Mereka yang Terbiasa Bekerja Bertaruh Nyawa
Di kawasan pertambangan di Kali Bebeng, Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kerap terjadi longsor. Namun, Senin (18/12), Sumarno (50) terkejut karena apa yang terjadi di luar dari kebiasaan yang sering ditemuinya sehari-hari.
”Biasanya, korban yang terkena longsor hanya satu atau dua orang. Saya pun terkejut karena Senin kemarin saya melihat ada lebih dari 10 orang tertimbun longsor,” ujarnya.
Melihat kejadian tersebut, Sumarno, yang ketika itu tengah menata batu-batu hasil tambang di alur Kali Bebeng, langsung mendekati timbunan tanah tersebut dan berupaya menolong korban.
Sejumlah alat berat milik pemodal usaha tambang langsung digerakkan oleh operatornya untuk mencari korban. Begitu gerakan alat berat mulai menampakkan tubuh atau bagian tubuh manusia, para petambang, termasuk Sumarno, pun segera sigap membopong dan membawanya naik ke dalam truk-truk pasir.
Truk-truk itulah yang kemudian membawa korban ke tempat tinggalnya atau ke rumah sakit. Aksi serentak yang dilakukan petambang untuk rekannya yang tertimpa longsor ini, secara otomatis berlangsung, jauh sebelum tim SAR dan banyak sukarelawan lainnya datang ke lokasi bencana.
Biasanya, korban yang terkena longsor hanya satu atau dua orang. Saya pun terkejut karena Senin kemarin saya melihat ada lebih dari 10 orang tertimbun longsor.
Sumarno, yang merupakan warga Desa Salam, Kecamatan Salam, mengatakan, reaksi cepat dari petambang ini muncul karena mereka memang sudah terbiasa melihat dan menghadapi bencana semacam ini.
Karena demikian terbiasa, para petambang pun jadi terbiasa untuk tidak terlarut dalam trauma dan kesedihan mendalam. Mereka tetap teguh, bersikeras melanjutkan menambang.
Keteguhan hati tersebut antara lain ditunjukkan Sumarno pada Selasa kemarin. Tidak bertujuan untuk kembali membantu mencari korban, kemarin, Sumarno menyempatkan kembali datang ke lokasi karena ingin mengetahui apakah kawasan tersebut sudah cukup aman untuk kembali ditambang atau tidak.
Reaksi cepat dari petambang ini muncul karena mereka memang sudah terbiasa melihat dan menghadapi bencana semacam ini.
”Banyak teman petambang yang meminta saya untuk kemari (ke lokasi pertambangan) untuk mengecek dan menanyakan apakah lokasi ini sudah dibuka kembali untuk ditambang atau tidak,” ujarnya.
Sejumlah rekannya memang merasa tidak perlu menahan diri untuk menambang. Selain karena menganggap bahwa longsor kemarin adalah kecelakaan kerja biasa, mereka pun ingin kembali bekerja karena terdesak keperluan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sumargo (57), salah seorang petambang dari Kali Krasak di Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, DIY, yang kemarin datang untuk ikut membantu mencari korban, mengatakan, longsor semacam itu bisa terjadi di mana saja. Para petambang pun sudah menyadari dan siap dengan risiko tersebut.
”Mau bagaimana lagi. Risiko harus dihadapi karena itu bagian dari pekerjaan dan mencari uang,” ujarnya. Dalam sehari, Sumargo bisa mendapatkan Rp 100.000 dari menjual bahan galian C yang dikeruknya.
Suwardi (39), salah seorang sukarelawan, mengatakan, di lokasi longsor di Kali Bebeng, potensi longsor sangat tinggi karena para petambang mengeruk pasir dan batu di tebing yang nyaris tegak lurus.
”Potensi bencana itu jelas di depan mata. Saya yang di lokasi bertujuan membantu mengangkat jenazah saja sempat waswas dan khawatir terjadi longsor susulan,” ujarnya. Selain posisi tebing yang tegak lurus, potensi longsor semakin tinggi karena di atas tebing sudah muncul retakan-retakan tanah.
Mau bagaimana lagi, risiko harus dihadapi karena itu bagian dari pekerjaan dan mencari uang.
Suharno, tokoh masyarakat sekaligus pelindung Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) Desa Kaliurang, mengatakan, di lokasi penambangan tempat terjadinya longsor biasa dilakukan aktivitas penambangan manual, di mana para petambang mengeruk pasir dan batu menggunakan alat-alat sederhana seperti cangkul atau sekop.
”Biasanya, lokasi ini dipadati 400-500 petambang pasir manual dari sejumlah daerah,” ujarnya.
Selain dari Desa Kaliurang, ratusan petambang itu juga ada yang berasal dari desa lain dari Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, dan sebagian ada pula yang berasal dari Kabupaten Sleman, DIY. Mereka biasanya selalu datang dan bekerja secara berkelompok.
Sebelumnya, menurut dia, sebagian warga ataupun pemerintah Desa Kaliurang sudah kerap kali mengingatkan tentang bahaya longsor kepada para petambang. Namun, karena alasan perut, peringatan tersebut selalu diabaikan oleh para petambang.
Penambangan pasir adalah masalah pelik. Supaya tidak terus-menerus terjadi aktivitas pertambangan yang selalu menimbulkan korban, pemerintah semestinya tidak sebatas melarang warga menambang, tetapi juga harus membantu menyiapkan lapangan pekerjaan alternatif.
Masalah penambangan pasir, menurut dia, adalah masalah pelik yang patut dipikirkan oleh banyak pihak. Supaya tidak terus-menerus terjadi aktivitas pertambangan yang selalu menimbulkan korban, pemerintah semestinya tidak sebatas melarang warga menambang, tetapi juga harus membantu menyiapkan lapangan pekerjaan alternatif, pengganti pekerjaan menambang pasir dan batu.
”Aktivitas menambang dilakukan semata-mata karena masalah ekonomi. Warga pasti akan berhenti menambang jika mereka bisa mendapatkan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” ujarnya.