Petugas pemantauan gunung api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memiliki peran penting dalam upaya mitigasi. Di satu sisi, mereka bertugas mengeluarkan rekomendasi untuk mitigasi. Namun, di sisi lain, kadang mereka jadi korban tanpa bisa melakukan upaya mitigasi untuk diri sendiri.
Kepala Sub-Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Kristanto menceritakan hal itu ketika ditemui Kompas di Pos Pemantauan Gunung Api Agung, Kecamatan Rendang, Selasa (12/12).
”Setiap pekerjaan pasti ada risikonya. Kalau ada ’sesuatu’ terjadi pada petugas kami, itu bagian dari risiko mitigasi yang kami lakukan demi masyarakat,” ujarnya.
Kristanto mengatakan, ada sejumlah rekan dan pendahulunya yang meninggal saat melakukan tugas pemantauan gunung api. Setidaknya ia mengingat dua peristiwa yang merenggut nyawa dua petugas pemantauan gunung api.
Ada sejumlah rekan dan pendahulunya yang meninggal saat melakukan tugas pemantauan gunung api.
Peristiwa pertama terjadi saat Gunung Awu yang berada di Kepulauan Sangihe meletus tahun 1966. Saat itu, seorang petugas meninggal karena pos pengamatan gunung api diterjang awan panas.
”Saat itu, sistem pemantauan masih belum baik. Pos pemantauan diletakkan di dekat gunung karena alat pemantauan yang ada di gunung harus disambungkan dengan kabel ke pos pantau,” ujarnya.
Kondisi tersebut, lanjut Kristanto, tidak ditemui lagi di pos pantau di seluruh Indonesia. Saat ini, semua pos pantau melakukan pengamatan menggunakan peralatan nirkabel sehingga pos pantau berada pada radius yang relatif aman.
Saat ini, semua pos pantau melakukan pengamatan menggunakan peralatan nirkabel sehingga pos pantau berada di radius yang relatif aman.
Peristiwa kedua terjadi tahun 2000 di Gunung Semeru, Jawa Timur. Kala itu, ahli gunung api Asep Wildan dan petugas pengamat gunung api Mukti tewas ketika mengamati letusan di kawah Gunung Semeru.
Kristanto mengingat jelas detail kejadian tersebut. Pasalnya, ia sedang berada bersama kedua korban untuk mengamati erupsi Gunung Semeru.
”Asep Wildan saat itu merupakan kepala tim pemantauan Gunung Semeru. Saat itu, kami naik ke Mahameru untuk melihat kawah dan melakukan pemantauan,” ucapnya.
Ahli gunung api Asep Wildan dan petugas pengamat gunung api Mukti tewas ketika mengamati letusan di kawah Gunung Semeru.
Kristanto menyebutkan, tim sudah menyusun jadwal jam berapa tiba di kawah, berapa menit melihat kawah, dan jam berapa harus naik ke puncak Mahameru.
Saat itu, tim sudah mengantongi data bahwa tiap 15 menit sampai 20 menit sekali ada erupsi di kawah Semeru. Letusan tersebut biasanya berupa lontaran kecil di dalam kawah.
Saat jadwal mengharuskan tim menuju puncak Mahameru, Kristanto mengajak Asep Wildan untuk bergerak. Namun, Asep Wildan justru meminta tim bergerak terlebih dahulu karena ia ingin mengabadikan erupsi di kawah Semeru.
”Saat kami sudah di puncak, tiba-tiba ada letusan yang lebih besar dari biasanya. Batu pijar yang semula tidak pernah keluar dari kawah saat itu ada yang keluar. Batu pijar sebesar kelereng itu jatuh di kepala rekan kami,” tuturnya.
Kristanto mengatakan, saat itu ada beberapa orang lain yang berada bersama Asep Wildan dan Mukti. Saat terjadi letusan, orang-orang di sekitar kawah berlindung di balik ransel.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Asep Wildan dan Mukti tewas dalam tugas. Sebagai penghargaan, PVMBG mendirikan nisan di sekitar kawah untuk mengenang jasa keduanya.
Jika petugas yang memberikan rekomendasi merasa takut, bagaimana masyarakat yang harus mengikuti rekomendasi bisa tenang.
Ditanya apakah dirinya merasa takut dan khawatir saat harus bertugas mengawasi aktivitas Gunung Agung, Kristanto mengatakan, dirinya tidak boleh takut dan tak perlu khawatir.
”Pos pantau Gunung Agung dibangun di daerah aman di luar kawasan rawan bencana. Tentu sudah ada perhitungan mengapa pos ini berdiri di sini (Desa Rendang). Lagi pula, alat-alat kami sudah cukup canggih sehingga kejadian tahun 1966 di Gunung Awu tak akan terulang,” tuturnya.
Kristianto mengatakan, banyak pihak menunggu rekomendasi dari petugas pemantauan gunung api. ”Jika petugas yang memberikan rekomendasi merasa takut, bagaimana masyarakat yang harus mengikuti rekomendasi bisa tenang,” ucapnya.