Menangkis Senja Kala
Dua tahun terakhir menjadi masa terberat bagi usaha ritel dan tentunya juga pusat perbelanjaan. Beberapa toko dengan nama besar seperti Debenhams, Lotus, hingga yang teranyar GAP berguguran. Jika peritel menyebut tahun-tahun terakhir ini sebagai masa "survival", pergulatan, pusat perbelanjaan pun turut terdampak.
Wajah mal nan lesu antara lain tampak di Mal Balekota yang kini berubah nama menjadi The Hu6. Terletak di jantung kota Tangerang dengan lokasi yang sangat strategis di Jalan Jenderal Sudirman, kurang dari separuh ruangnya yang terisi para penyewa (tenant). Keramaian aktivitas hanya terpusat di atrium dengan bazar barang-barang diskon hingga 70 persen.
Demi efisiensi, hanya beberapa tangga berjalan yang difungsikan. Pendingin udara pun beroperasi di lokasi-lokasi tertentu. Trem (kereta monorel) yang sempat menjadi salah satu pesona mal ini dibiarkan teronggok di ujung lintasan rel dengan debu tebal menyelimuti. Beberapa ruang kosong tanpa tenant tertutup rapat hingga areal parkir yang melompong menumbuhkan kesan seperti bangunan yang lama ditinggalkan.
Abdurrahman Ryandhani, representatif dari manajemen Mal Balekota, menyebut okupansi Mal Balekota saat ini hanyalah sekitar 50 persen. Sebelumnya, okupansi mal bisa mencapai 70-80 persen, tetapi turun drastis pada 2017. "Beberapa mal di Tangerang memang agak susah menghadapi era digital karena perusahaan online sudah mulai berkembang dan memberikan servis atau jasa yang menjamin pembelinya aman," kata Dhani.
Beberapa mal di Tangerang memang agak susah menghadapi era digital karena perusahaan online sudah mulai berkembang dan memberikan servis atau jasa yang menjamin pembelinya aman.
Demi meningkatkan jumlah kunjungan, Mal Balekota menuju mal dengan konsep baru: full of exhibition, antara lain dengan menggelar beragam acara seperti konser Musikimia gratis pada Sabtu (2/12) lalu. Mereka juga sedang membangun situs web yang akan lebih interaktif.
"Enggak muluk-muluk. Kondisi mal memang seperti ini. Kami mau menunjukkan kami existing. Masih beroperasi. Ternyata masih ada event, oh Mal Balekota masih hidup ya," tambahnya.
Manajemen Mal Balekota cukup optimistis karena masyarakat Kota Tangerang masih haus nongkrong dan suka datang ke mal. "Status kita sekarang ini ibarat telur dan ayam. Okupansi di bawah 60 persen, banyak yang bilang tinggal menghitung hari. Tapi, kita berkembang terus. Cuma memang terkendala perencanaan pembangunan. Saat ini, kami berusaha mempertahankan dan menjalankan yang sekarang sudah existing," ujar Dhani.
Okupansi di bawah 60 persen, banyak yang bilang tinggal menghitung hari. Tapi, kita berkembang terus.
Toko tutup
Di pusat kota Jakarta, beberapa department store alias toko serba ada serta toko-toko merek terkenal pun terpaksa tutup. Keceriaan tak tampak di raut muka para pelayan gerai GAP di Mal Grand Indonesia, Rabu (6/12). Meskipun mereka tetap melayani pelanggan yang terus mengalir karena diskon besar-besaran yang ditawarkan hingga 80 persen, senyum sulit dijumpai karena toko tersebut menurut rencana akan segera ditutup.
Toko di Grand Indonesia menjadi gerai GAP terakhir setelah sebelumnya PT Gilang Agung Persada (PT GAP) juga menutup gerai-gerai GAP di mal lain. Sebagai distributor eksklusif untuk GAP di Indonesia sejak 2007, PT GAP memutuskan tidak memperpanjang kontrak ketika perjanjian subwaralaba berakhir pada Februari 2018.
"Ini bagian dari keseluruhan langkah strategis. Ke depan, PT GAP akan fokus pada segmen \'fast moving fashion accessories\' karena persaingan yang terbatas serta kebangkitan segmen konsumen menengah ke bawah di Indonesia," kata perwakilan dari PT GAP.
Selama lima tahun terakhir, PT GAP telah mengembangkan segmen fast moving fashion accessories dengan menambahkan beberapa merek ke dalam portofolio, termasuk VNC, Guess Accessories, La Senza, WatchZone, dan WatchEngine. Selain itu, perusahaan juga menjalin kemitraan baru dengan Casio untuk mendistribusikan koleksi jam tangan mereka.
