PARIS, KOMPAS — Pemerintah Indonesia meminta Pemerintah Perancis untuk mempermudah bisnis minyak sawit mentah (CPO) Indonesia. Selama ini minyak sawit mentah asal Indonesia selalu dipermasalahkan di Perancis dan sejumlah negara-negara Eropa.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan saat memberikan sambutan penandatanganan nota kesepahaman pembangkit tenaga bayu dan surya di Kedutaan Besar RI di Paris, Perancis, Senin (11/12) malam waktu setempat, sempat menyinggung persoalan minyak sawit mentah Indonesia. Beberapa waktu lalu, CPO asal Indonesia hendak dikenai pajak oleh Pemerintah Perancis. Akan tetapi, masalah ini berhasil diselesaikan. Namun, masalah lain terkait CPO asal Indonesia muncul kembali.
”Saya minta ke pengembang pembangkit (dari Perancis) untuk mengangkat isu CPO ke pemerintah mereka agar masalah ini tidak berlanjut karena kami serius untuk mengembangkan pembangkit listrik berteknologi Perancis di Indonesia. Kami meminta agar masalah ini diangkat secara serius,” tutur Jonan, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Andreas Maryoto, dari Paris.
Saya minta ke pengembang pembangkit dari Perancis untuk mengangkat isu CPO ke pemerintah mereka agar masalah ini tidak berlanjut karena kami serius untuk mengembangkan pembangkit listrik berteknologi Perancis di Indonesia.
Jonan mengakui, CPO Indonesia sering mengalami kesulitan di Perancis. Kelompok lingkungan mengembangkan isu pemajakan CPO. Mereka juga ingin melindungi minyak dari bunga matahari dan lain-lain. Usulan pajak CPO pernah mencapai 300 euro per ton.
CPO asal Indonesia menjadi salah satu komoditas yang menjadi sorotan di negara-negara Eropa. Isu soal deforestasi hingga kerusakan lingkungan yang dinilai terjadi karena ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit selalu menjadi sasaran serangan terhadap CPO asal Indonesia, baik oleh aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintah di negara-negara Eropa.
Pada April tahun ini, mayoritas anggota Parlemen Eropa menyetujui laporan ”Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests” di Strasbourg, Brussels. Laporan itu mengaitkan CPO dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia, dan penghilangan hak masyarakat adat.
Menanggapi sikap Parlemen Eropa tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, upaya mengganjal CPO sudah terjadi sejak lama. Pada 1990-an, tersebar hasil penelitian bahwa minyak goreng berbahan baku CPO mengandung kolesterol tinggi. Hasil penelitian itu akhirnya dipatahkan dengan penelitian lain yang menyatakan kadar lemak tak jenuh pada CPO tidak tinggi.
Pemerintah menganggap resolusi Parlemen Eropa itu juga merupakan upaya untuk mengganjal pengembangan produk turunan CPO, termasuk di Indonesia. ”Ini karena CPO menyaingi minyak nabati lain yang diproduksi di Eropa, seperti minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, dan minyak-minyak lain,” ujar Kalla.
Ini karena CPO menyaingi minyak-minyak nabati lain yang diproduksi di Eropa, seperti minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, dan minyak-minyak lain.
Indonesia memang harus merespons sikap keberatan dan hambatan negara-negara Eropa terkait ekspor CPO. Pengembangan industri perkebunan kelapa sawit ke depan, semua pemangku kepentingan harus benar-benar memperhatikan aspek mata rantai produk berbasis CPO yang berkelanjutan sesuai standar global.
Negara-negara Uni Eropa sangat menekankan aspek mata rantai untuk produk berbasis CPO yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek lingkungan dan perubahan iklim.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan, ke depan, Indonesia harus membenahi perkebunan dan industri kelapa sawit dengan memenuhi standar global. ”Dengan demikian, tidak akan ada lagi alasan dari kalangan global yang menyudutkan kita,” lanjut Darmin.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan, negara-negara Uni Eropa sangat menekankan aspek mata rantai untuk produk berbasis CPO yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek lingkungan dan perubahan iklim. ”Kita tidak bisa lagi menghasilkan produk yang tidak berkelanjutan,” katanya.