Pedagang Trompet dan Kembang Api Lesu
Minggu (31/12) siang itu, Said (52), pedagang trompet, tampak begitu serius memperbaiki beberapa barang dagangannya yang mulai terkelupas hiasannya.
Tangan kirinya memegangi trompet, sedangkan tangan kanannya membalutkan kertas emas ke bagian-bagian trompet yang terkelupas.
Said dibantu oleh istrinya, Minah (48), kala berjualan trompet siang itu. Saat Said tengah fokus memperbaiki barang dagangannya, Minah sesekali meniup trompet dagangan mereka untuk menarik minat pembeli.
Namun, jarang sekali orang yang berlalu lalang di tempat mereka berjualan itu berhenti dan membeli trompet mereka.
Di bawah jalan layang itu membentang Jalan Petongkangan-Jalan Petak Baru. Kawasan itu memang merupakan pasar tumpah akibat perkembangan pesat Pasar Pagi.
Suami istri itu berdagang di bawah Jalan Layang Pasar Pagi, Jakarta Barat. Di bawah jalan layang itu membentang Jalan Petongkangan-Jalan Petak Baru. Kawasan itu memang merupakan pasar tumpah akibat perkembangan pesat Pasar Pagi.
Selain Said dan Minah, masih banyak pedagang kaki lima lainnya berderet di sepanjang jalan itu. Mereka memanfaatkan trotoar dan bahu jalan untuk berjualan. Mereka berada di kiri dan kanan jalan sepanjang 300-450 meter itu.
Di kanan dan kiri jalan itu, trompet dan kembang api terlihat mencolok menarik mata para pengunjung mengingat hari itu menjelang perayaan malam Tahun Baru 2018.
Setiap berjalan sejauh 200 meter setidaknya ada sekitar 10 pedagang kembang api ataupun trompet.
Jalan itu padat merayap. Pengunjung menenteng barang belanjaan yang dibungkus plastik hitam menyatu dengan mobil dan sepeda motor yang melintas di jalan itu.
Bunyi klakson mobil bersaing dengan bunyi trompet yang ditiup para pedagang saling beradu memekakkan telinga pengunjung.
Meski suasana tampak begitu riuh, perekonomian para pedagang trompet dan kembang api itu sedang lesu.
Mereka mengaku penjualan pada tahun baru kali ini menurun hingga mencapai lebih dari 50 persen daripada tahun lalu.
”Tahun ini lebih banyak bengongnya daripada melayani pembeli,” ujar Minah saat mengawasi barang dagangannya. ”Agak gelap ini buat jualan trompet tahun ini.”
Said membenarkan ucapan Minah. Tahun lalu, ia merasa kewalahan dalam berjualan. ”Kami sampai kekurangan barang. Orang yang minta banyak sekali,” kata Said.
Sepanjang siang itu, mereka berdua baru menjual dua lusin trompet. Dari dua lusin trompet itu mereka mendapatkan Rp 220.000.
Sekarang, mau jualan sampai sore juga belum tentu dapat sebanyak itu. Bisa dapat Rp 500.000 saja sudah bisa sangat bersyukur.
Padahal, tahun lalu ia mengaku bisa mendapatkan hingga Rp 600.000 meski baru setengah hari berjualan.
”Sekarang, mau jualan sampai sore juga belum tentu dapat sebanyak itu. Bisa dapat Rp 500.000 saja sudah bisa sangat bersyukur,” kata Said.
Satu trompet yang dijual Minah dan Said dihargai Rp 5.000 hingga Rp 20.000.
Harga yang diberikan itu menyesuaikan dengan ukuran trompet dan bahannya. Semakin murah, bahan kertasnya semakin tipis dan ukurannya lebih kecil.
Penurunan penjualan juga dialami oleh penjual trompet lainnya, yaitu Sadi (29). Bagi Sadi, ini adalah tahun terberat baginya untuk menjual trompet.
