JAKARTA, KOMPAS — Beberapa tenaga medis di Indonesia kerap mengalami kendala untuk mendiagnosis pasien, khususnya dalam keadaan darurat. Sulitnya akses menuju rumah sakit dan ketersediaan sarana di mobil ambulans menjadi beberapa faktor yang menyebabkan pasien menjadi terlambat mendapatkan diagnosis awal. Dengan adanya sistem ultrasonografi portabel berbasis aplikasi, diharapkan alat ini bisa menjadi solusi dari masalah tersebut.
Presiden Direktur Philips Indonesia Suryo Suwignjo menjelaskan, alat ultrasonografi (USG) berbasis aplikasi ini sangat praktis dan bisa digunakan di mana saja. ”Di kota-kota besar yang dilanda kemacetan lalu lintas, biasanya pasien kesulitan mendapatkan diagnosis yang akurat karena tidak tersedia alat yang memadai di ambulans. Dengan adanya alat ini, tenaga medis bisa lebih cepat dalam memberikan skrining awal ataupun diagnosis dalam keadaan darurat,” ungkap Suryo dalam peluncuran sistem USG Philips Lumify di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Suryo menjelaskan, sistem USG portatabel ini terdiri dari satu set transduser USG genggam yang terhubung melalui USB ke perangkat pintar Android yang kompatibel. Para tenaga medis dapat melihat hasil USG melalui layar perangkat pintar tersebut dan hasilnya bisa di-upload ke sistem Cloud Storage.
”Alat ini jelas lebih efisien dari peralatan USG yang sudah ada dan cenderung besar ukurannya. Selain itu, harganya lebih murah, di kisaran Rp 100 juta. Kalau alat USG lain pada umumnya sekitar Rp 500 juta,” ungkap Suryo.
Spesialis anestesi dan terapi intensif dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Pryambodho, menjelaskan, peralatan ini digunakan untuk keperluan pra-rumah sakit dan mendukung aplikasi klinis, termasuk pre-set pemeriksaan jantung, perut, hingga paru-paru. Selain itu, masalah superfisial, vaskular, serta pendarahan dalam juga dapat terdeteksi dengan lebih fleksibel.
”Alat ini memiliki tingkat akurat lebih dari 90 persen. Selain itu, di daerah yang minim listrik, alat ini bisa menjadi salah satu solusi karena kecenderungan gadget yang bisa diisi dayanya dengan menggunakan power bank,” kata Pryambodho.
Alat ini memiliki tingkat akurat lebih dari 90 persen. Selain itu, di daerah yang minim listrik, alat ini bisa menjadi salah satu solusi karena kecenderungan gadget yang bisa diisi dayanya dengan menggunakan power bank.
Pryambodho menjelaskan, kecenderungan alat USG memiliki beberapa kelemahan, yaitu sulit untuk mendeteksi pasien dengan kondisi fisik yang ekstrem, seperti pasien obesitas (kelebihan berat badan) atau pasien yang terlalu kurus. Alat USG juga biasanya tidak maksimal jika ada udara di bawah kulit pasien, dalam kondisi emfisema, dan udara dalam saluran cerna.
”Namun, alat USG biasanya bisa memberikan hasil yang cepat daripada rontgen atau magnetic resonance imaging (MRI). Selain itu, karena basisnya menggunakan suara ultrasonik, USG ini tidak memiliki efek samping jika digunakan berulang kali,” kata Pryambodho.
Kepala Bagian Program dan Informasi Setditjen Yankes Kementerian Kesehatan dr Soeko Werdi Nindito menuturkan, Indonesia masih dihadapkan dengan angka kematian ibu hamil yang cukup tinggi. Diharapkan, dengan adanya alat ini, angka tersebut bisa menurun.
”Selain itu, kemunculan alat ini sangat berkaitan dengan program Sistem Rujukan Terintegrasi dari Kemenkes. Program ini bertujuan untuk mempermudah akses pasien untuk mendapatkan rumah sakit rujukan,” kata Soeko.
Yang biasa menggunakan alat USG ini adalah dokter spesialis. Tenaga medis lainnya belum terbiasa menggunakan alat ini. Oleh sebab itu, alat ini bisa menjadi media pembelajaran yang tepat untuk para tenaga medis.
Soeko menuturkan, pemerintah memiliki Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 dan Permenkes No 72/2016 yang mengatur tentang pengadaan fasilitas di rumah sakit. Ia menjelaskan, jika nantinya alat USG portabel ini ingin digunakan di rumah sakit, harus diajukan dulu melalui e-katalog.
Selain masalah peralatan, Soeko menuturkan, masalah untuk penanganan darurat pasien juga dipengaruhi oleh ketersediaan akses kesehatan. Akses tersebut meliputi ketersediaan rumah sakit, khususnya di daerah Indonesia bagian timur.
”Untuk meningkatkan akses kesehatan, pemerintah juga berencana untuk membangun tiga rumah sakit vertikal di Indonesia bagian timur dan 124 prototipe puskesmas dengan konsep kekinian,” kata Soeko.
Soeko menjelaskan, jika alat ini digunakan di rumah sakit atau puskesmas harus sesuai dengan kemampuan para tenaga medisnya juga. Perlu adanya pelatihan terlebih dahulu bagi para tenaga medis yang ada di Indonesia.
”Karena yang biasanya menggunakan alat USG ini adalah dokter spesialis. Tenaga medis lainnya belum terbiasa menggunakan alat ini. Oleh sebab itu, alat ini bisa menjadi media pembelajaran yang tepat untuk para tenaga medis,” kata Soeko. (DD05)