Transparansi Sektor ESDM Jadi Tantangan di Tahun Politik
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparansi dalam perizinan dan tata kelola bidamg energi dan sumber daya mineral mendapatkan tantangan terbesar di tahun 2018 yang merupakan tahun politik. Sejumlah capaian pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sepanjang tahun 2017 di bidang ESDM itu diperkirakan akan menghadapi konflik dan benturan kepentingan dalam masa-masa perebutan kekuasaan.
Di sisi lain, sejumlah kelemahan kebijakan pemerintahan Jokowi-Kalla sepanjang tahun 2017 juga bisa makin buruk apabila celah di bidang perizinan pertambangan bertemu dengan kepentingan pendek para politisi yang memperjualbelikan izin usaha pertambangan (IUP).
Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dalam diskusi mengenai catatan akhir tahun pemerintahan Jokowi-Kalla di bidang ESDM, Jumat (22/12), di Jakarta, mengatakan, IUP menjadi sangat rentan diperjualbelikan di tahun politik. Konflik kepentingan dalam penerbitan IUP menjadi hal yang perlu diwaspadai pada 2018. Sebab, konflik kepentingan rawan muncul dengan memperdagangkan penerbitan IUP demi dukungan politik dalam pemilu ataupun pemilihan kepala daerah.
Izin usaha pertambangan menjadi sangat rentan diperjualbelikan di tahun politik. Konflik kepentingan dalam penerbitan izin usaha pertambangan menjadi hal yang perlu diwaspadai pada tahun 2018.
”Beruntung KPK dalam tiga tahun belakangan ini mulai gencar menaruh perhatiannya di bidang ESDM, terutama dalam penerbitan IUP. Sudah ada sejumlah kepala daerah yang ditangkap terkait dengan penerbitan IUP demi kepentingan politis untuk pilkada," kata Aryanto.
Ahmad Hanafi, Direktur Indonesian Parliamentary Center, menambahkan, konflik kepentingan juga rentan terjadi dalam perumusan undang-undang minyak dan gas, serta mineral dan batubara (minerba). Konflik kepentingan yang menguntungkan sebagian kecil pihak saja dalam rantai usaha migas dan minerba akan merugikan lebih banyak orang.
”Potensi konflik kepentingan cukup besar di DPR. Terdapat 52,3 persen anggota DPR yang berlatar belakang pengusaha yang tersebar di berbagai komisi. Misalnya, RUU Migas dan RUU Minerba yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pembahasan di Komisi VII DPR yang 59,2 persen anggotanya berlatar belakang pengusaha. Konflik kepentingan itu memicu terjadinya tarik-menarik kepentingan yang mengakibatkan pembahasan RUU itu molor,” ujar Hanafi.
Peraturan mengenai konflik kepentingan di DPR itu juga tidak diatur secara jelas dan tegas di dalam peraturan internal atau Tata Tertib DPR. Di sisi lain, minimnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhafap kinerja legislatif ikut menyumbang pada rendahnya pencapaian program legislasi nasional (prolegnas) di bidang ESDM.
RUU Migas dan RUU Minerba yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pembahasan di Komisi VII DPR yang 59,2 persen anggotanya berlatar belakang pengusaha.
Wahyudi, Manager Economy and Governance dari Transparency International Indonesia (TII), menambahkan, KPK memiliki kepedulian cukup besar terhadap kemungkinan risiko korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam, termasuk di bidang ESDM. KPK telah beberapa kali menangkap kepala daerah yang diduga menerima suap atau gratifikasi terkait dengan penerbitan IUP.
”Sektor swasta kerap terlibat dalam kasus ini. Potensinya pun sangat besar karena dari hasil kajian TII, pertambangan dan energi mendominasi jenis usaha dari 100 perusahaan dengan pendapatan terbesar yang kami teliti,” kata Wahyudi.
Untuk mencegah korupsi sektor ESDM, menurut Wahyudi, sejumlah upaya pemerintah patut diapresiasi, termasuk dengan pembentukan Peraturan Menteri ESDM Nomor 48 Tahun 2017 yang disusul dengan Surat Edaran Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 yang mewajibkan setiap perusahaan pertambangan agar mencantumkan beneficial owner atau pemilik dan penikmat sebenarnya atas jalannya suatu usaha.
”Pencantuman beneficial owner ini memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan pajak dan pendataan struktur usaha yang lebih baik di bidang pertambangan,” ujarnya.
Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay (PWYP), mengatakan, di tahun politik mendatang, sejumlah hal harus diperbaiki pemerintah, termasuk dengan mempercepat pembahasan sejumlah UU di bidang ESDM sekaligus membuat peraturan yang lebih tinggi terkait dengan beneficial owner.
”Jika dimungkinkan, apakah aturan pencantuman beneficial owner itu bisa dalam peraturan presiden (perpres) atau ketentuan lain sehingga bisa membawa dampak lebih signifikan,” katanya.
Dalam diskusi itu, hadir pula Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa yang melihat bidang ESDM sangat dinamis sepanjang tahun 2017. Hal itu ditandai antara lain dengan kenaikan harga minyak dunia. Selain itu, kapasitas produksi minyam bumi yang stagnan, sekitar 800.000 barrel per hari, juga mesti menjadi catatan.