Majelis Umum PBB Jadi Asa Terakhir Resolusi Jerusalem
NEW YORK, SELASA — Amerika Serikat akhirnya memveto rancangan resolusi DK PBB untuk menolak keputusan Presiden Donald Trump yang mengakui status Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Hak veto disuarakan Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nikki Haley dan itu terjadi setelah 13 anggota mendukung rancangan resolusi yang diinisiasi Mesir dalam sidang di markas Dewan Keamanan (DK) PBB di New York, Senin (18/12) sore waktu setempat.
Peristiwa ini pun semakin menyoroti keterisolasian Washington atas pengumuman Trump bahwa Kedutaan Besar AS akan dipindahkan dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Setelah terjadi ketegangan di ruang sidang DK PBB, Gedung Putih pun mengumumkan, Wakil Presiden Mike Pence menunda perjalanan ke Timur Tengah yang semula dijadwalkan akan dimulai Rabu (20/12).
Setelah terjadi ketegangan di ruang sidang DK PBB, Gedung Putih pun mengumumkan, Wakil Presiden Mike Pence menunda perjalanan ke Timur Tengah yang semula dijadwalkan akan dimulai Rabu (20/12).
Atas veto yang diajukan AS itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung mengucapkan terima kasih kepada Haley. Ia berkicau di Twitter, ”Kebenaran mengalahkan kebohongan. Terima kasih, Presiden Trump. Terima kasih, Nikki Haley.”
Haley menyebut inisiasi Mesir sebagai penghinaan yang tak akan pernah dilupakan. Dia menyebut DK PBB memaksa AS untuk memveto hanya demi hak menentukan lokasi kedutaan besarnya di suatu negara.
”AS tidak akan mau dipandu oleh negara mana pun ke mana kami akan menempatkan kedutaan kami (di suatu negara),” kata Haley kepada Dewan setelah veto tersebut.
”Apa yang kita saksikan di sini, hari ini di DK adalah sebuah penghinaan, tak akan dilupakan,” kata Haley.
Dia juga menyebut langkah rancangan resolusi itu adalah salah satu contoh bahwa PBB melakukan lebih banyak langkah yang merugikan daripada menguntungkan dalam penanganan konflik Israel-Palestina.
Menyedihkan, satu negara bisa memutuskan untuk menentang dan melawan suara seluruh dunia terkait dengan masalah yang telah berlangsung lama tersebut.
Duta Besar Palestina di PBB Riyad Mansour mengecam veto AS sebagai ”tidak dapat diterima”. Ia berjanji akan maju ke forum Majelis Umum (MU) PBB agar rancangan itu ditetapkan sebagai resolusi.
Memang tidak ada negara yang memiliki hak veto dalam sidang MU yang beranggotakan 193 negara itu.
”Menyedihkan, satu negara bisa memutuskan untuk menentang dan melawan suara seluruh dunia terkait dengan masalah yang telah berlangsung lama ini,” kata Mansour kepada forum DK PBB.
”AS telah menentukan sikapnya untuk lebih mengabaikan hukum internasional dan mengabaikan konsensus internasional,” kata Mansour dengan nada tinggi.
Turki yang pada Rabu (13/12) menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengatakan terkejut atas langkah AS memveto rancangan resolusi PBB itu.
Ankara mengatakan, keputusan AS itu sekali lagi menunjukkan bahwa Washington telah ”kehilangan obyektivitas” dan telah membuat DK menjadi ”tidak efektif” hanya oleh hak veto sebuah negara.
Keputusan AS itu sekali lagi menunjukkan bahwa Washington telah ”kehilangan objektivitas” dan telah membuat DK menjadi tidak efektif hanya oleh hak veto sebuah negara.
Presiden Recep Tayyip Erdogan telah berkomunikasi dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May dan mereka bersepakat agar masyarakat internasional harus melakukan ”upaya intensif” untuk menyelesaikan isu Jerusalem.
Kedua pemimpin tersebut juga sepakat bahwa setiap ketegangan baru yang dapat membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah harus dihindari.
Keputusan Trump pada 6 Desember lalu yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel telah memicu sebuah gelombang protes dan kebencian atas AS di hampir seluruh Arab dan negara-negara Muslim.
Sekutu utama AS, seperti Inggris dan Perancis (yang memiliki hak veto), Italia, Jepang, dan Ukraina termasuk di antara 14 dari 15 negara anggota DK yang mendukung inisiasi Mesir itu.
Rancangan resolusi itu menegaskan kembali bahwa Jerusalem adalah sebuah isu yang harus ”diselesaikan melalui negosiasi”. Setiap keputusan mengenai status Jerusalem ”tidak memiliki dampak hukum, tidak berlaku, dibatalkan, dan harus dicabut”.
Semua negara juga diimbau untuk menahan diri dengan tidak melakukan misi diplomatik di kota suci Jerusalem sesuai dengan resolusi PBB pada 1980.
Menurut rancangan resolusi itu, semua negara harus mematuhi 10 resolusi terkait Jerusalem yang telah diterbitkan sejak 1967.
Di dalamnya termasuk resolusi soal status Jerusalem yang hanya bisa diputuskan dalam perundingan damai secara langsung antara Israel dan Palestina.
Selain itu, rancangan resolusi yang diajukan Mesir itu mencantum ulangan seruan untuk membalik tren negatif yang bisa mengganggu solusi damai Israel-Palestina.
Seruan lain dari resolusi itu adalah harus ada upaya mengintensifkan dan mengakselerasi upaya internasional dan regional bagi perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Majelis Umum PBB menjadi harapan terakhir atas nasib Jerusalem. Ada harapan karena di forum ini tidak ada negara yang memiliki hak veto sehingga besar kemungkinan akan dikabulkan rancangan resolusi akan ditetapkan menjadi sebuah resolusi.
Kini kaukus Arab dan Palestina terus berjuang di berbagai forum internasional untuk menggugurkan keputusan AS yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Setelah proses di DK PBB digagalkan oleh veto AS, mereka dipastikan akan mengajukan rancangan tersebut ke sidang MU PBB agar ditetapkan sebagai resolusi.
MU PBB menjadi harapan terakhir atas nasib Jerusalem. Ada harapan karena di forum ini tidak ada negara yang memiliki hak veto sehingga besar kemungkinan akan dikabulkan rancangan resolusi akan ditetapkan menjadi sebuah resolusi. (AFP/REUTERS/AP)