Saat Musik Menjadi Artikulasi Sikap Politik
Musik dan politik adalah satu tarikan napas. Dari masa ke masa, kaum muda memakai musik sebagai medium artikulasi sikap politik mereka. Itu juga terjadi di Indonesia sampai sekarang.
Mari kita lihat bagaimana musik dan politik dalam negeri Indonesia saling bertautan. Di era Orde Lama, musik pop yang berkembang di kalangan anak muda mendapat ”perlawanan” dari pemegang kekuasaan. Pada Juli 1965, kelompok Kus Bersaudara digelandang ke kantor polisi ketika sedang membawakan lagu The Beatles, ”I Saw Her Standing There”.
Sepintas tak ada yang keliru di lagu tersebut. Tembang terkenal ciptaan Paul McCartney dan John Lennon itu menggambarkan keriaan suasana pesta anak muda, Liriknya juga menceritakan desiran hasrat melihat kekasih pujaan berjoget di lantai dansa. Suasana itu direkonstruksi ulang oleh Koeswoyo bersaudara yang terdiri dari Tony, Yon, Yok, dan Nomo di sebuah ruangan di daerah Jati Petamburan, Jakarta.
Lagunya tak salah. Arahan kebudayaan dari pemerintahan kala itu yang membuatnya berada di kondisi terjepit. Harian Kompas edisi 3 Juli 1965 menulis peristiwa penahanan band yang sedang digandrungi itu.
”Kejadian itu luar biasa. Mungkin baru sekali ini terjadi di negeri kita orang ditahan karena memainkan musik yang tidak karuan. Peristiwa itu menunjukkan segi positif betapa seriusnya kita sekalian ini sedang berusaha menumbuhkan kebudayaan nasional dalam segala pengejawantahannya.”
Di era Orde Lama, musik pop yang berkembang di kalangan anak muda mendapat ’perlawanan’ dari pemegang kekuasaan.
Di lain sisi, Presiden Soekarno memuji rombongan musik lenso pimpinan Jack Lesmana yang sedang mengembara di Eropa. Misi mereka ketika itu untuk mengenalkan apa yang disebut kebudayaan nasional lewat lagu-lagu perjuangan dan lagu-lagu rakyat. ”Lagu rakyat” yang dimaksud adalah lagu tradisi dari penjuru Nusantara (Kompas, 9 Juli 1965).
The Beatles dianggap sebagai wakil budaya Barat. Musik rock ’n roll, yang meledak pada 1955 lewat film Rock Around the Clock, bertentangan dengan misi kebudayaan Soekarno. Sang Proklamator itu menyematkan julukan musik ngak-ngik-ngok pada musik populer dari Barat di era itu. Corak musik itu diharamkan.
Rock ’n roll sendiri, seperti yang dituliskan Remy Silado, adalah aliran baru yang sontak merebut hati pendengar muda. Entakan dan dinamikanya meruntuhkan patron musik klasik (yang bernotasi rumit), serta jazz (yang identik kostum jas kelinci serta dasi kupu-kupu yang kaku).
Gelombang itu menggejala ke mana-mana. Manifesto anti-ngak-ngik-ngok Soekarno tak sanggup membendungnya. Sementara gelombang kebebasan yang didengungkan gerakan hippies menguat di paruh kedua 1960-an hingga sepanjang 1970-an. Jimi Hendrix, Grand Funk Railroad, James Brown, dan The Rolling Stones adalah panutan masa itu. Tak terkecuali di Indonesia. Beberapa band dalam negeri berkiblat pada nama-nama itu.
Musik dan Orde Baru
Rezim Orde Baru agak mengabaikan arah kebudayaan. Positifnya, budaya populer makin membesar. ”Justru di era Orde Baru, Indonesia punya band rock yang bagus,” kata David Tarigan, pemerhati musik dari gerakan Irama Nusantara.
Pada 2011, label rekaman Now-Again Records dari Amerika Serikat melepas album Those Shocking Shaking Days, yang berisi lagu-lagu rock bernuansa psikadelik dari Indonesia pada era 1970-an. Album itu menuai pujian, termasuk dari pentolan band hardcore Black Flag, Henry Rollins.
