Kredit Tunda Tebang Optimalkan Manfaat Hutan Rakyat
JAKARTA, KOMPAS – Kredit Tunda Tebang memberi kesempatan kepada petani hutan rakyat untuk mengembangkan usaha lain di luar menanam tanaman hutan.
Sebanyak 45 jenis usaha berkembang di kawasan pedesaan yang mendapatkan kredit tunda tebang (KTT).
Kredit Tunda Tebang merupakan pinjaman untuk mengembangkan usaha lain sehingga petani bisa menunda menebang tanaman hutan atau pohonnya sampai umur masak tebang pohon bersangkutan tercapai.
Umur masak terbang perlu tercapai untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Koordinator Tim Ahli Evaluasi Dampak Program KTT dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Haryanto R Putro menyebutkan, jenis usaha baru yang muncul dari adanya program KTT terentang dari yang berkaitan hingga tidak berkaitan dengan pengolahan lahan.
Dari 167 responden yang dipantau, usaha peternakan merupakan yang paling dominan
Usaha-usaha tersebut antara lain peternakan, perdagangan, hingga penanaman kembali pohon hutan.
Dari 167 responden yang dipantau, usaha peternakan merupakan yang paling dominan.
Sebesar 55,1 persen dari responden memanfaatkan kredit untuk beternak sapi dan ayam.
Usaha perdagangan berupa toko dan warung menjadi yang terbanyak kedua dengan persentase 34,2 persen.
Sementara, usaha menanam kembali pohon utang di posisi ketiga terbanyak dengan persentase 25,1 persen.
"Sebagian besar memilih beternak karena itu adalah usaha yang paling bisa dilakukan mereka," kata Haryanto dalam pemaparan Evaluasi Layanan Kredit Tunda Tebang, di Jakarta Barat Rabu (20/12).
Kepala Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup Agus Isnantio Rahmadi menjelaskan, semula KTT dibuat sebagai upaya pencegahan kerusakan alam dari sektor hutan rakyat.
Selama ini, masyarakat kerap menebang pohon yang mereka tanam dan menjual pohon itu sebelum waktu tebangnya karena kebutuhan mendadak.
Namun, dengan adanya KTT, masyarakat tidak lagi terlalu tergantung dari usaha tanaman hutan.
Program KTT dibuat sebagai upaya mencegah kerusakan alam yang berasal dari hutan rakyat
“Ada kecenderungan para petani ini menjual pohonnya sebelum masak karena adanya kebutuhan-kebutuhan mendadak. Penadahnya adalah para tengkulak, yang membeli pohon dari petani itu dengan harga yang jauh dari standar,” kata Agus.
Dengan adanya KTT, sebanyak 2.063.323 pohon bisa ditunda penebangannya. Jenis-jenis pohonnya antara lain tectona grandis, albizia flcataria, swietenia mahagoni, dan gmelina arborea.
Pohon-pohon itu ditanam oleh 568 kelompok tani hutan rakyat (KTHR). Adapun jumlah petani yang mendapatkan KTT sebanyak 9.610 orang.
Ekologi
Haryanto menjelaskan, penundaan penebangan itu juga memberikan manfaat ekologi. Sebanyak 371.000 ton ekuatif CO2 diserap dengan adanya kawasan hutan rakyat yang ditunda penebangannya.
“Meski jumlah itu tidak terlalu besar, tetapi masyarakat terlibat dalam upaya konservasi alam,” kata Haryanto.
Dalam program KTT, masyarakat diajak untuk terlibat secara aktif dalam konservasi alam.
KTT yang diperoleh petani berkisar Rp 20 - 100 juta. Petani yang mendapatkan KTT harus memantau pertumbuhan dan menginventarisasi pohon yang mereka tanam.
Dari keterlibatan masyarakat itu, Haryanto menilai ada kesan inklusivitas dalam program tersebut karena masyarakat diajak untuk ikut merasa memiliki hutan.
Manfaat lain yang diberikan adalah berkurangnya tingkat pengangguran.
Hingga saat ini, total KTT yang disalurkan kepada petani mencapai Rp 200,56 miliar
Sejak muncul pertama kali pada 2012, program KTT telah menyerap 647 orang tenaga kerja dan mengurangi pengangguran tersembunyi dalam keluarga.
Hingga saat ini, total KTT yang disalurkan kepada petani mencapai Rp 200,56 miliar.
Angka tersebut melampaui target yang dicanangkan pemerintah sebesar Rp 180 miliar hingga akhir 2017.
Kelompok petani yang menerima KTT tersebar di 10 provinsi, yaitu Aceh, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Dari 10 provinsi itu, penerima kredit terbesar terkonsentrasi di wilayah Jawa.
“Budaya bercocok tanam di Jawa itu cukup kuat. Itulah alasan mengapa yang memanfaatkan kredit ini kebanyakan dari Jawa,” ujar Agus. (DD16)