Dorong Ibu Alihkan Uang Rokok untuk Makanan Bergizi
JAKARTA, KOMPAS — Peran ibu mengatur kesehatan dalam keluarga dinilai sangat penting. Bahkan, ibu dinilai dapat menghentikan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan mengalihkan pengeluaran untuk rokok ke konsumsi yang lebih bermanfaat.
Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau Laksmiati A Hanafiah menyatakan, konsumsi rokok dapat berkurang dengan menyosialisasikan kepada ibu atau istri yang memiliki anggota keluarga perokok untuk menggunakan uang membeli makanan bergizi. Hal tersebut dirasa lebih berguna demi kepentingan seluruh keluarga.
”Mereka berperan penting dalam mengatur keuangan keluarga sehingga mereka harus terlibat aktif dengan cara yang tepat untuk mengajak keluarga hidup sehat,” tutur Laksmiati di sela-sela acara #IbuCerdas Shopping Race yang diselenggarakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau di Jakarta, Jumat (22/12). Acara tersebut merupakan bagian dari kampanye #RokokHarusMahal.
Mereka berperan penting dalam mengatur keuangan keluarga sehingga mereka harus terlibat aktif dengan cara yang tepat untuk mengajak keluarga hidup sehat.
Menurut Laksmiati, uang belanja yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli makanan sehat keluarga menjadi berkurang untuk membeli rokok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, rokok menjadi barang konsumsi terbesar kedua setelah beras pada penduduk miskin. Posisi tersebut mengalahkan konsumsi telur ayam ras, gula pasir, mi instan, bawang merah, dan roti.
”Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal, konsumsi rokok justru menimbulkan beban ekonomi pada skala mikro, seperti keluarga, dan skala makro, seperti negara,” ujar Laksmiati.
Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2017 menyatakan, beban ekonomi karena rokok mencapai Rp 596,61 triliun per tahun. Sementara itu, penerimaan negara dari cukai rokok hanya Rp 139,5 triliun. Hal ini berarti kerugian akibat konsumsi rokok empat kali lebih besar dari penerimaan negara dari cukai.
”Bayangkan, rokok habis diisap tidak menghasilkan apa-apa. Mengapa tidak dimanfaatkan untuk hal lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan?” kata Laksmiati.
Ia melanjutkan, semakin banyaknya penyakit tidak menular (PTM), seperti jantung dan stroke akibat merokok, membuat anggaran pemerintah untuk asuransi kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus meningkat. Pada akhirnya, tuturnya, yang diuntungkan hanyalah pemilik industri.
Bayangkan, rokok habis dihisap tidak menghasilkan apa-apa. Mengapa tidak dimanfaatkan untuk hal lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan.
Konsumsi untuk makanan bergizi juga semakin berkurang di mana semakin banyak anak-anak yang merokok. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok pada usia lebih dari 15 tahun di Indonesia terus meningkat. Angka itu meningkat menjadi 36,3 persen pada 2013 dari 34,7 persen pada 2010.
Survei Yayasan Lentera Anak tahun 2017 juga menyebutkan, industri rokok menggunakan taktik promosi penjualan yang menunjukkan harga per batang sehingga menarik perhatian keluarga tidak mampu dan anak-anak. Sebesar 78,9 persen promosi rokok mencantumkan harga rokok per batang.
Adapun acara #IbuCerdas Shopping Race yang diselenggarakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau diadakan tepat pada hari Ibu. Acara diselenggarakan untuk mengingatkan para ibu mengenai pentingnya peran mereka dalam membantu keluarga hidup sehat dan mengonsumsi makanan bergizi. Sebanyak 50 ibu diberi uang Rp 91.000 untuk berbelanja makanan bergizi dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
”Ini merupakan salah satu cara untuk memperlihatkan secara nyata kepada ibu apa saja yang dapat diperoleh jika mereka menghemat uang untuk membeli rokok,” ujar Laksmiati. Jumlah uang Rp 91.000 merupakan jumlah uang rokok selama satu minggu dengan rata-rata harga Rp 13.000 per bungkus.
Survei Yayasan Lentera Anak tahun 2017 juga menyebutkan, industri rokok menggunakan taktik promosi penjualan yang menunjukkan harga per batang sehingga menarik perhatian keluarga tidak mampu dan anak-anak.
Kurniasi (52), salah seorang peserta acara, menyatakan, suaminya yang bernama Sutaryono (54) merupakan seorang perokok. Ia ingin menyemangati keinginan suaminya untuk berhenti merokok olahraga dengan mengajaknya berolahraga secara teratur.
Selain itu, ia juga akan mengingatkan kebiasaan merokok dapat berbahaya bagi kesehatan anak dan cucu mereka karena dapat menjadi perokok pasif. ”Dulu dia pernah berhenti merokok. Namun, karena temannya ngeledek kalau dia tidak laki-laki kalau tidak merokok, akhirnya dia merokok lagi,” tuturnya.
Ahli gizi dan dosen muda Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), Seala Septiani, menyatakan, tiga hal perlu diperhatikan dalam mengonsumsi makanan bergizi yang seimbang, yaitu zat tenaga, pembangun, dan pengatur.
Zat tenaga adalah makanan yang mengandung kalori untuk melakukan aktivitas, seperti karbohidrat dalam nasi dan umbi-umbian. Zat pembangun adalah makanan yang mengandung protein dan mineral membentuk sel tubuh, seperti keju, telur, ayam, dan ikan.
Sementara itu, zat pengatur adalah makanan yang mengandung vitamin dan mineral yang membantu mengatur metabolisme tubuh. Zat pengatur dapat diperoleh dari sayur dan buah. Konsumsi air putih juga penting dalam membantu hidup sehat.
”Poin penting lain adalah kita harus mengurangi konsumsi gula, garam, dan lemak,” kata Seala. Takaran konsumsi ketiganya harus rendah. Ia juga menyatakan, masyarakat idealnya harus makan lima kali sehari, bukan tiga kali sehari seperti pemahaman pada umumnya.
Cukai tembakau
Laksmiati menilai, pengendalian konsumsi rokok juga perlu dilakukan dengan menaikkan harga cukai tembakau. Meningkatnya harga cukai tembakau akan meningkatkan harga rokok, sehingga menurunkan pembelian rokok.
Sementara itu, laporan WHO tentang epidemi tembakau global tahun 2017 menyebutkan, harga rokok di Indonesia merupakan yang termurah di dunia, paling murah yang ditemukan adalah Rp 5.833 per bungkus. Hal tersebut, ujar Laksmiati, menjadi salah faktor tingginya konsumsi rokok di Indonesia.
”Untuk pengendalian harga rokok, kami sudah advokasi ke pemerintah agar cukai dinaikkan setinggi mungkin,” kata Laksmiati. Dengan begitu, pemerintah dapat memeroleh pemasukan tinggi dan kesehatan masyarakat semakin terjaga.
Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok menjadi rata-rata 10,04 persen per 1 Januari 2018. Kenaikan cukai rokok itu diharapkan bisa meningkatkan penerimaan negara sekaligus mengendalikan konsumsi produk tembakau di Indonesia yang terus meningkat.
Peneliti pada Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyatakan, kenaikan tarif cukai memang diperlukan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Namun, upaya itu harus dibantu dengan penguatan kebijakan pengendalian lain, yaitu pelarangan total iklan rokok, promosi dan sponsor rokok, dan implementasi kawasan tanpa rokok secara lebih besar serta perluasan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (Kompas, 20 Oktober). (DD13)