Warga Miskin Buta Hukum dan Minimnya Advokat "Pro Bono"
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya laporan penyiksaan yang dilakukan penegak hukum dalam proses penyidikan sepanjang tahun 2017 mempertegas indikasi masih banyaknya warga yang tidak mampu mengakses bantuan hukum saat menghadapi problem hukum.
Warga yang minim akses tersebut umumnya berada di daerah rural dan tidak memahami hak-haknya sebagai warga negara ketika tersangkut persoalan hukum.
Di sisi lain, keberadaan advokat justru lebih banyak terpusat di kota-kota besar, tempat perputaran uang paling besar terjadi, dan jasa hukum yang mereka berikan dihargai sangat tinggi.
Akibatnya, warga miskin tidak hanya semakin jauh dari akses bantuan hukum. Tujuan hukum sendiri juga tidak tercapai ketika hanya sebagian kelompok masyarakat yang bisa mengakses dan memperoleh perlindungan hukum, sementara kelompok lainnya tersisihkan.
Riset yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat fenomena tingginya penyiksaan terhadap warga yang tersangkut masalah hukum, utamanya selama proses penyidikan.
Sebagian besar warga yang tersangkut persoalan hukum dan disiksa itu adalah mereka yang berasal dari kelompok marjinal dan tidak mampu.
Kepala Bidang Advokasi Fair Trial LBH Jakarta Arif Maulana, Selasa (26/12), di Jakarta, menuturkan, riset LBH Jakarta yang diluncurkan 2017 menunjukkan jumlah penyiksaan yang cukup banyak.
Berdasarkan laporan akhir tahun LBH Jakarta, dalam rentang waktu dari November 2016 hingga Oktober 2017, ada laporan 55 kasus unfair trial (peradilan tidak fair).
Laporan itu belum termasuk tujuh laporan penyiksaan dan lima kasus anak berhadapan dengan hukum yang bermasalah.
Penanganan kasus anak-anak bermasalah itu, antara lain, karena mereka tidak didampingi pembela saat penyidikan hingga persidangan.
”Total dalam rentang waktu 2013-2017, ada 37 kasus penyiksaan yang menimpa klien LBH. Rinciannya, 6 kasus pada 2013, 6 kasus tahun 2014, 15 kasus di 2015, dan 10 kasus di tahun 2016. Baik korban maupun keluarga korban baru mencari bantuan hukum setelah penyiksaan itu terjadi di proses penyidikan,” kata Arif.
Sebagian besar warga yang tersangkut persoalan hukum dan disiksa itu adalah mereka yang berasal dari kelompok marjinal dan tidak mampu.
Sebagian besar korban penyiksaan, atau sekitar 70 persen, adalah warga miskin yang tidak memiliki pemasukan tetap atau pengangguran.
Saat ditangkap dan diperiksa di proses penyidikan, para korban itu tidak didampingi penasihat hukum atau advokat.
Penyiksaan oleh penegak hukum itu harus mereka hadapi agar mengakui sejumlah sangkaan tindak pidana yang mereka lakukan.
Para korban, antara lain, mengaku dipukuli, disetrum, disundut rokok, diintimidasi, diancam, hingga ditelanjangi.
”Melihat sistuasi yang ada, penyiksaan terhadap warga yang tidak mampu ini terjadi dari tahun ke tahun. Mereka kesulitan mengakses bantuan hukum karena keterbatasan biaya. Selain itu, juga tidak banyak advokat yang bisa ditemui untuk menolong mereka, terlebih mereka dari kalangan bawah juga tidak mengetahui hak-haknya sebagai warga negara saat berhadapan dengan hukum,” tutur Arif.
Mirisnya, dari 37 kasus penyiksaan yang ditangani LBH, 10 kasus di antaranya terjadi pada tersangka yang masih usia anak-anak atau di bawah 17 tahun.
Kekerasan terjadi di semua tingkat kepolisian, baik dari polsek, polres, maupun polda.
