Ancaman pada ”Whistleblower” Meningkat
JAKARTA, KOMPAS — Skema perlindungan whistleblower atau pelapor utama dalam kasus-kasus korupsi atau pelanggaran hukum mendesak untuk segera dibangun sejalan dengan terus meningkatnya ancaman kekerasan dan serangan terhadap mereka.
Aktivis dan penegak hukum menjadi sasaran utama dari serangan terhadap pengungkapan kasus-kasus korupsi.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Muji Kartika Rahayu, Rabu (20/12), di Jakarta, dalam seminar publik bertajuk ”Melindungi Para Pengungkap Korupsi”, mengungkapkan hasil data yang dikumpulkannya sejak tahun 2004 hingga 2017.
Dari 100 sampel kasus acak yang dikumpulkannya, Muji menemukan bahwa dalam rentang waktu tertentu serangan dan ancaman kepada pengungkap kasus korupsi terus meningkat.
Dari 100 sampel kasus acak yang dikumpulkannya, Muji menemukan bahwa dalam rentang waktu tertentu serangan dan ancaman kepada pengungkap kasus korupsi terus meningkat.
Dalam rentang waktu 2012-2017, ada 57 kasus ancaman dan kekerasan kepada whistleblower. Jumlah itu lebih besar daripada jangka waktu 2007-2011, yakni 24 kasus.
Pada rentang sebelumnya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja didirikan hingga pendirian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yaitu 2004-2006, ada 19 kasus.
”Pada periode 2012-2017, suatu perkembangan signifikan terjadi sebenarnya karena whistleblower dan justice collabolator disebut secara eksplisit di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015,” kata Muji.
Sejumlah peraturan yang telah dibentuk pada rentang 2012-2017 itu memberi panduan bagi perlindungan saksi dan korban meskipun belum sempurna.
Sejumlah peraturan yang telah dibentuk pada rentang 2012-2017 itu memberi panduan bagi perlindungan saksi dan korban meskipun belum sempurna. Peraturan-peraturan yang dibentuk memberi kemungkinan bagi LPSK untuk bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Bahkan, MA secara tegas mengatur ketentuan mengenai siapa saja yang bisa disebut sebagai whistleblower dan justice collabolator atau pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap rangkaian kejahatannya.
Muji mengatakan, riset data yang dilakukannya juga menemukan bahwa aktivis dan aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, penyidik KPK, dan hakim, adalah pihak-pihak yang paling sering menerima ancaman dan serangan terkait perannya sebagai whistleblower dan pengungkap kebenaran.
Sejak 2004, sudah 48 aktivis yang diserang dan diancam, serta 21 aparat penegak hukum diancam hingga diserang secara fisik. Serangan terhadap whistleblower umumnya dilakukan melalui jalur hukum atau kriminalisasi.
Sejak 2004, sudah 48 aktivis yang diserang dan diancam, serta 21 aparat penegak hukum diancam hingga diserang secara fisik.
Uniknya, Muji mengatakan, serangan terhadap whistleblower kasus korupsi itu umumnya dilakukan melalui jalur hukum atau kriminalisasi.
Pelaporan dengan pasal pencemaran nama baik, pemalsuan dokumen, keterangan palsu, pembunuhan, hingga korupsi dituduhkan dan dijadikan alat menyerang whistleblower.
”Pencemaran nama baik sudah sering dipakai sebagai alat menyerang whistleblower dan kini pasal-pasal lain mulai digunakan untuk menyerang mereka, termasuk pemalsuan dokumen, keterangan palsu, hingga pembunuhan,” ujarnya.
Ada sejumlah problem yang membuat perlindungan terhadap saksi, korban, dan pelapor menjadi belum optimal. Sistem hukum dan regulasi yang dipakai untuk menopang upaya perlindungan kepada mereka dirasakan belum secara konsisten dijalankan.
Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memperluas pengertian saksi, tidak hanya terbatas mereka yang terkait langsung dengan suatu perkara pidana, tetapi pihak-pihak lain yang memiliki informasi dan mengetahui suatu peristiwa.
Alasan belum optimalnya perlidungan saksi, korban, dan whistleblower kasus korupsi ialah karena belum adanya standar perlindungan dan keterbatasan kelembagaan dalam menjalankan peranan itu.
Namun, definisi saksi yang diputuskan MK itu belum diadopsi ke dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Sejumlah problem juga menjadi alasan belum optimalnya perlidungan saksi, korban, dan whistleblower kasus korupsi, antara lain karena belum adanya standar perlindungan dan keterbatasan kelembagaan dalam menjalankan peranan itu.
UU hanya menyebutkan KPK dan LPSK sebagai lembaga yang diperintahkan untuk memberi perlindungan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi penegak hukum lainnya, seperti jaksa dan polisi.
