Maklumat Banjarmasin untuk Kelestarian Sungai di Tanah Air
”Ketika pohon terakhir ditebang,
Ketika sungai terakhir dikosongkan (tercemar),
Ketika ikan terakhir ditangkap,
Barulah manusia menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.”
(Eric Weiner, penulis buku The Geography of Bliss)
Sumber daya air di Indonesia saat ini sudah kritis karena berbagai persoalan. Kondisi itu menjadi perhatian komunitas sungai dari sejumlah daerah di Indonesia yang berkumpul dalam Kongres Sungai Indonesia III 2017 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 1-4 November. Mereka pun mengeluarkan Maklumat Banjarmasin untuk kelestarian sungai di Indonesia.
Maklumat Banjarmasin merupakan sari pati dari Kongres Sungai Indonesia (KSI) III di Banjarmasin. Maklumat tersebut dibacakan beberapa perwakilan komunitas sungai pada penutupan kegiatan KSI III, November lalu. Maklumat dengan tema ”Kerja Bersama untuk Konservasi Sumber Daya Air sebagai Beranda Depan Kejayaan Maritim Indonesia” itu terdiri atas lima poin.
Pertama, mengingat sumber daya air di Indonesia sudah kritis akibat persoalan kebijakan, perilaku manusia, perilaku perusahaan, serta pola pembangunan yang tidak memperhatikan karakteristik sumber daya air dan lingkungan hidup, perlu pendekatan budaya, hukum, perbaikan kebijakan, edukasi dasar, sistem informasi yang dapat dijangkau oleh masyarakat, dan inovasi teknologi tepat guna yang ramah lingkungan untuk mengatasinya.
”Kedua, guna menjamin kelestarian sumber daya air DAS (daerah aliran sungai) beserta ekosistemnya, perlu menekan laju deforestasi dengan cara menata kebijakan, mengontrol izin dan pengawasan pemanfaatan hutan,” kata perwakilan komunitas sungai yang mendeklarasikan maklumat itu.
Ketiga, memastikan sungai sebagai urat nadi peradaban maritim yang dibangun melalui kebijakan, pendidikan, kebudayaan, serta mengembangkan strategi untuk mewujudkan ruang ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang berbasis kerakyatan.
Selanjutnya, mengarusutamakan kearifan lokal dalam memperkuat peradaban sungai melalui inisiatif masyarakat dengan penguatan adat (sungai sebagai ibu kehidupan), pemanfaatan teknologi informasi, dan peningkatan riset aksi terkait pelestarian kearifan lokal.
Terakhir, mendesak pembentukan Badan Otoritas Sungai atau Kementerian Sungai, membentuk jejaring gerakan komunitas sungai, melibatkan peran dunia usaha dan industri guna mempercepat proses pemulihan kualitas, kuantitas, penataan sungai, dan sumber daya air yang ramah lingkungan.
Ketua Panitia Pelaksana KSI III Syaiful Adhar mengatakan, lima poin maklumat tersebut merupakan rekomendasi dari lima komisi. Hasil rekomendasi itu nantinya akan dibukukan dan disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo. ”Kami berharap rekomendasi itu menjadi perhatian Bapak Presiden dan juga menjadi acuan untuk penyelenggaraan KSI IV di Jakarta,” ujarnya.
Hasil rekomendasi itu nantinya akan dibukukan dan disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Secara umum, kata Syaiful, kegiatan KSI III berjalan lancar dan sukses. Sekitar 1.000 peserta dari 32 provinsi di Indonesia sangat antusias membahas berbagai persoalan tentang sungai. ”Hampir setiap hari pembahasan berlangsung hingga pukul 00.00 Wita. Bahkan, pernah berlangsung hingga pukul 02.00 Wita,” ungkapnya.
Satu manajemen
Untuk menyelamatkan sungai, semua pihak harus bergotong royong dalam aksi nyata. Selain aksi nyata, menurut Syaiful, tak kalah pentingnya juga adalah pembentukan Badan Otoritas Sungai atau Kementerian Sungai agar pengelolaan sungai bisa lebih optimal. Hal itu mengingat sungai tidak memiliki batas administratif.
Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina yang pada pembukaan KSI III mengemukakan pentingnya pengelolaan sungai dengan konsep one river one management (satu sungai satu manajemen), juga menekankan pentingnya Badan Otoritas Sungai atau Kementerian Sungai. Sebab, sungai adalah satu ekosistem yang tak terpisahkan.
Pentingnya pengelolaan sungai dengan konsep satu sungai satu manajemen, juga pentingnya Badan Otoritas Sungai atau Kementerian Sungai.
”Kalau sungai ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, saya pikir tidak terlalu fokus dan kurang optimal. Kalau mau menyelamatkan sungai, pengelolaannya harus satu kesatuan. Ini penting untuk mengelola sungai lintas kabupaten/kota dan lintas provinsi,” tuturnya.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Imam Santoso pada acara pembukaan KSI III mengemukakan, sungai di Indonesia yang panjang keseluruhannya mencapai 35.000 kilometer memiliki berbagai persoalan. Kecenderungan masyarakat menempati lahan di sekitar sungai mengakibatkan penyempitan, pendangkalan, dan pencemaran sungai.
Pada panel diskusi dalam rangkaian kegiatan KSI III, Jumat (3/11) sore, Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan menyebutkan, lebih dari 90 persen bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, yakni banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan.
Lebih dari 90 persen bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, yakni banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan.
”Bencana hidrometeorologi itu sangat terkait dengan perubahan drastis DAS sebagai penjaga siklus hidrologis. Dari sekian banyak DAS di Indonesia, 108 DAS sudah kritis. Untuk itu, perlu upaya masif yang melibatkan semua pihak untuk menangani DAS kritis dan menjaga DAS yang masih baik,” kata Lilik.
Menurut Mahfuddin dari Lembaga Swadaya Masyarakat Jaga Kali (Mas Jaka) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, sebagian masyarakat sudah menyadari pentingnya menjaga sungai dan mengedukasi warga lainnya untuk meninggalkan kebiasaan membuang sampah ke sungai. Tujuannya agar sungai tidak kumuh dan dangkal.
”Kami dari masyarakat juga mengharapkan pemerintah bisa seiring dan sejalan dengan kami yang sangat peduli dengan sungai normal dan lestari. Namun, adanya hambatan birokrasi, pemerintah sering kali kurang tanggap dengan apa yang telah kami lakukan,” tuturnya.
Menurut Lilik, kunci untuk melestarikan sungai adalah kerja sama (gotong royong) dan aksi nyata. Tanpa kerja sama dan aksi nyata, upaya konservasi sungai tidak pernah akan berhasil. Sekarang, yang diperlukan bukan lagi program, melainkan gerakan.