Upaya untuk mengakses bantuan hukum melalui organisasi bantuan hukum (OBH) seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga tidak mudah dilakukan lantaran adanya ancaman atau upaya menakut-nakuti yang dilakukan aparat penegak hukum.
”Mereka ditakut-takuti kalau pakai pengacara akan lebih ribet dan hukumannya lebih berat. Padahal, ketika seseorang tersangkut dengan persoalan hukum dan tidak didampingi kuasa hukum, maka sudah pasti orang itu akan kehilangan hak-haknya,” katanya.
Menurut Arif, budaya hukum yang masih lemah juga menjadi alasan rentannya kelompok marjinal dan tidak mampu menjadi korban kekerasan dan penyiksaan oleh penegak hukum.
Masyarakat belum menyadari bahwa dirinya sebagai warga negara dari suatu negara hukum memiliki hak-hak yang harus dilindungi.
Oleh karena itu, mereka berhak atas pendampingan oleh advokat atau penasihat hukum guna menjamin hak-hak mereka diberikan.
Main hakim sendiri
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, akses hukum yang terbatas bagi warga yang tidak mampu dan marjinal akan memicu ketidakpercayaan pada proses hukum.
Sebab, pada saat bersamaan di kalangan elite politik dan kelompok mapan terjadi akrobat hukum yang memuakkan.
”Orang sudah mulai tidak percaya pada hukum ketika mereka melihat orang sekuat Setya Novanto ternyata sulit sekali disentuh oleh hukum. Berkebalikan dengan itu, orang-orang dari kalangan biasa atau bahkan yang tergolong tidak mampu harus menghadapi kekerasan dan penyiksaan dari penegak hukum. Hal ini memicu ketidakpercayaan pada hukum,” katanya.
Kekerasan dan main hakim sendiri kemudian menjadi pilihan bagi warga yang merasa saluran keadilannya tersumbat.
Para korban antara lain mengaku dipukuli, disetrum, disundut rokok, diintimidasi, diancam, hingga ditelanjangi.
Kepercayaan yang makin runtuh terhadap hukum berakibat pada tindakan main hakim sendiri berdasarkan nilai-nilai yang mereka percayai dan anut.
Tahun 2017 menyimpan sejumlah peristiwa kelam aksi main hakim sendiri. Tewasnya Muhammad Al Azra di Bekasi setelah dituduh mencuri amplifier sebuah masjid, Agustus lalu, menjadi contoh sikap main hakim sendiri yang mengerikan.
Padahal, Azra secara hukum belum tentu terbukti mencuri amplifier masjid, dan kalaupun ada saksi-saksi yang melihat perbuatan itu, keterangannya harus diuji di depan meja hijau.
Contoh lain aksi main hakim yang banal terjadi di Cikupa, Tangerang, ketika sepasang kekasih yang diduga melakukan perbuatan mesum ditelanjangi dan diarak di depan umum.
Perbuatan mereka dianggap menodai norma-norma umum yang berlaku di masyarakat, padahal mereka belum tentu bersalah secara hukum dan berhak untuk mendapatkan hak-haknya untuk diperlakukan secara layak di depan pengadilan.
Keduanya diadili sepihak oleh massa dengan dasar norma-norma umum, bukan hukum tertulis.
”Peristiwa semacam di Bekasi dan Cikupa itu akan terus terjadi ketika kepercayaan publik pada hukum terus merosot. Ini yang harus diantisipasi,” kata Isnur.
Bantuan hukum
Keberadaan OBH di daerah belum sepenuhnya mampu menyentuh hingga ke alas rumput.
Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terbit, mulai ada perbaikan signifikan.
Banyak OBH tumbuh di daerah dengan memanfaatkan insentif penanganan perkara yang diberikan oleh pemerintah. Untuk setiap penanganan satu perkara, negara membayar Rp 5 juta.
Namun, kerap kali biaya Rp 5 juta per perkara itu hanya cukup untuk menuntaskan kasus, tetapi tidak memadai untuk membayar honor atau jasa advokat OBH.