Justru di era Orde Baru, Indonesia punya band rock yang bagus.
Album itu dibuka dengan lagu ”Haai” (1971) milik grup Panbers, yang kadung terkenal dengan lagu mendayu semacam ”Gereja Tua”. Dalam irama kencang berbalut permainan perkusi, Panjaitan bersaudara itu terang-terangan meluapkan kecintaan mereka pada The Beatles, The Rolling Stones, dan Led Zeppelin, produk budaya Barat yang dulunya ditentang Soekarno.
Ada juga lagu ”Shake Me” (1975) dari AKA yang kental bernuansa funk, irama yang di negara asalnya diidentikkan dengan persenggamaan. Lirik lagu itu pun bertema seks bebas, sesuatu yang tabu dibicarakan secara terbuka di negara ini. Konon, lagu itu pernah dicekal pemerintah.
Selanjutnya, para musisi bergerilya memanfaatkan musik untuk memotret fenomena sosial dan mengkritik kekuasaan. Di antara musisi itu ada Iwan Fals dan Harry Roesli. Harry Roesli yang menggabungkan teater dan musik beberapa kali digelandang aparat karena pertunjukannya dianggap ”menyerang” kebijakan pemerintah.
Band pertama Harry, The Gang of Harry Roesli, seperti sudah cerewet sejak 1971 dengan menulis lagu bercorak rock progresif ”Malaria” dan ”Don’t Talk about Freedom”.
Sementara Iwan Fals, lewat lagu-lagu hasil persilangan folk, rock, blues, dan country menjadi simbol pergulatan kaum terpinggirkan. Dia berceloteh soal kebiasaan tidur para anggota DPR dalam ”Surat untuk Wakil Rakyat”, keruwetan birokrasi rumah sakit pada ”Ambulans Zig-zag”, juga melejitnya harga bahan bakar pada ”Galang Rambu Anarki”. Semua celotahan itu menderas ketika Orde Baru sedang kuat mencengkeram.
Muda-mudi penyimak tembang-tembang bergairah tinggi itu melanjutkan suara yang dilantangkan pendahulunya. Pada era perubahan alias reformasi ini, tema sosial dan politik tetap, dan terus, mengemuka. Lagu-lagu itu bernyanyi tentang isu yang lebih detail, untuk menjadikannya kesadaran sosial dalam pembentukan masyarakat sipil.
Musik sekarang
Kini, musik tetap menjadi medium untuk menyuarakan sikap. Bedanya, isu yang dihadirkan semakin beragam dan lebih detil mulai reklamasi, keluarga produk Orba, transportasi, hingga kontrasepsi.
Dari Bali, band seperti Superman is Dead, Navicula, dan Nostress tak kenal lelah menolak reklamasi pantai. Corak musik mereka beragam. Superman is Dead muncul dengan punk yang meletup, Navicula main rock alternatif, sementara Nostress menyajikan folk yang bening dan tenang.
Pemusik, pemikir, penulis, dan seniman lainnya berfungsi sebagai pemimpin dengan gagasan moral dan keadilan sosial.
Melancholic Bitch mengusung isu sentralisasi pembentukan keluarga dalam album NKKBS Bagian Pertama. Band rock dari Yogyakarta itu seperti menggugat betapa propaganda ”keluarga bahagia” tidak melulu ramah pada individu di dalamnya. Gempita resepsi pernikahan lekat dengan komersialisasi yang bisa bermuara pada produksi sampah.
Jaminan kebebasan berpendapat memungkinkan kaum muda mengupayakan perubahan sosial. Andrew N Weintraub, Profesor Musik dari Universitas Pittsburgh, AS, berpendapat bahwa pemusik, pemikir, penulis, dan seniman lainnya berfungsi sebagai pemimpin dengan gagasan moral dan keadilan sosial. Mereka mendaraskan kritik pada aturan sosio-ekonomi demi perubahan. Musik, sebagai produk budaya pop, adalah kendaraan utama mereka.