Dua hari terakhir, warganet diramaikan dengan kampanye anti asusila yang digalakkan CELUP (cekrek,lapor,upload). Belum berselang lama, warganet juga diramaikan dengan postingan di media sosial yang berisi dua laki-laki yang terlihat bermesraan di sepeda motor. Kampanye itu bagai polisi moral di media sosial.
Tak berselang lama, kedua akun tersebut, CELUP dan pengunggah video laki-laki, akhirnya meminta maaf ke publik. Fadli Zaky, koordinator CELUP, Kamis (28/12) di Surabaya, mengatakan, poster CELUP yang beredar di media sosial adalah tugas dari mata kuliah desain komunikasi visual.
Fadli dan empat temannya juga mengunggah di media sosial Instagram, Facebook, dan Line sebagai bagian untuk melihat respon publik terkait desain posternya.
Menurut Fadli, desain tersebut sudah dikonsultasikan dengan dosen pembimbingnya. Gerakan yang digalakkan CELUP juga bukan untuk menyebarkan aib orang lain. "Ini adalah gerakan kampanye sosial untuk mengembalikan fungsi ruang publik, bukan mengunggah dan menyebar aib orang-orang yang melakukan tindakan asusila," katanya.
Dari poster CELUP yang diunggah akun Instagram @cekrek.lapor.upload – kini akun sudah dihapus – poster tersebut berisi gambar seseorang yang memotret secara sembunyi-sembunyi dua orang laki-laki dan perempuan yang sedang berduaan di taman. Tagline yang digunakan yakni “Pergokin Yuk! Biar Kapok”.
Poster CELUP yang beredar di media sosial ternyata hanya tugas dari mata kuliah desain komunikasi visual
Staf hubungan masyarakat Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, Nizwan Amin, mengatakan, poster CELUP adalah salah satu dari beberapa hasil tugas mata kuliah pembuatan poster yang dipamerkan di sebuah pusat perbelanjaan pada 16-17 Desember 2017.
Mahasiswa diminta untuk membuat poster sosial dan melihat reaksi publik atas desain poster yang dibuatnya. “Kami tegaskan tidak ada gerakan Cekrek.Lapor.Upload,” katanya.
Mahasiswa tersebut, lanjut Nizwan, terinspirasi membuat poster CELUP dari fenomena ruang publik yang digunakan untuk berbuat asusila. Mahasiswa juga terinspirasi dari akun Instagram @lambe_turah yang mengajak warganet melaporkan sesuatu dan akan diunggah ulang melalui akun Instagram @Cekrek.lapor.Upload.
“Namun, itu hanya konsep yang dari mahasiswa, tidak dilakukan secara nyata,” tutur Nizwan.
Di Surabaya, Pemkot sebenarnya sudah mensterilkan ruang publik dari tindakan asusila. Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya Muhammad Fikser mengatakan, sejumlah tempat publik dipasang rambu dilarang pacaran. Rambu tersebut dipasang di antaranya di Taman Bungkul dan Taman Pelangi.
Petugas Satpol PP yang berjaga juga memantau kegiatan masyarakat di taman melalui kamera pengawas. Jika ada yang terlihat berbuat asusila, petugas akan menegur melalui pengeras suara atau mendatangi secara langsung. “Tidak harus sampai diunggah di media sosial,” katanya.
Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menuturkan, pengguna media sosial saat ini cenderung dangkal dalam memahami realitas sosial di masyarakat. Mereka terlalu menyederhanakan fenomena di dunia nyata dengan argumen benar dan salah. Padahal, fenomena sosial tidak hanya sekadar hitam di atas putih.
Jangan melakukan penghakiman atas hal yang belum tentu salah
Keberadaan media sosial turut melanggengkan logika berpikir tersebut. Tanpa ada proses klarifikasi, mereka menghakimi orang lain di media sosial. Hal yang dianggap salah langsung diberikan sanksi sosial.
Niat baik saja tidak cukup karena harus melihat konteks dan latar belakang, terlebih di wilayah abu-abu. "Jangan melakukan penghakiman atas hal yang belum tentu salah,” katanya.
Persekusi
Ketua Pusat Studi Hukum HAM Unair Herlambang Perdana Wiratraman menilai, aktivitas memotret dan mengunggah aktivitas orang lain di ruang publik merupakan bentuk pelanggaran hak privasi. Orang menjadi tidak nyaman lagi menikmati ruang publik karena ada pihak lain mengusik aktivitasnya.
Meski dalam beberapa hal hak privasi di ruang publik bisa dikurangi, orang tidak bisa menghakimi kesalahan sesuai pemikirannya sendiri tanpa melalui otoritas formal. Aktivitas yang dianggap tidka sesuai harus diuji dahulu untuk menentukan sejauh mana pelanggaran yang dibuat. Jika tidak tepat, orang yang memotret dan mengunggah justru bisa melanggar hak privasi.
Media sosial bukan arena untuk mengganggu kebebasan berkespresi. Korban dari tindakan ini bisa saja melaporkan balik dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik jika merasa keberatan
“Jika mempermasalahkan etika bisa diselesaikan dengan menegur atau memasang rambu karena lebih legitimate daripada menghakimi tanpa ada kejelasan,” katanya.
Fenomena ini jika terus dibiarkan bisa mengundang persekusi. Sebab, orang yang fotonya diunggah dan dianggap melanggar hukum akan mendapatkan hukuman tanpa melalui proses. Bahkan, bisa jadi orang tersebut tidak salah.
“Media sosial bukan arena untuk mengganggu kebebasan berkespresi. Korban dari tindakan ini bisa saja melaporkan balik dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik jika merasa keberatan,” ujar Herlambang.
Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan bisa memancing fenomena persekusi. Tindakan yang tidak sesuai dengan hukum ini bisa membuat privasi masyarakat terganggu. Masyarakat tidak lagi bisa menikmati ruang publik dengan nyaman.