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan, ada konteks politik yang menyertai setiap serangan dan ancaman kepada penegak hukum yang memerangi korupsi.
Fenomena state capture corruption, yakni korupsi yang melibatkan kelembagaan negara atau pemerintahan, dalam praktiknya banyak berperan dan menyumbang pada konteks politik tersebut.
Rezim pemerintahan di era Reformasi mendapatkan tantangan, apakah dia bisa menjadi antitesa bagi pemerintahan Orde Baru yang korup ataukah justru memperparah korupsi itu dengan fenomena state capture corruption.
”Rezim pemerintahan di era Reformasi mendapatkan tantangan, apakah dia bisa menjadi antitesa bagi pemerintahan Orde Baru yang korup ataukah justru memperparah korupsi itu dengan fenomena state capture corruption,” kata Bambang.
Dalam perlindungan saksi dan korban pada kasus korupsi, sejumlah pasal di dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 secara eksplisit menjamin hal itu.
Hanya saja belum banyak penegak hukum ataupun publik yang mengetahui jaminan perlindungan itu diatur UU. Oleh karena itu, publik sejatinya tidak perlu khawatir atau takut dalam mengungkapkan kebenaran menyangkut suatu perkara korupsi.
Hal itu antara lain disebutkan di dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf a, b, c, dan e yang sebenarnya memperluas subyek hukum yang dilindungi tidak hanya saksi pelapor, dan korban, atau ahli, tetapi juga publik dan masyarakat luas yang memiliki informasi mengenai suatu dugaan korupsi.
”Jadi, ada pasal ini yang tersembunyi dan jarang diketahui. Semestinya penegak hukum sekalipun bisa memakai pasal ini, tidak harus tercantum di dalam UU KPK atau UU Perlindungan Saksi dan Korban,” kata Bambang.
Hal yang harus ditingkatkan ialah kerja sama antara KPK dan LPSK dalam menjalankan skema perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus korupsi.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, yang harus ditingkatkan ialah kerja sama antara KPK dan LPSK dalam menjalankan skema perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus korupsi.
”Kami sudah ada MOU dengan KPK sejak tahun 2011. Namun, ketika hal itu berusaha diperpanjang, justru KPK terlihat enggan. Ketika kami bertemu dengan pimpinan KPK, ternyata komitmennya sangat tinggi. Pimpinan KPK berkata kalau dalam seminggu saja bisa diperpanjang itu MOU. Tetapi buktinya juga tidak berjalan sampai sekarang,” kata Abdul Haris.
Selama saksi pelapor dan korban ada di bawah perlindungan LPSK, mereka tidak akan mengalami serangan dan teror dari pihak mana pun. LPSK juga memiliki prosedur standar operasi (SOP) dalam melindungi saksi dan korban.
Abdul menjamin, selama saksi pelapor dan korban ada di bawah perlindungan LPSK, mereka tidak akan mengalami serangan dan teror dari pihak mana pun. LPSK juga memiliki prosedur standar operasi (SOP) dalam melindungi saksi dan korban. Perlindungan di rumah aman atau save house juga dijamin oleh LPSK.
”Yang terpenting dalam melindungi saksi dan korban dalam kasus korupsi ialah kerja sama di antara kedua lembaga, yakni LPSK dan KPK, dan komitmen untuk saling memberdayakan satu sama lain,” katanya.
Konsultan USAID, David Cohen, yang juga menjadi penanggap dan pembicara dalam diskusi, mengatakan, posisi whistleblower atau justice collabolator bukan berarti lepas dari jerat hukum apabila mereka memang terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi.
”Dalam perspektif internasional, tidak ada masalah menuntut seorang whistleblower atau justice collabolator karena mereka memang terbukti terlibat dan memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana korupsi. Hanya saja mereka membocorkan jaringan kejahatannya demi satu imbalan, yakni keringanan hukuman,” kata David.
Perlu juga ketentuan dan skema perlindungan yang jelas apabila ternyata whistleblower yang dilindungi oleh KPK atau LPSK ternyata menyerang balik pelindungnya. Skema semacam itu juga belum diatur dan diantisipasi.
David juga menyoroti masih lemahnya kalangan swasta yang berinisiatif menjadi whistleblower atau justice collabolator dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut dia, untuk memberantas korupsi di kalangan swasta harus dimulai dengan menumbuhkan inisiatif tersebut di kalangan mereka.
Imam Wahyu dari Biro Hukum KPK yang hadir mewakili Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menambahkan, perlu juga ketentuan dan skema perlindungan yang jelas apabila ternyata whistleblower yang dilindungi oleh KPK atau LPSK ternyata menyerang balik pelindungnya. Skema semacam itu juga belum diatur dan diantisipasi.