dan Cikampek-Purwakarta.
Performa mesin di trek lurus dan rata pun bisa dieksplorasi. Tenaga mesin seolah selalu penuh hampir di setiap rentang putaran mesin, sehingga selalu siap sewaktu-waktu dibutuhkan.
Wajar saja karena lembar spesifikasi mobil mencantumkan, torsi maksimum 220 Nm (Newton meter) tersedia di rentang putaran mesin 1.700-5.500 rpm, yang kira-kira sudah mencakup hampir semua kebutuhan mengemudi sehari-hari. Sementara tenaga maksimum 173 PS bisa dipetik pada putaran 5.500 rpm.
Namun ada satu hal yang agak mengusik saat beberapa kali mobil harus melambat di tengah kepungan truk-truk berukuran besar di jalan tol ini. Gemuruh diesel truk-truk itu terdengar cukup jelas, sehingga kadang mengganggu obrolan di dalam mobil. Pun demikian dengan suara telapak ban standar berukuran 215/50 R17 dan tiupan angin saat mobil melaju kencang, terdengar cukup jelas.
Usai istirahat makan siang untuk menyantap Sate Maranggi Hj Yetty khas Purwakarta, mobil kembali dipacu melewati sepenggal Tol Purbaleunyi sebelum keluar di Gerbang Tol Jatiluhur. Sengaja diilih rute Purwakarta-Jalancagak menuju ke Ciater, untuk memaksimalkan pengalaman mengemudi di rute yang bervariasi.
Mengingat jalan yang ada hanya terdiri atas dua lajur yang dipakai untuk dua arah, kadang-kadang mobil harus melambat karena ada truk yang berjalan pelan atau bus antarkota yang berhenti menaikturunkan penumpang. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, kadang-kadang transmisi CVT-nya terasa agak kagok mencari rasio paling pas untuk menjaga momentum laju mobil.
Menari di aspal
Selebihnya mobil melaju mulus tanpa kendala. Beberapa kali mobil melindas lubang atau bagian jalan yang tidak rata. Suspensi meredam dengan cukup baik, walau sedikit ada kesan bantingan yang agak keras. Wajar saja mengingat ini adalah mobil yang menonjolkan dinamika pengemudian dan kesan sporty.
Dan itu terbukti begitu kami memasuki Jalan Raya Ciater-Subang yang beraspal mulus tetapi penuh kelokan-kelokan tajam. Suspensi terasa rigid dan mantap saat diajak melibas tikungan-tikungan itu. Nyaris tak terasa gejala limbung alias body roll saat rem sengaja tak diinjak untuk melibas beberapa tikungan yang sepi.
Keesokan harinya, performa jalanan ini kembali diuji maksimal seharian penuh di jalur Ciater-Lembang via Gunung Tangkuban Parahu. Kombinasi antara pemandangan perkebunan teh nan hijau, jalanan berkelok-kelok yang mulus, dan dinamika mobil menyajikan sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan.
Siang hari kami memutuskan memasuki kawasan wisata Gunung Tangkuban Parahu. Memang kami sudah cukup lama tak mengunjungi tujuan wisata yang legendaris itu.
Namun begitu memasuki gerbang loket tiket, hujan turus dengan deras. Namun kondisi ini justru memberi peluang untuk menguji mobil di medan basah. Dan performa mobil seolah tak terusik, rasa percaya diri tetap menonjol saat mobil diajak menarik di tikungan-tikungan basah.
Begitu asyiknya membawa Civic Hatchback ini sampai kadang lupa melirik head unit mobil seharga Rp 438 juta (on the road, Jakarta) ini yang terkesan seperti barang aftermarket yang dipasang dadakan. Dasbor yang didominasi bahan plastik keras juga terlupakan.
Menari bersama generasi ke-10 mobil yang telah melegenda di Tanah Air ini sudah cukup untuk mengembalikan lagi kenikmatan berkendara yang murni. Itu pula yang mungkin dipikirkan para perancangnya, termasuk dengan meniadakan tutup cover mesin dari plastik dan membiarkan mesin dalam kondisi "telanjang".
Mari lah kembali ke sensasi murni. Mari menari! (DHF)