”Wah, kalau mau jujur, ini cukup suram buat jualan trompet,” ujar Sadi lirih.
Sadi menceritakan, ia bisa meraup laba kotor hingga Rp 8 juta dalam waktu satu bulan hanya dengan berjualan trompet pada Desember 2016.
”Tahun ini Rp 4 juta pun tak sampai. Penjualan sangat menurun tahun ini,” kata Sadi.
Baik Sadi, Minah, maupun Said kurang mengetahui apa alasan penurunan penjualan itu.
Ketiganya memiliki dugaan yang sama tentang penurunan penjualan, yaitu adanya jenis trompet baru yang dapat dibunyikan dengan tabung udara.
Ketiganya memiliki dugaan yang sama tentang penurunan penjualan, yaitu adanya jenis trompet baru yang dapat dibunyikan dengan tabung udara.
Trompet itu dibanderol dengan harga yang sama dengan yang dijual oleh mereka bertiga, yaitu Rp 20.000.
Pedagang trompet lain pun terlihat lebih banyak menjual trompet yang menggunakan tabung udara sebagai peniupnya.
Dari 10 penjual trompet, setidaknya sembilan penjual di antaranya menjual trompet jenis tersebut.
Kikin (45), pedagang trompet, menyatakan memilih jenis trompet itu karena suaranya lebih keras dan lebih banyak peminatnya.
”Ini pada cari yang kenceng-kenceng suaranya. Enggak perlu ditiup juga,” ujar Bidin.
Rudi (35), seorang pengunjung, menyetujui pernyataan Bidin. Rudi mengatakan, anaknya menyukai yang suaranya keras untuk menambah keriuhan malam tahun baru.
Rudi mengatakan, anaknya menyukai yang suaranya keras untuk menambah keriuhan malam tahun baru.
”Biar makin ramai dan makin seru. Cari yang kenceng,” kata Rudi sembari terkekeh.
Sementara itu, di sudut lain jalan itu, Asep (37), pedagang kembang api, juga mengeluhkan penjualan yang menurun.
Penurunan penjualan tidak hanya dirasakan tahun ini. Penjualan kembang apinya menurun sejak 2014.
”Waktu 2010 sampai 2014 itu masih lumayan sih. Barang dagangan bisa habis. Sekarang bisa turun sekitar 70 persen,” kata Asep.
Harga kembang api yang dijual Asep cukup beragam. Ia menjual kembang api dari yang harganya Rp 10.000 hingga Rp 1,5 juta.
Semakin mahal harga kembang api, Asep mengklaim, ledakannya akan semakin indah dan berwarna-warni. Kembang api yang paling laku itu yang berharga Rp 50.000.
Keunggulan dari kembang api itu adalah memiliki 10 kali tembakan bola api.
Asep mencontohkan, turunnya penjualan tampak pada jumlah kembang api termahal yang ia jual tahun ini.
Sejak dua minggu lalu berjualan, ia baru berhasil menjual tujuh kembang api yang berharga Rp 1,5 juta itu.
Jika dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya, ia mampu menjual hingga 50 kembang api yang termahal itu.
Hingga pukul 15.00, pasar tumpah di sekitaran Pasar Pagi dan Asemka, Jakarta Barat, masih ramai.
Pedagang kembang api dan trompet yang menjamur masih menawarkan barang dagangannya secara gigih kepada para pengunjung yang lalu lalang.
Pedagang kembang api dan trompet yang menjamur masih menawarkan barang dagangannya secara gigih kepada para pengunjung yang lalu lalang.
Senyum-senyum lebar dilemparkan kepada para pengunjung untuk menarik minat membeli dagangan mereka.
Namun, di balik senyum-senyum itu terdapat keluh kesah tentang lesunya penjualan. Mereka tetap mencoba memanfaatkan momentum tahun baru meski keuntungannya tak seberapa. (DD16)