Para advokat OBH itu terpaksa mencari pekerjaan sampingan lain atau dengan menerima perkara komersial untuk bisa menghidupi diri dan keluarganya.
Menurut Isnur, UU Bantuan Hukum yang saat ini ada memang belum sempurna, tetapi mulai memberikan secercah harapan bagi upaya perluasan akses bantuan hukum yang setara untuk semua warga negara.
”Sejak UU itu keluar tahun 2011, sampai saat ini sudah ada 410 OBH yang terakreditasi di bawah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Para advokat muda banyak yang terjun menjadi advokat di OBH-OBH itu dengan memanfaatkan insentif yang diberikan negara,” katanya.
Pada dasarnya, negara masih setengah hati dalam memberikan bantuan hukum kepada warganya.
Kepercayaan yang makin runtuh pada hukum berakibat pada tindakan main hakim sendiri berdasarkan nilai-nilai yang mereka percayai dan anut.
”Negaralah yang harus menyediakan bantuan hukum itu, bukan LBH. Bukan tugas LBH menyediakan pembela, melainkan negara. Harus dibuat sistem bantuan hukum yang jelas sehingga negara tidak seolah-olah sedang melakukan kerja sama dengan OBH guna memberikan bantuan hukum kepada warganya. Negara sudah menyediakan polisi, jaksa, dan hakim, dan seharusnya juga menyediakan pembela,” urainya.
Di negara-negara lain, pembela atau advokat disiapkan oleh negara melalui suatu komisi khusus, atau Komisi Bantuan Hukum.
Komisi itu bertugas menyediakan pembela bagi setiap warga negara yang mengalami kasus hukum.
Di sisi lain, sebagian besar advokat Indonesia berada di kota-kota besar.
”Lulusan fakultas hukum atau mereka yang bergerak di bidang advokasi jarang terjun ke remote area. Mereka pasti akan berebut mencari klien di kota-kota besar. Sudah pasti praktik pro bono juga jarang dilakukan karena mereka yang memerlukan bantuan cuma-cuma sebenarnya banyak berada di kalangan rural atau pedesaan, di mana masih banyak warga buta hukum,” kata Isnur.
Upaya pemerintah menyediakan pos bantuan hukum (Posbakum) di setiap pengadilan juga belum optimal. Kompetensi advokat di Posbakum juga kerap diragukan.
Wajib membela
Muhammad Rullyandi, advokat dari Advokatku Legal Audit Consultant, suatu firma hukum dan konsultan di Jakarta, menampik anggapan pengacara di perkotaan jarang melakukan pembelaan secara cuma-cuma atau pro bono.
Di negara-negara lain, pembela atau advokat disiapkan oleh negara melalui suatu komisi khusus, atau Komisi Bantuan Hukum.
Pengacara atau advokat wajib memberikan bantuan hukum gratis bagi warga tidak mampu. Advokat juga dilarang menolak perkara berdasarkan pertimbangan SARA dan kedudukan sosial.
”Setiap advokat pasti punya pengalaman memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada kliennya. Tetapi, itu, kan, dikembalikan kepada pertimbangan masing-masing advokat. Sebab, advokat diberi kebebasan untuk menolak suatu perkara yang bertentangan dengan hati nuraninya. Di satu sisi, advokat juga punya kewajiban lebih pada tegaknya hukum dan keadilan, tidak semata-mata pertimbangan materi,” kata Rullyandi yang, antara lain, pernah menjadi kuasa hukum OC Kaligis saat mengajukan uji materi UU Pemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Advokat-advokat besar pun dinilai telah memberikan sejumlah contoh, seperti Otto Hasibuan, yang memberikan pembelaan pro bono kepada Jessica Kumala Wongso, terpidana pembunuhan terhadap Mirna Wayan Salihin dalam kasus kopi bersianida.
”Pembelaan pro bono itu pasti dilakukan oleh advokat ketika dia melihat ada sesuatu yang perlu dibelanya, dan saat ada yang salah harus diluruskan, tanpa selalu melihat nilai material di baliknya,” ujar Rullyandi.