Tak hanya GAP, peritel gaya hidup PT Mitra Adiperkasa Tbk juga menutup toko serba ada Lotus pada akhir Oktober lalu dan toko Debenhams pada akhir tahun ini. Penutupan tersebut, menurut Head of Corporate Communication PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) Fetty Kwartati, terkait restrukturisasi secara keseluruhan di internal MAP dalam tiga tahun terakhir, termasuk meninjau merek yang performanya tidak baik.
"Dalam bisnis, kita harus selalu introspeksi, berbenah, dan mencari inisiatif baru. Sebab, brand-brand itu punya brand positioning sendiri dan mereka juga punya life cycle. Jadi, bisa saja brand yang dulu sangat populer, tetapi karena sudah lama dan banyak merek baru yang sudah muncul yang terus mengambil market share-nya, lama-lama otomatis mulai declining sehingga kita lakukan rasionalisasi brand," kata Fetty.
Fetty menegaskan, langkah penutupan toko tersebut bukan terkait daya beli atau perubahan sistem belanja dalam jaringan (online). Adaptasi harus dilakukan MAP yang memiliki lebih dari 100 brand dengan total sekitar 2.000 toko ritel. MAP antara lain mengusung beberapa toko serba ada, seperti Sogo, Debenhams, Seibu, dan Galeries Lafayette, serta beberapa merek mode seperti Zara dan Marks & Spencer. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah dengan membangun platform e-dagang mapemall.com.
Masa "survival"
Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tommy F Awuy, menyebut peralihan tren berbelanja masyarakat urban di Indonesia, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta, sebagai sebuah keniscayaan akibat perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial dan program aplikasi belanja berbasis daring yang juga sangat marak bermunculan saat ini. Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga berdampak semakin memudahkan proses pergerakan dan perpindahan suatu barang dari satu tempat ke tempat lain, yang pada akhirnya juga semakin mendukung kecenderungan orang berbelanja secara daring.
Sebagian konsumen yang dulu gemar pergi ke pusat perbelanjaan kini cenderung kecanduan berbelanja secara daring dari gawai mereka. "Online itu menarik. Tinggal klik, barang datang. Bisa milih yang paling murah dari berbagai seller. Bayar juga tinggal klik lewat internet banking. Kalau offline store kan kudu jalan-jalan keluar masuk toko. Jadi hemat waktu. Lagian harga bisa lebih murah dari offline," tutur Subitul Eriyana (40), warga yang kecanduan belanja daring.
Online itu menarik. Tinggal klik, barang datang. Bisa milih yang paling murah dari berbagai seller. Bayar juga tinggal klik lewat internet banking. Kalau offline store kan kudu jalan-jalan keluar masuk toko.
Woro Prayuningtyas (40), warga Bekasi, sejak dua tahun terakhir juga doyan belanja daring. Dia biasa membeli banyak barang, mulai bibit cincau, daun kumis kucing, daging-dagingan, sampai laptop. "Dari celana dalam sampai mukena," tambahnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menyebut masa tiga tahun terakhir sebagai masa survival yang cukup berat, terutama bagi usaha ritel. Harapan mereka terutama adalah adanya langkah antisipasi dari pemerintah agar usaha ritel ini tidak semakin berguguran. "Toko orang tutup kenapa? Cuma satu kata alasannya: rugi. Ke depan akan semakin banyak penutupan toko itu. Enggak ada habisnya nanti," kata Tutum.
Tutupnya toko-toko terutama karena perkembangan teknologi yang memang tak lagi bisa terelakkan. Tutum mengatakan, e-dagang adalah keniscayaan dan bukan satu-satunya hal yang memengaruhi iklim bisnis ritel.
Soal e-dagang yang bukan satu-satunya faktor setidaknya terindikasi dalam diskusi ekonomi yang digelar di Kompas, Rabu (6/12). Salah seorang narasumber, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Halim Alamsyah, mengungkapkan, kalangan rumah tangga urban golongan mampu-dengan penghasilan di atas Rp 5 juta per bulan-belakangan cenderung menabung dan mengerem aktivitas mengonsumsi.
Tutum sendiri khawatir tren ritel konvensional yang berguguran ini akan merambah ke wilayah lain yang lebih luas, yaitu industri. Dampak ini terutama nantinya akan dirasakan oleh pekerja-pekerja kelas bawah seperti tukang jahit yang tak lagi mendapat pekerjaan.
"Kemajuan aplikasi kayak siluman. Yang harus dilakukan pengusaha adalah mengadaptasi. Semampunya," kata Tutum yang juga menjabat penasihat di Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo).
(DOE/DWA/WKM)