Penutupan Jalan untuk PKL di Tanah Abang Perlu Dikaji Ulang
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menutup sebagian Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dianggap perlu dikaji ulang. Penutupan jalan yang diikuti dengan digunakannya salah satu lajur jalan untuk pedagang kaki lima berjualan itu dinilai belum menyelesaikan persoalan secara menyeluruh.
Mulai Jumat (22/12), sekitar 450 meter Jalan Jatibaru Raya yang terletak di seberang Stasiun Tanah Abang resmi ditutup dari pukul 08.00 hingga pukul 18.00. Jalan Jatibaru Raya sebelah timur digunakan untuk PKL berjualan. Sementara sisi baratnya digunakan untuk lalu lalang bus transjakarta yang mengitari kawasan Pasar Tanah Abang mulai dari Blok A hingga Blok G. Hari itu terdapat 10 bus transjakarta yang dioperasikan untuk wilayah itu.
Penutupan jalan itu diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Siang itu, ia datang bersama dengan Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan (KUMKMP) Irwandi, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana, Camat Tanah Abang Dedi Arif Darsono, dan lain-lain.
Bagi pejalan kaki trotoarnya bisa untuk jalan. Bagi PKL disediakan lahan untuk mereka bisa tetap berjualan. Bagi pengunjung yang datang ke wilayah ini bisa menggunakan bus transjakarta untuk berkeliling.
Saat meresmikan, Anies secara simbolis mengalungkan dua kartu identitas kepada dua PKL yang berdagang di sana. Kartu itu melegalkan para pedagang untuk berdagang di badan jalan.
Anies menyatakan, semua kepentingan orang yang berkegiatan di wilayah itu sudah dapat diakomodasi. ”Bagi pejalan kaki trotoarnya bisa untuk jalan. Bagi PKL disediakan lahan untuk mereka bisa tetap berjualan. Bagi pengunjung yang datang ke wilayah ini bisa menggunakan bus transjakarta untuk berkeliling,” kata Anies.
Ia menambahkan, PKL akan berdagang di tempat yang sudah ditentukan itu. Trotoar dijanjikannya steril dan tidak lagi digunakan untuk berjualan oleh para PKL.
Namun, ternyata masih ada PKL yang menggelar dagangannya di sejumlah titik. Titik paling padat adalah tempat yang paling dekat dengan stasiun. Pejalan kaki masih harus berimpit-impitan untuk berjalan kaki di trotoar.
Beberapa pengendara sepeda motor pun ada yang memarkirkan kendaraannya di trotoar. Berdasarkan pantauan, terdapat sekitar 10 motor yang diparkir di dekat tempat penutupan jalan itu.
”Aduh, kok malah semakin ruwet ini,” ujar Indah (38), pejalan kaki. ”Saya kaget kok tempatnya jadi seperti ini. Saya malah semakin bingung harus berjalan lewat mana dan di mana. Trotoar dipakai PKL, badan jalan dipakai PKL juga.”
Saya kaget kok tempatnya jadi seperti ini. Saya malah semakin bingung harus berjalan lewat mana dan di mana. Trotoar dipakai PKL, badan jalan dipakai PKL juga.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus ikut mengkritisi tentang penutupan jalan tersebut. ”Trotoar itu harus steril. Sebab, hal itu sudah ada peraturannya, kan,” kata Alfred yang siang itu turut memantau penutupan jalan. ”Jika ternyata masih ada PKL yang berjualan di trotoar, penataan ini kurang berhasil.”
Alfred telah menanyai sejumlah PKL dan menemukan fakta bahwa masih ada yang tidak mendapat tempat berjualan meski sudah ikut mendaftar. ”Ini perlu dikaji ulang. Apakah data yang diperoleh pemerintah itu sudah benar? Buktinya, masih ada yang belum dapat,” kata Alfred.
”Kalau mereka memang mau memfasilitasi PKL, seharusnya pencatatannya dilakukan secara benar. Jangan sampai nanti mereka (PKL) memakan dan mengokupasi trotoar kembali,” jelas Alfred.
Jika ternyata masih ada PKL yang berjualan di trotoar, penataan ini kurang berhasil.
Di jalan tempat para PKL berdagang didirikan tenda berwarna merah dan biru yang ditata. Kepala Dinas KUMKMP DKI Jakarta Irwandi menyatakan, terdapat 372 tenda yang telah disiapkan. Namun, baru ada 150 tenda yang terpasang.
”Kami akan segera melengkapi supaya semua PKL bisa masuk tenda,” kata Irwandi di Jalan Jatibaru Raya.
Dalam berita di harian Kompas (14/12), Kepala Suku Dinas KUMKMP Jakarta Pusat Bangun Richard Hutagalung mengatakan, 394 PKL di kawasan itu telah didata. Rinciannya, 116 PKL ber-KTP DKI Jakarta dan 278 PKL lainnya tercatat ber-KTP dari luar DKI Jakarta.
Irwandi menyatakan, jumlah antara yang didata dan yang disiapkan berbeda karena semalam sebelumnya tidak semua PKL mengonfirmasi dan mengambil nomor tenda. Masih ada sejumlah PKL yang ikut mendaftar untuk bisa berdagang di jalan itu, tetapi tidak mendapatkan tenda karena tidak datang dalam pengambilan nomor. Para pedagang itu tidak diberi informasi lebih lanjut.
Salah satunya Emi (34), pedagang kain. Ia semula datang ke tempat itu untuk berdagang. Namun, ia terkejut melihat penutupan jalan dan pembolehan berdagang di badan jalan telah dimulai. ”Saya tidak dapat informasi tentang ini. Tadinya saya mau jualan. Kihat kayak gini jadi batal deh jualannya,” kata Emi.
”Saya belum tahu selanjutnya bakal berjualan di mana. Di trotoar sudah pasti tidak boleh lagi,” kata Emi.
Terkait tidak diperbolehkannya PKL mengokupasi trotoar untuk berjualan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam UU itu ditetapkan bahwa trotoar memang hak bagi pejalan kaki karena difungsikan sebagai tempat arus lalu lintas para pejalan kaki.
Bukan solusi
Nirwono Joga, pengamat tata kota, beranggapan bahwa penutupan jalan itu belum menyelesaikan persoalan secara menyeluruh. ”Pemerintah baru memikirkan penyelesaian Tanah Abang ini secara parsial,” kata Nirwono saat dihubungi.
Nirwono menjelaskan, seharusnya persoalan kawasan Tanah Abang itu diselesaikan dengan memperhatikan persoalan akarnya. Ia menyimpulkan ada dua persoalan utama Tanah Abang, yaitu penanganan PKL di trotoar dan kesemrawutan lalu lintas.
Nirwono menjelaskan, penutupan jalan yang saat ini dikhawatirkan menimbulkan persoalan lain, yaitu munculnya titik kemacetan baru dan kecemburuan dari kawsaan pasar lainnya agar mendapatkan perlakuan sama seperti Tanah Abang.
”Apakah sudah dipikirkan bahwa yang dilakukan saat ini tidak menimbulkan kemacetan lain? Pukul 18.00 itu justru waktu padat-padatnya lalu lintas. Waktunya orang pulang kerja itu justru pukul 17.00-20.00,” kata Nirwono.
Penutupan jalan yang saat ini dikhawatirkan menimbulkan persoalan lain, yaitu munculnya titik kemacetan baru dan kecemburuan dari kawsaan pasar lainnya agar mendapatkan perlakuan sama seperti Tanah Abang.
Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan DKI Jakarta Priyanto menjelaskan, sebelum pukul 18.00, PKL diharuskan untuk mengangkut semua barang dagangan beserta tenda yang didirikan. ”Jadi, pukul 18.00 lalu lintas sudah bisa berjalan seperti sebelumnya,” kata Priyanto.
Namun, Priyanto mengaku, pengaturan lalu lintas itu masih bersifat tentatif dan akan terus dievaluasi. ”Kami akan masih terus melihat perkembangannya untuk menemukan solusi terbaik menyelesaikan Tanah Abang,” kata Priyanto.
Terkait kecemburuan dari pasar-pasar lain, Nirwono mengkhawatirkan dengan diperbolehkannya para PKL Tanah Abang untuk menggunakan badan jalan membuat PKL dari pasar-pasar lain menuntut hal yang sama. Ia mencontohkan dengan kondisi Pasar Jatinegara dan Pasar Gembrong yang terletak di Jakarta Timur. Kemacetan dan keruwetan lalu lintas di kedua pasar tersebut tidak berbeda jauh dengan yang ada di Tanah Abang. Di kawasan itu, para PKL juga sudah meluber ke jalan.
Untuk itu, Nirwono menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang tentang penataan kawasan tersebut. Menurut Nirwono, apa yang dilakukan pemerintah sekarang itu bersinggungan dengan UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas Jalan, Peraturan Pemerintah No 34/2006 tentang Jalan, dan Peraturan Daerah No 8/2007 tentang Ketertiban Umum.
Ia mempertanyakan apakah memang semuanya benar-benar sudah memenuhi syarat dari peraturan tersebut. ”Penutupan jalan, jika dilakukan secara insidental, itu tidak masalah semisal ada perayaan atau hari-hari besar. Namun, ketika hal tersebut dilakukan setiap hari, perlu dikaji kembali,” kata Nirwono. ”Di ketiga undang-undang itu, jalan tidak boleh ditutup dan disalahgunakan untuk kepentingan komersial.” (DD16)